Footer 1

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

2011/11/04

Ide yang Mengubah Dunia

Kita harus membentuk ide-ide dasar dari realitas alam
dengan pemikiran dan kreativitas kita.
Dengan itu kita akan menandai sejarah,
tidak sekedar larut di dalamnya.


- Steve Jobs, former CEO Apple Inc. -

Kisah mengenai bagaimana sebuah ide sederhana akhirnya membuat dunia yang kita tinggali ini menjadi tidak pernah sama lagi dengan sebelumnya, biasanya akan menjadi kisah yang inspiratif, menggugah kesadaran kita, menyalakan passion di hati kita yang terdalam, bahkan sampai menitikkan air mata.

Tapi biasanya juga: umur inspirasi itu tak panjang.

Beberapa saat setelah cerita itu berlalu dan kita mulai menggeluti lagi dunia dan segala permasalahannya sehari-hari, api itu pun memudar. Kesadaran itu menguap. Passion itu meredup dan padam. Kita pun menjelma kembali menjadi orang-orang biasa, orang-orang pada umumnya. Menjalani hidup dari pagi ke pagi lagi dengan jadual yang telah ditentukan, begitu-begitu saja melewati jam, hari, minggu, bulan dan tahun. Tubuh kita berjalan, bergerak dan bekerja kesana-kemari memperjuangkan mimpi-mimpi di luar diri kita, sementara jiwa kita gersang, hati nurani tak lagi mendapat tempat tertinggi dalam tubuh yang lelah, dalam pandangan mata yang kosong tanpa daya.

Maka jumlah orang-orang yang bersedia memperjuangkan ide-idenya sepenuh hati sangatlah sedikit. Sebagian besar dari kita memilih menyerah di awal atau pertengahan perjalanan karena tak sanggup menanggung resiko untuk berbeda, untuk disalahpahami, untuk dicemooh, untuk dikritik dan difitnah. Mayoritas kita tak cukup kuat untuk menelan hinaan-hinaan itu, perlakuan yang merendahkan itu, sehingga memilih menukarkan inner voice (suara hati) itu dengan kenyamaan, ketenangan, ketentraman. Secara tak sadar, kita bahkan mulai ikut-ikutan mengatakan bahwa keajaiban yang dibawa oleh setiap ide baru adalah sesuatu yang tidak logis, tidak masuk akal, karena saat menjalaninya tanpa hasrat, kita pernah gagal dan menolak bangkit. Ide-ide itu terlihat terlalu tinggi dan sia-sia karena kita tak pernah serius memperjuangkannya.

Bahkan pun saat engkau telah berniat untuk mengubah dunia, lalu menghidupkan siang dan malammu untuk mengejar itu, belum bisa jadi jaminan bahwa engkau akan mencapainya di ujung umurmu.

Alam semesta ini punya mekanisme seleksi alam yang kejam tapi adil. Engkau yang tak sungguh-sungguh bersedia bersikap kejam pada dirimu sendiri untuk memperjuangkan terwujudnya ide-ide besar yang kau yakini, akan diperlakukan dengan kejam tanpa basa-basi oleh realitas, oleh hukum sebab akibat, bahkan oleh akal sehatmu sendiri.

Kecuali jika engkau termasuk orang-orang jenius. Yang setahu saya, bukanlah merupakan keturunan.

Apple Computer dalam iklan legendarisnya tahun 1997 Think Different mencatat nama-nama ini: Albert Einstein, Bob Dylan, Martin Luther King, Jr., Richard Branson, John Lennon, Buckminster Fuller, Thomas Edison, Muhammad Ali, Ted Turner, Maria Callas, Mahatma Gandhi, Amelia Earhart, Alfred Hitchcock, Martha Graham, Jim Henson, Frank Lloyd Wright, Pablo Picasso.

Tentu masih ada jenius-jenius lainnya yang tak tercatat di iklan ini. Termasuk Steve Jobs, CEO Apple sekaligus kreator iklan tersebut yang bahkan sempat merekam suaranya sendiri sebagai narrator.

Copy writing
iklan ini sungguh menggetarkan hati:

Here’s to the crazy ones. The misfits. The rebels. The troublemakers. The round pegs in the square holes. The ones who see things differently. They’re not fond of rules. And they have no respect for the status quo. You can quote them, disagree with them, glorify or vilify them. About the only thing you can’t do is ignore them. Because they change things. They push the human race forward. While some may see them as the crazy ones, we see genius. Because the people who are crazy enough to think they can change the world, are the ones who do.
 
Lihat iklannya disini

Jenius adalah orang-orang yang mampu mempertanggungjawabkan kegilaannya. Dan jumlah mereka adalah minoritas. Tanpa kemampuan untuk mempertanggungjawabkan ‘keanehannya’, maka posisi orang-orang yang berbeda dan dianggap gila itu akan dipinggirkan, dijauhkan dari kehidupan sehari-hari yang normal karena dianggap pengganggu keharmonisan dan ketertiban.

Seringkali orang-orang besar yang mengubah dunia, melakukannya tanpa niat yang besar, mereka menggelinding begitu saja mengikuti kata hatinya, melakukan apapun yang mereka lakukan dengan suka cita lalu... Bummm!!!

Dunia pun berubah karena hal-hal sederhana yang mereka lakukan, diiringi dengan kebetulan-kebetulan dan dukungan yang mengalir deras dari arah yang tak pernah mereka perkirakan. Setiap kisah kesuksesan bisnis dan kehidupan, tidak lebih tidak kurang, menggambarkan dukungan alam semesta yang aneh seperti itu.

Kalau balik lagi ke beberapa puluh tahun silam saat fajar industri komputer menjelang, Apple Computer dan Microsoft-pun melewati fase yang sama. Juga Starbucks, lalu Google, Facebook, yang termutakhir Twitter.

Benar bahwa sungguh sangat penting untuk berfikir besar - seperti kata Steve Jobs - to put a dent in the universe - tapi apa yang kemudian sungguh-sungguh mengubah dunia ini dengan kehadiran pemikiran dan tindakan kita adalah sesuatu yang sangat sederhana.

Dunia ini penuh dengan kebisingan dari orang-orang yang teriak ramai tentang hal-hal yang tidak penting, hal-hal sampah yang makin menggunung dan menyesakkan mata hati kita. Sampah-sampah yang dikemas dengan bungkus yang mewah, glamour, indah dan menggoda iman. Sampah-sampah yang diiklankan sebagai kebutuhan nomer satu dan bukti kesuksesan tertinggi. Sampah-sampah yang menggiurkan dan menjadikan kita konsumen rakus yang membeli hal-hal yang tak kita butuhkan.

Tengoklah sampah-sampah itu: sinetron kejar tayang, infotainment gosip, politik kekuasaan, iklan-iklan tanpa kedalaman makna, pengajian yang menidurkan jamaahnya, mereka yang mengaku membela agama tertentu sementara tingkah lakunya justru merusak apa yang dibelanya.

Lawanlah kebisingan itu. Dengarlah suara lirih dalam hatimu. Lalu berjuanglah sekeras mungkin untuk mengikutinya. Memperjuangkan ide-ide yang kau yakini justru karena ditolak orang lain, justru karena dicemooh dan dijauhi.

Engkau – dan siapapun yang punya kemauan – bisa menjadi bagian dari orang-orang besar yang dicatat oleh dunia dengan tinta emas. Selama engkau bersedia membayar ‘harga’nya. Selama engkau bersedia menggenggam erat ide-idemu dan memperjuangkannya sepenuh hidupmu.

Suatu hari kelak - saat waktunya tiba - engkau akan menjadi gila. Atau legenda. 


Image sources:
http://www.icouple.sg/blog/wp-content/uploads/2007/04/apple_think_different.jpg
http://www.iphonespecialist.com.au/_/rsrc/1317883989663/steve-jobs-think-different-tribute-video/Steve-Jobs-1955-2011.png

2011/10/27

Menghajar Kemalasan

Bagaimana jika tulisan yang jelek nongol di blogmu? Bagaimana jika para pengunjung membacanya lalu memutuskan untuk tak mau lagi mengulang kunjungannya? Bagaimana jika apa yang kau tuliskan ternyata salah data atau salah fakta? Bagaimana jika engkau tak punya ide apa-apa, lalu apa yang harus dituliskan? Bagaimana jika blog sudah terlalu lama nganggur sehingga berdirilah tembok tinggi yang angkuh menghalangi hasrat untuk mulai menulis lagi?

Kekuatiran-kekuatiran seperti inilah yang sering menghinggapi setiap blogger untuk mulai lagi menggoyangkan jarinya di tuts keybord, keypad atau capasitive screen. Bukan kekuatiran yang berlebihan memang, karena ini real. Nyata. Dan umum dialami oleh banyak orang yang kesulitan untuk memelihara kedisiplinan posting. 

Logika yang lalu muncul: jika sampai tak tahu apa yang akan dituliskan, masa' kita paksain menulis juga? Nanti malah mengada-ada, malah tak berguna alias sia-sia. 

Sejujurnya, perasaan masygul seperti inipun hinggap juga di saya. Saya pun terjangkit penyakit enggan ngeblog. Saya pun beberapa kali kalah oleh kemalasan. Saya juga manusia biasa yang iman ngeblognya naik turun. Nah, di sinilah sesungguhnya perbedaan para pejuang blogger dan blogger-blogger biasa.

Mereka akan memaksakan diri menulis walaupun merasa tak dalam kondisi terbaik untuk menulis. Walaupun tak sedang ingin menulis. Motion creates emotion. Bergeraklah saja dulu nanti suasana hati akan mengikuti. Misalnya engkau ngantuk. Kalau tak melakukan apa-apa, engkau pasti akan tertidur sebentar lagi. Tapi coba paksakan untuk berlari, walaupun berat. Engkau pasti takkan mengantuk. Mana ada orang berlari bercucuran keringat sambil ngantuk?

Dalam bahasa saya, putus asa dalam sebuah usaha menggapai mimpi, harapan dan keinginan itu boleh. Tapi teruslah bekerja dalam keputusasaan itu. Selamat mengisi kemalasan Anda dengan produktivitas.


2010/03/23

Desain Grafis Sebagai Mindset

(01)

Waktu berlalu begitu cepatnya, sudah lebih dari 20 tahun sejak saya pertama mengenal desain grafis sebagai hobi lalu profesi lalu mindset (pola pikir). Kok mindset? Sebentar, saya akan jelasin nanti tentang mindset ini. Saat saya tengok sekumpulan folder di server kantor, sudah lebih dari 8500 creative artwork yang telah dihasilkan selama kurun waktu 10 tahun (1999-2010). Sebuah perjalanan panjang yang tak terasa lelahnya karena saya dan teman-teman di Petakumpet memulainya dari sebuah hobi.
 
Desain Grafis Sebagai Hobi

Sejak kelas 4 SD (Sekolah Dasar) saya telah membantu membuatkan ayah saya klise film sablon yang bergambar desain lambang SD untuk kebutuhan badge murid-murid se-kecamatan. Menggunakan pena yang dicelup tinta cina dan digambar dengan ekstra hati-hati di atas kertas kalkir bertumpuk-tumpuk (tergantung berapa jenis warnanya). Sebuah kebanggaan tak terkira saat saya melihat teman satu sekolah memakai badge yang saya bikin klise filmnya. “Kuwi aku lho sing gambar” (itu saya lho yang gambar), sering kali tanpa sadar saya menggumam sambil tersenyum senang. Saat itu saya tak berfikir berapa keuntungan ayah saya atas sablon yang ribuan itu, hadiah satu piring nasi goreng pun tak habis saya makan. Saya senang, itu sudah melampaui bayaran apapun yang saya bisa terima dari pekerjaan itu. Kesenangan menggambar dan merancang sesuatu, jadilah itu hobi sejak kanak-kanak saya.

Desain Grafis Sebagai Profesi

(02)

Sebagai profesi, desain grafis telah menjadi bagian dari hidup saya sejak awal bersama teman-teman membuat sebuah komunitas bernama Petakumpet, 1995. Jadi Petakumpet itu awalnya memang menggeluti desain grafis, sementara dunia advertising dengan segala kompleksitasnya barulah diakrabi beberapa tahun belakangan. Dari sekedar hobi yang gak pake mikir ruwet-ruwet alias fun belaka, desain grafis sebagai profesi menghadirkan tantangan tersendiri: tak sekedar bagaimana mendesain, membuat lay out, memilih tipografi yang tepat, tapi juga bagaimana memahami klien, mengorganisir tim, menggauli mesin cetak, memelototi teknik finishing atau memilih kertas yang paling pas.

Uang pun mulai ambil perannya, ketika desain grafis secara sadar telah dipilih menjadi profesi. Sebutan desainer grafis alias graphic designer di kartu nama adalah kebanggaan saat itu, meskipun buat orang awam seringkali menimbulkan pertanyaan susulan: masnya ini kerjaannya bikin apa to? Eh, desainer grafis itu emang pekerjaan to?

Desain Grafis Sebagai Mindset

(03)

Lalu terbukalah gerbang internet di penghujung abad 20 dan mulailah terjadi pergeseran-pergeseran hampir dalam setiap segi kehidupan kita. Apa yang kemarin hanya berupa khayalan dan impian kini menjelma kenyataan. Kita tak harus tersandera pesawat telepon dan kabelnya, kita tak harus menunggui PC dan CPU berkabel di atas meja, kita tak perlu duduk tertib di depan televisi untuk menikmati siaran langsung sepak bola dunia, itu semua kadaluarsa!

Lihatlah betapa ajaibnya hidup kita hari ini: semua yang diam di satu tempat di masa itu sekarang bisa berjalan-jalan mengikuti kemana kaki kita melangkah. Kita memasuki jaman mobile (bisnis, teknologi, komunikasi, kreativitas), dengan sikap mental yang tergagap-gagap.

Dulu saat kuliah masih semester 1, jelas betul dosen saya cerita mengenai perbedaan desain grafis dan desain komunikasi visual (deskomvis): bahwa desain grafis selalu berhubungan dengan graphic alias grafika alias cetak. Untuk melengkapinya bahkan saya pun belajar kuliah Metode Reproduksi Grafika. Saat itu profesi desainer grafis identik dengan bikin desain di depan komputer lalu bergelut dengan proses produksi di percetakan. Harus paham di luar kepala yang namanya CMYK, DPI, LPI, pass cross, hot print, emboss dan semacamnya.

Saatnya Melampaui Medium Konvensional

Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, gelombang pasang internet telah menyapu banyak hal dalam kehidupan kita, melipat waktu dan ruang, dunia pun menjadi datar (flat). Bidang desain grafis pun tak luput dari akibat serbuan itu.

Pertanyaannya: masih relevankah jika hari ini (pukul 20.04, 9 Maret 2010) kata desain disandingkan dengan grafis dan dimaknai sebagai satu pengertian? Ini pertanyaan reflektif yang berbahaya karena jawaban atasnya bisa mengguncang masa depan desain grafis Indonesia, juga sejarah hidup saya sendiri yang bergelut dengan desain grafis sejak kanak-kanak.

Tapi sebagai bahan diskusi kita semua, baiklah saya sampaikan makna pergeseran itu (sekali lagi menurut saya): para stake holder industri desain grafis (desainer grafis, pengusaha, akademisi, mahasiswa, asosiasi terkait) harus mulai berfikir serius tentang kemungkinan desain grafis untuk melampaui medium-nya (beyond graphic), jenis bidang keilmuannya atau profesi awalnya. Desain grafis harus me-metamorfosa-kan dirinya menjadi sebuah mindset alias pola pikir.

Nah, sudah waktunya kita kembali ke mindset lagi!

Mindset-lah yang menentukan bagaimana kita memandang sebuah potensi, tantangan dan peluang yang dihadirkan setiap jaman sebagai sebuah proses yang harus diupayakan dengan komitmen penuh untuk mewujudkan tujuan tertentu yang kita tetapkan.

Apa yang kita pikirkan menentukan apa yang akan kita lakukan. Mindset ini tak sekedar hobi atau profesi yang bisa jadi selingan atau aksesoris semata. Mindset ini manunggal (integral) dalam diri kita dan mempengaruhi karakter, kebiasaan dan kreativitas kita. Sebuah transformasi pola pikir harus terjadi, jika kita ingin melihat sesuatu dengan sudut pandang yang benar-benar beda untuk menangkap peluang-peluang baru yang sebelumnya tak ada.
Lihatlah contoh-contoh kasusnya: wedding invitation kini makin jarang dicetak di atas kertas eksklusif karena telah menjelma online dengan website khusus atau bahkan jadi content wall di facebook dan email (grafisnya dimana?), kop surat dan stasionery set telah menjelma template email dan tak membutuhkan kertas lagi (grafisnya dimana?), surat kabar dan majalah dimana desain grafis mewarnai tiap halamannya makin berkurang oplaag-nya digeser oleh media online, iklan-iklan televisi bisa menggunakan animasi yang based on typography, hadirnya ebook reader macam Kindle atau Ipad pun tak bisa dicegah lagi akan menggantikan buku konvensional, kertas-kertas akan berkurang penggunaannya dan mesin-mesin cetak kelelahan mengejar duplikasi tak terbatas (copy, cut, paste, share) dunia online.

Mungkin saya terlalu terburu-terburu menyampaikan kemungkinan pergeseran yang revolusioner ini, hal-hal dramatis di atas bisa jadi belum akan terwujud 5-10 tahun lagi. Tapi siapapun tahu bahwa pola percepatan penyebaran informasi ini bertambah kecepatannya mengikuti deret hitung bukan deret ukur. Bahkan kolom status di Facebook yang diketik 45 detik yang lalu bisa disebut kiriman lawas alias lama. 45 detik itu sudah masuk terminology lama di abad internet sekarang, bandingkan makna kata ‘lama’ saat 5 tahun lalu. Waktu dan ruang sudah dilipat.

Jadi yang paling logis untuk mereka yang telah belajar desain grafis sejak kecil, sejak kuliah atau saat mulai jadi profesional: pemahaman terhadap knowledge-nya, portfolio karya-karyanya, jam terbang sebagai profesional harus segera dikonversikan ke dalam sebuah mindset yang baru. Tak sekedar jenis medium-nya semata.

Mindset Membuka Kemungkinan Baru

Dengan menjadikannya mindset, berarti kita akan menggunakan ilmu desain grafis itu secara lebih membebaskan, bukan terkungkung definisi yang kaku dan sempit.

Desain grafis akan mendapatkan peluang terbesarnya justru di abad dimana barrier atas medium benda (hard copy, offline) telah menjadi sangat minimal karena menjelma virtual dan online. Sehingga yang tertinggal adalah core competency kita: kreativitas tanpa embel-embel dan topeng, baik yang berupa medium, teknologi ataupun biaya.

Ide yang merupakan hasil olah kreativitas itulah yang akan tumbuh menjadi fondasi mindset baru bagi orang-orang yang – dulunya – bergelut di dunia desain grafis konvensional. Pemahaman atas mindset itu membuat kita bisa berprofesi apa saja untuk memaksimalkan fungsi desain grafis, tak harus desainer grafis. Kita pun bebas menjelajah medium apa saja untuk menghasilkan creative output, tak harus print on paper, offset printing, sablon, air brush dan semacamnya. Kita pun berpeluang membongkar sekat-sekat pergaulan desain grafis dengan ilmu-ilmu lainnya (kedokteran, sastra, teknik, tari, teater, pedalangan, animasi, game developer, pertanian, dll.). Proses interaksi itu akan menimbulkan gesekan, kebaruan yang memperkaya dan sinergi satu sama lain.

Saat kita bisa mulai meng-inject mindset baru ini sebagai landasan pola pikir pengembangan ide kreatif, desain grafis akan dilahirkan kembali oleh ibunya yang lama (dunia offline) menuju dunia baru yang bukan saja medium-nya online. Pola pikir kita pun seharusnya online. Selalu berada di atas (on) garis (line) pencapaian kita dalam wujud dunia kemarin, selalu mengeksplorasi wilayah baru, meninggalkan pola pikir lama yang terjajah oleh medium, leaving the comfort zone as far as we can.

(04)

Itulah mindset yang saya maksudkan: reposisi atas pengertian desain grafis menjadi sesuatu yang menginspirasi kemajuan, bukan yang terseret-seret oleh kereta jaman yang ngebut ke masa depan. Sebuah landasan berfikir kreatif yang membebaskan desain grafis dari kungkungan pemahaman lamanya, untuk membuka ruang-ruang kemungkinan yang belum pernah kita fikirkan sebelumnya.

Saya takkan keberatan untuk kembali jadi kanak-kanak dan memulai segala sesuatunya dari nol lagi, saya hanya perlu yakin dan menikmati prosesnya tanpa harus tahu akhir ceritanya.
Mata saya berbinar-binar mengakhiri tulisan ini. Betapa luar biasa jika ini yang akan terjadi pada masa depan desain grafis Indonesia!

Keterangan image:
(01) Tulisan ini ditujukan utk memperingati 3 Tahun DGI
(02) Komunitas Petakumpet Diskomvis 1994 FSR ISI Yogyakarta
(03) Karya Desain Grafis Stefan Sagmeister dengan medium tubuhnya sendiri
(04) Google men-Desain Grafis HUT Kemerdekaan Indonesia

Artikel aslinya oleh M. Arief Budiman dimuat di sini

2010/03/15

Merekonstruksi Diskomvis

Rekonstruksi Kurikulum Deskomvis Berbasis Kompetensi:
Menemukan Missing Link Dunia Akademis dan Industri Kreatif

Menjadi seorang alumnus pendidikan tinggi yang siap bekerja - setidaknya sampai hari ini - masih menjadi harapan yang ‘agak’ tinggi jika dibandingkan dengan realitas yang ada.

Pertanyaan yang sering disampaikan kepada saya – ketika masih kuliah maupun setelah bekerja – adalah: apakah setiap mata kuliah yang telah dipelajari dengan susah payah di bangku kuliah akan digunakan ketika bekerja? Apakah nilai tinggi di SKS juga mencerminkan kualitas dan profesionalismenya di dunia kerja? Apakah mereka yang IP-nya bagus dan lulus cumlaude bisa jadi jaminan diterima bekerja?

Dari banyak kasus riil yang saya lihat, sangat disesalkan bahwa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas adalah: tidak selalu. Bisa ya, bisa juga tidak. Artinya: ada jurang cukup serius yang harus dijembatani oleh lembaga pendidikan tinggi dan dunia profesional untuk menciptakan keseimbangan dan simbiosis mutualisme di antara keduanya. Sehingga muncullah konsep link & match yang menghasilkan mata kuliah: magang, PKL (Praktek Kerja Lapangan), Kerja Profesi atau apapun namanya. Tujuannya agar mahasiswa bisa merasakan dan mempelajari situasi riil dunia kerja dengan segenap resiko dan tanggung jawabnya, sebelum ia benar-benar memasuki dunia tersebut. Sementara bagi perusahaan, mereka bisa memantau bibit-bibit kreatif unggul dari dunia pendidikan tinggi untuk direkrut setelah mereka menyelesaikan kuliahnya.

Back to Basic

Pada awalnya adalah paradigma. Darimana segala sesuatu dimulai dan selanjutnya akan dibawa kemana. Jika pertanyaan seperti ini diajukan ke Pendidikan Tinggi yang mempiunyai jurusan/prodi Disain Komunikasi Visual, maka bunyinya menjadi kurang lebih: seperti apa profil calon mahasiswa yang diharapkan oleh Diskomvis, serta akan dibentuk jadi apa?

Kita perlu melihat kembali titik awal sambil mengoreksi langkah kita yang terlewat, serta mempersiapkan pijakan demi pijakan di masa depan. Hanya dengan itu – lewat pengalaman yang hidup – kita tidak melenceng dari tujuan semula. Banyak hal yang tidak beres hari ini disebabkan oleh akar permasalahan yang tidak pernah terselesaikan. Mau tak mau kita harus menengok kembali jejak kita di belakang dan menemukan missing link antara dunia akademis dan industri kreatif

Pada tulisan singkat ini saya hanya akan sharing beberapa hal yang saya lihat dan alami, serta beberapa perspektif kemungkinan sinergis yang bisa dilakukan oleh dunia akademis, alumnus dan industri kreatif ke depannya.

Desainer Atau Ilmuwan Desain?

Apa yang perguruan tinggi inginkan dari ratusan bahkan ribuan orang yang antre memasukinya setiap tahun? Apakah mereka akan diproses menjadi seorang desainer atau ilmuwan desain saja. Dan kualifikasinya apa? Dari beberapa hal sederhana tentang proses seleksi mahasiswa baru misalnya, dimana materi yang diujikan meliputi teori, sketsa, gambar bentuk dan minat utama Diskom. Arahnya adalah mencari calon mahasiswa yang skill artistiknya tinggi dan kreatif. Lalu lihatlah output-nya di dunia kerja: sebagian besar menjadi Art Director, atau jika kurang mujur Visualizer. Dan itu adalah posisi yang paling laku untuk anak-anak DKV yang bertipe Seniman (Artist). Output-nya dianggap memiliki kualitas artistik yang handal. Tapi tentu saja lingkup profesionalnya akan terbatas hanya di bidang kreatif (dalam pengertian yang sempit: desainer grafis).

Tapi mereka yang bertipe ilmuwan desain sedikit berbeda. Start-nya bisa jadi sama: di awal kerja sebagai Art Director (sangat sedikit yang menjadi Visualizer) dan masih bisa berkembang lagi menjadi Creative Director, dan masih bisa berkembang lagi ke posisi lainnya. Tapi tidak dengan – sebagian besar – lulusan bertipe seniman di atas. Posisi Art Director seringkali adalah final position. Lalu mentok di situ. Posisi lainnya adalah pintu tertutup bagi mereka, selama ia tidak bersedia belajar lagi lebih luas dengan disiplin ilmu baru yang tak diperolehnya di kampus. Skill artisitik semata tak cukup untuk meng-handle tanggung jawab profesional yang complicated. Menangani kampanye promosi (di lingkup profesional) sebuah produk selama rentang 1 tahun misalnya, membutuhkan lebih dari sekedar pembuatan konsep perancangan dan art work desain. Di dalamnya terdapat manajemen waktu, pengelolaan SDM, lobbying, network, juga sistem operasional. Secara personal, semua ini membutuhkan basis intelektual yang memadai.

Untuk mewujudkan ilmuwan desain yang ready to grow, tidak sekedar ready to be used, kampus sebaiknya membekali mahasiswanya dengan kemampuan penalaran dan logika, sekaligus kreativitas sejak awal seleksi mahasiswa baru lewat materi tes yang tepat. Tidak saja dibutuhkan hasil desain yang bagus, tapi prosesnya juga harus runtut dan benar. Proses ini penting, terutama ketika menyangkut hal-hal dengan kompleksitas tinggi, misalnya kampanye yang melibatkan kerjasama dengan banyak pihak dan rentang waktu panjang.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa semua perguruan tinggi Diskomvis harus menggunakan metoda seperti itu untuk mengejar ketertinggalannya. Setiap perguruan tinggi punya visi dan misinya sendiri, yang terwadahi dalam mata kuliah local contents.

Dan tantangan untuk rekonstruksi ulang bagi seleksi awal mahasiswa Diskomvis bisa jadi wacana baru. Dan ini bisa berlanjut dengan hal-hal lain, seperti sebaran mata kuliah (kurikulum) yang lebih banyak memberdayakan mahasiswa daripada sekedar menghafal. Termasuk sumber bacaan dan akses atas teknologi yang kadaluarsa dan minimnya referensi text book bagi mahasiswa Diskomvis.

Inti Universitas di Kepala

Saya meminjam kata-kata di atas dari Emha Ainun Nadjib. Bahwa universitas bermula di dalam diri manusia sendiri, di dalam kepalanya. 

Lalu hal semacam ini dilembagakan dan muncullah sekolah-sekolah. Dan logika semacam itu sudah terbolak-balik. Sekarang, sekolah dijadikan tumpuan untuk garansi masa depan dan modal mencari kerja. Tentu saja ini bukan merupakan kesalahan besar. Tapi jika kita menganggap nilai macam ini suatu ‘kebenaran’ dan diyakini maka efek biasnya akan bagai bola salju yang menggelinding. Seolah-olah, tanpa universitas, tanpa institusi perguruan tinggi tak pernah ada pemikiran ilmiah. Sehingga mitos perguruan tinggi (apalagi negeri) lalu disembah dan dijadikan rebutan oleh ribuan orang.

Sesungguhnya kampus (dan seluruh infra strukturnya) hanya media, sarana dan ia lebih bersifat sebagai passive object. Mahasiswa, dosen, karyawan adalah subject dari proses pembelajaran yang dinamis. Jika ini tidak terjadi dan masing-masing pihak sudah merasa puas 'hanya menjadi' bagian dari sebuah nama besar institusi, maka selesailah sudah fungsi akademiknya. Dan kita tak bisa berharap hal-hal baru, temuan-temuan yang bermanfaat bagi masyarakat akan tercipta dari sebuah institusi pendidikan yang tak punya kegairahan untuk bergerak me-manage dirinya sendiri ke masa depan.

Rekonstruksi keilmuan, pemaknaan ulang atas mitos, pembaharuan asumsi yang selama ini kita yakini dan pertahankan sebagai satu-satunya acuan nilai selayaknya mulai dilakukan, sebelum kita semua ketinggalan kereta. Dengan pertimbangan yang rasional, obyektif dan kedewasaan pemikiran.

Dari Kampus ke Industri: Peluang Kerja di Bisnis Kreatif

Dari sangat banyak profesi yang tersedia bagi para alumnus pendidikan tinggi desain (creative director, art director, designer, copy writer, illustrator, animator, web designer, account executive, photographer, dsb.) secara garis besar bisa diklasifikasikan menjadi tiga pilihan, yaitu:
-    Bekerja di perusahaan
-    Menjadi creative freelance
-    Membangun perusahaan kreatif sendiri

Setiap pilihan memiliki konsekuensinya masing-masing, dengan tingkat tantangan dan kesulitan yang bervariasi. Mana yang akan dipilih oleh alumnus perguruan tinggi Diskomvis?

Bekerja di Perusahaan

Yang menjadi primadona adalah bekerja sebagai desainer grafis (DG) di perusahaan yang sudah mapan. Hampir tiap hari puluhan bahkan ratusan curiculum vitae dan sample karya berdatangan, utamanya di perusahaan-perusahaan desain grafis atau biro iklan di kota besar. Jika diterima, DG – seperti staf perusahaan lainnya - ngantor dari pagi sampai sore. Meskipun tidak jarang ketika jumlah order memuncak mendekati deadline, jam pulang bisa diundur sampai 00.00 atau bahkan keesokan harinya.

DG tidak hanya bekerja di biro iklan atau perusahaan kreatif saja. Perusahaan-perusahaan besar yang mempunyai kegiatan promosi yang padat, biasanya memiliki inhouse designer (biro desain internal) sendiri untuk melayani kebutuhan internal publication/promotion, di bawah koordinasi Departemen Marketing, Promosi atau Public Relation.

Perbedaan yang cukup signifikan antara biro iklan dan inhouse adalah pada jenis order yang dikerjakan. Di biro iklan, jenis media maupun konsep kreatifnya sangat variatif tergantung brand/corporate yang ditangani. Sementara di inhouse, kita hanya bekerja dengan satu corporate, yang menangani event-event atau kegiatan promosi perusahaan induknya. Jabatan seorang DG diatur dengan jenjang tertentu: dari Visualizer, Art Director sampai Creative Director. Kenaikan jenjang jabatan itu berarti peningkatan tanggung jawab profesional yang juga berimplikasi pada kenaikan gaji, tunjangan dan bonus pula.

Menjadi Creative Freelance

Creative freelance - atau lebih spesifik disini: desainer freelance (DF) - bisa diartikan sebagai profesi yang menangani pekerjaan desain grafis secara individual. DF mengerjakan order tunggal atau berurutan, dengan pola kerja yang tidak terikat. DF memiliki kebebasan untuk menangani pekerjaan yang diinginkannya saja, dan pendapatan yang diterima biasanya dihitung per proyek dan bukan dalam rentang waktu seperti staf. DF memiliki keleluasaan berkreasi, terutama jika klien telah percaya penuh dengan kemampuannya.

DF menjadi boss atas dirinya sendiri dan mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Alur kerjanya sederhana, tidak berbelit-belit seperti misalnya birokrasi sebuah perusahaan. DF akan mempunyai bargaining position yang kuat terhadap klien, hanya jika ia mempunyai kualitas karya dan kedisiplinan yang tinggi dalam penyelesaian ordernya. Dalam dua hal ini, seorang DF bersaing dengan DF lainnya dan juga dengan perusahaan kreatif yang bergerak di bidang yang sama. Jika dua hal tersebut tidak bisa dicapai oleh DF, maka posisinya sangat lemah dan calon klien tidak mudah percaya kepadanya. Klien  akan mudah mempermainkannya dalam  masalah  harga dan waktu pembayaran. DF harus bisa mandiri, me-manage sendiri kemampuan kreatifnya dan bisa menjualnya dengan nilai yang pantas.

Membangun Perusahaan Kreatif Sendiri

Pilihan ketiga ini membutuhkan syarat yang jauh lebih berat. Tidak sekedar skill kreatif yang memadai tapi juga keberanian mengambil resiko yang terukur serta pemahaman manajerial yang mendalam. Artinya ada proses yang harus ditangani secara berkesinambungan antara bidang desain grafis dengan bidang lainnya (marketing, administrasi, keuangan, client service, research, personalia, dsb.). Pilihan ini biasanya diambil oleh para profesional yang sudah merasa capek bekerja di perusahaan besar. Mereka memiliki modal dan pengalaman setelah berkecimpung cukup lama di perusahaan yang sudah eshtablished, lalu mengimplementasikannya di perusahaannya sendiri, dengan beberapa modifikasi. Tapi fenomena yang ada sekarang, keinginan mendirikan perusahaan sendiri ini juga marak dilakukan oleh para alumnus pendidikan tinggi, atau bahkan oleh mereka yang drop out kuliah. Perjalanan waktulah nantinya yang akan menentukan apakah perusahaan-perusahaan yang didirikan (start up company) ini akan bisa terus berkembang atau berhenti di tengah jalan.

Dengan membangun perusahaan sendiri, artinya kita menciptakan lapangan kerja baru dan mempunyai keleluasaan untuk menentukan arah dan strategi perusahaan kita ke depan, dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Jika perusahaan itu sukses, kita juga akan mendapatkan kebebasan finansial.

Alumnus Pendidikan Tinggi yang ‘Ideal’

Dari fakta yang saya dapatkan di lapangan kerja, jelas terlihat bahwa kita tidak bisa mengandalkan sepenuhnya perolehan ilmu dari bangku kuliah. Tapi paling tidak, mata kuliah yang telah dipelajari bisa digunakan sebagai modal awal, sebagai pondasi untuk terus mengembangkan diri. Yang paling penting bukan sekedar tingginya IP di transkrip nilai, tapi justru antisipasi kreatif terhadap tantangan profesionalisme yang nantinya menjadi tanggung jawab kita. Nah, adakah konsep ideal seorang alumnus jika dihubungkan dengan dunia kerja? Kemampuan apa yang harus dimilikinya sehingga ia tidak saja disebut cerdas tapi juga sekaligus sellable: lolos saringan masuk dunia kerja.

Beberapa hal berikut sebaiknya disiapkan untuk menghadapi tantangan dunia kerja yang makin keras:

1. Meningkatkan kemampuan teamwork

Untuk menciptakan kinerja yang tinggi, teamwork masih menjadi pilihan terbaik. Orang bilang, sepuluh kepala masih lebih baik dibanding satu kepala. Syaratnya adalah bahwa perbedaan ide, gagasan dan pandangan bisa disikapi secara positif dan disalurkan secara konstruktif sehingga bisa saling memperkuat. Egoisme dan sifat individual memang tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, tapi bisa disalurkan dengan bijak asalkan setiap orang bersedia menghargai ide orang lain. Hanya ide yang secara obyektif paling baik yang akan diterapkan, tidak penting apakah itu berasal dari diri kita maupun orang lain. Persamaan – kata Ahmad Wahib – tidak menggugah apa-apa, justru perbedaan yang akan menciptakan kedewasaan dan kemajuan. Tentu saja jika disikapi secara positif.

2. Mengubah kreativitas menjadi bernilai bisnis

Saya melihat masih banyak potensi unggul yang belum didayagunakan secara maksimal di kampus-kampus. Betapa banyak juara, mahasiswa cerdas bahkan jenius yang tidak mendapatkan jalur yang pas untuk masa depannya. Bagaimana ide-ide kreatif hanya selesai sebagai ide doank, padahal jika bisa me-manage prosesnya ide-ide tersebut bisa menjadi amunisi ampuh untuk menciptakan perusahaan-perusahaan masa depan yang profitable. Tidak mudah memang untuk mencapai standar profesionalisme dalam setiap pikiran dan tindakan kita sehingga orang lain bersedia menghargainya dengan nilai yang pantas. Dan ini harus diupayakan dengan langkah yang tepat, sistematis dan kontinyu.
3. Komitmen penuh dalam bekerja
Sesudah penguasaan skill atas bidang yang menjadi concern kita, saatnya membuat komitmen untuk bekerja sepenuh hati, dengan profesi idaman yang memang kita pilih sendiri. Bukan karena ikut-ikutan teman atau karena sedang trend. Tidak akan pernah tercipta komitmen jika kita tidak berpijak pada dasar dan alasan yang kuat kenapa kita bekerja dan untuk tujuan apa ke depannya. Hanya para profesional yang berkomitmen – yang bekerja tidak semata-mata demi gaji atau uang – yang akan mampu bertahan dalam era persaingan bebas seperti sekarang.

4. Terus belajar dan mengembangkan diri
Ilmu pengetahuan akan terus berkembang seiring percepatan gerak perubahan jaman. Kemampuan yang handal hari ini, bisa menjadi basi besok pagi. Budaya internet dan kemajuan teknologi informasi membuat perubahan semakin cepat terjadi. Tiap detik yang terlewat dan tiap byte yang terkirim adalah ancaman serius terhadap mereka yang cepat puas dan merasa ‘sudah pandai’. Selayaknya kita memanfaatkan peluang sekecil apapun untuk mengembangkan diri lagi: dari praktek-praktek terbaik yang pernah dilakukan oleh orang lain, dari buku, internet dan terutama dari pengalaman atas keberhasilan dan kegagalan kita sendiri.

Catatan Akhir


Satu hal penting yang jadi catatan akhir dari saya: bahwa bekerja bukan akhir dari proses belajar. Justru dengan bekerja secara profesional maka proses belajar yang integral sedang dimulai: menciptakan sinkronisasi antara pengetahuan teori dan aspek praktis, menyambungkan missing link dunia akademis dan dunia industri. Seperti yang kita maklum, di dunia akademis orang harus menulis landasan teorinya dulu sebelum berbuat/bereksperimen, sementara di dunia bisnis para pengusaha biasanya berbuat dulu baru memikirkan bagaimana menuliskan teorinya sebagai buah dari pengalaman praksisnya. Nah, kalo dua hal ini ketemu: alangkah luar biasa manfaatnya bagi mahasiswa kita.



Apalagi proses belajar –setahu saya - tidak pernah mengenal kata selesai. Jadi bangku kuliah itu sebaiknya dibawa - dalam wujud konsep belajar di otak kita masing-masing - ke dunia kerja. Karena masa depan kita semua sangat membutuhkan mentalitas seperti itu.

Itulah satu-satunya tiket yang berlaku dalam sistem kompetisi kerja yang semakin keras ini.


2009/11/04

Preview Bab 1: Pulang


21 April 1997

Saat saya masih kecil, rasanya kenikmatan tertinggi sebagai anak sekolah adalah saat bisa pulang pagi karena bapak ibu guru ada rapat, ada pertemuan atau acara apapun sehingga tidak ada pelajaran. Sekolah Dasar yang biasanya selesai jam 12.00 dimajukan pulangnya jadi jam 10.00. Hanya 2 jam diskonnya, tapi bersama teman-teman saya langsung menyusun acara mau ngapain aja: maen bola, maen petakumpet atau perang-perangan. Indahnya tak terbayangkan!

Saat beranjak dewasa, mendapatkan free time karena jadual acara yang ditunda atau dibatalkan kadang masih membuat saya gembira, meskipun mungkin tak bisa lepas seperti saat masih kanak-kanak. Resiko manusia yang beranjak tua adalah mulai didatangi masalah-masalah kehidupan, yang membuat hidupnya tak lepas lagi. Jika tertawa tak bisa sepenuhnya, jika pengin nangispun – demi gengsi – sebisa mungkin tak terdengar suaranya.

Tapi saat-saat beban hidup menghimpit, saat pekerjaan meremukkan otak dan tulang, saat pandangan atas masa depan mulai pating blasur (baca: semrawut), menjadi kanak-kanak kembali adalah pilihan terbaik. Mentertawakan beban hidup, bermain sepenuh hati, menjadi diri sendiri.

Resiko manusia yang beranjak tua adalah mulai didatangi masalah-masalah kehidupan, yang membuat hidupnya tak lepas lagi. 


Saat-saat itu betapa saya merindukan pulang. Seperti saat pelajaran yang meletihkan di kelas usai, membayangkan ibu di rumah memasak makan siang kesukaan saya, membayangkan berkaos singlet bercelana pendek menenteng bola plastik di lapangan hijau, melepaskan semua penat di masa lalu sehingga ringan menjelajahi masa depan.

Saat keruwetan hidup menyeret kita ke wilayah asing sehingga akal dan hati kita tersesat: cara terbaik untuk mengendalikan lagi hidup kita seringkali sesederhana menyusuri kembali jalan pulang.

2008/08/20

Surprise: Jadi Kontributor Kolom TDA

Atas kebaikan hati Pak Nukman Luthfie, salah satu tulisan saya berjudul Jualannya Nggak Nyata, Hasilnya Nyata dimuat di Kolom TDA www.tangandiatas.com, baca selengkapnya di sini. Kalau mau baca tulisan selengkapnya tentang bisnis ide bisa membeli buku ini. (Halllaaaah promosi maneh!)

2007/11/22

Kuliah Umum Tentang Koran Merapi

Buat temen-temen mahasiswa Atmajaya peserta kuliah umum saya kemarin, berikut beberapa sample materi promosi Koran Merapi untuk menambah wawasan. Jika ada hal-hal yang perlu ditanyakan silakan email saya di arief_009@yahoo.com






2007/10/05

Menyusun Mozaik Kebangkitan Iklan Indonesia

The future belongs to those who believe in their beautiful dreams
- F. D. Roosevelt -

Pada tahun 2010, sebuah agency lokal dari Indonesia terpilih sebagai Agency of The Year di Asia Pacific Adfest. Secara keseluruhan, agency-agency dari Indonesia jika digabungkan perolehan awardnya paling banyak dibanding tetangganya: Thailand, Jepang, Singapura, Malaysia dan Negara-negara lainnya. Oya, jangan lupa bahwa anak-anak muda kita kembali meraih The Best di Young Lotus Award, mengulang prestasi tahun sebelumnya. Dan di tahun 2010, senior-senior periklanan Indonesia akhirnya berhasil mengikuti jejak yuniornya dan meraih yang terbaik di AP Adfest.

Ahh, semoga Anda tidak kecewa jika saya memulai tulisan ini dengan bermimpi, yang mungkin akan dianggap terlalu mengada-ada. Lagipula, saya belum pernah sekalipun hadir di perhelatan AP Adfest sehingga makin absurd-lah mimpi yang saya tuliskan. Tapi karena mimpi masih gratis, jadi saya tak perlu bayar mahal untuk bermimpi yang tinggi-tinggi.

Yang saya tahu banyak di antara kita yang sangat berharap bisa dapat award di AP Adfest, Cannes Lions, New York Festival atau festival iklan internasional lainnya. Nyatanya, beberapa sudah mulai bawa pulang awardnya. Tapi mimpi ini harus dilanjutkan, beranilah menjadi yang terbaik di semua kategori: jadilah Agency of The Year di ajang kompetisi award tersebut.

Ok, setelah melanglang buana ke langit saya akan mengajak Anda sekalian menjejakkan kaki lagi di bumi. Jika tujuan sudah ditetapkan, sekarang kita cari tahu bagimana cara mencapainya. Apa yang sekarang kita punya dan apa yang kita perlu lakukan segera.

Mimpi Ini Bukan Hanya Tanggung Jawab Jakarta

Dari pelajaran yang didapatkan dari festival iklan internasional, mayoritas iklan award winning adalah hasil kolaborasi yang intens antara agency dan kliennya, sehingga dari sisi kreativitas, agency memiliki ruang yang cukup untuk bereksplorasi. Sementara klien di sisi lainnya sangat mempercayai bahkan memberikan dukungan sepenuhnya.

Industri ini terus bergulir dan tarik menarik kepentingan di dalamnya begitu kuat: dari agency, klien, media, media specialist bahkan pemerintah. Kepentingan masing-masing pihak untuk mendapatkan manfaat terbesar dari sebuah proses kampanye periklanan jarang menghasilkan kesepakatan terbaik: sehingga mayoritas output iklan yang dinikmati masyarakat lebih banyak berisi pengumuman, saran untuk segera membeli atau undian berhadiah sebagai cara instant untuk meningkatkan penjualan.

Tapi inipun OK, sejauh memang aspek jangka panjang dari industri periklanan ini juga menjadi bahan pertimbangan agar industri ini bisa berkembang dan makin besar kontribusinya bagi masyarakat luas. Bukannya makin berkurang revenue-nya dan punah karena kesalahan dalam sistem pengelolaannya.

Inilah yang saya maksudkan bahwa Jakarta tak bisa dibiarkan sendirian memanggul beban untuk mewakili wajah dunia periklanan Indonesia di mata internasional. Teman-teman kreatif di agency Jakarta bekerja begitu berat, selalu kelelahan di ujung hari saat melangkah pulang kantor, dihajar begitu banyak pitching, berperang dengan waktu untuk menghasilkan suatu kampanye promosi yang begitu complicated. Jangankan menghasilkan output yang layak tanding di award competition, bikin scam ad pun mungkin sudah tak punya waktu dan energi lagi.

Dengan kompetisi yang begitu berat dan margin keuntungan yang main tipis karena banyak agency tak bervisi panjang ke depan, saya khawatir industri ini terus menurun keuntungan ekonomisnya dan tidak menarik minat investasi lagi. Meskipun saya masih meyakini, industri ini secara fundamental masih sangat prospektif ke depannya.

Menengok Potensi di Luar Jakarta

Saya ingin mengajak Anda untuk melihat alternatif lainnya, keluar sebentar dari rutinitas dan keruwetan sehari-hari. Bagaimana jika kita bisa mengembangkan sentra kreatif (SDM, pembelajaran, pengerjaan) di luar Jakarta. Pertimbangannya: daily live-nya tidak seberat Jakarta, living cost lebih rendah, tuntutan bisnis belum begitu berat, sehingga masih cukup waktu untuk merenung, brainstorm dan bereksplorasi dalam eksekusi kreatifnya. Dan dengan mulai rutinnya kegiatan pengmbangan kreativitas iklan, saat ini tersedia lebih dari cukup mahasiswa calon SDM kreatif yang handal, yang saipa bersaing dengan senior-seniornya.

Pinasthika, Jawa Pos Adfest, Layang Kancana, ADOI Award dan Citra Pariwara adalah modal yang kita miliki sebagai ajang seleksi alam atas karya-karya iklan terbaik dari seluruh Indonesia. Tentu dengan karakteristik dan benchmark yang kontekstual di wilayah kompetisinya masing-masing. Dari output pemenang yang didapatkan pun, terbukti bahwa teman-teman agency dari Jogja, Solo, Surabaya, Bandung dan kota-kota lainnya mampu memberikan perlawanan yang manis terhadap kolega-koleganya dari Jakarta. Bahkan di Pinasthika, mayoritas pemenang berasal dari luar Jakarta. Bohlam Advertising, sebuah agency yang lahir di kampus Atmajaya Yogyakarta berhasil meraih The Best TV Ad. di Pinasthika 2007, mengalahkan semua agency lokal di Indonesia. Bayangkan!

PPPI sebagai induk advertising agency, tentu diperlukan perannya yang sangat signifikan dalam proses penataannya sehingga semua award competition di negeri ini terintegrasi dengan tujuan bersama untuk bertarung di kompetisi internasional yang lebih tinggi, demi Indonesia. PPPI bisa menatanya sedemikian rupa sehingga masing-masing award competition ini bisa saling melengkapi dan membawa manfaat sebesar-besarnya buat industri dan agency. Misalnya dari sisi jadual pelaksanaan, jenis entry, pilihan juri dan sebagainya, seperti mozaik yang kemilau karena ditata dengan sangat pas.

Waktunya Berubah

Mungkin agak naïf di jaman kompetisi bisnis begini brutal, saya masih bicara membawa nama Indonesia untuk menangin International Award. Biarlah para pakar periklanan lainnya yang akan membahas sisi bisnis kreatifnya. Tapi saya hanya ingin setia dengan apa yang menjadi alasan utama saat kita semua terjun di bisnis kreatif: mengapa kita memilih advertising sebagai core business, bukannya bidang lainnya.

Karena industri yang jualannya ide ini seharusnya mampu mengaktualisasikan diri dan kreativitas kita sepenuhnya, sehingga setiap jam kerja kita bisa dinikmati dan membahagiakan. Sehingga kita tak lagi lelah di ujung hari, bermimpi buruk dalam tidur yang pendek dan tergesa-gesa menyambut pagi untuk didera kesibukan bikin iklan yang makin membuat kita lelah hari demi hari.

Kita harus mulai berbenah. Mulai menghargai diri dan waktu kita, demi kelangsungan dan pengembangan industri ini ke depannya. Saya berharap kita bisa memulai upaya ini dari diri kita masing-masing meskipun dari yang kecil-kecil dulu dan jangan ditunda lagi.

Saya yakin Indonesia bisa unggul tidak hanya di Asia Pasifik, tapi juga di dunia. Dan kita bisa menikmati prosesnya dengan riang hati. Dan saya juga yakin, apa yang akan terjadi tahun 2010 bukan hanya mimpi semata dimana orang-orang akan tertawa saat tidak menjadi kenyataan. Saya juga tahu saya tidak sendirian dengan mimpi ini, Andapun – dalam bentuk yang mungkin berbeda – berhak memimpikan pencapaian-pencapaian yang bahkan lebih baik.

Saya menyelesaikan tulisan ini menjelang pagi yang cerah saat angin dingin sepoi menemani. Tepat di depan saya gunung Merapi yang megah menyapa ramah. Di sebelah kanan semburat sinar matahari kemerahan yang lembut menerpa. Di bawah, hamparan sawah hijau diselimuti embun luas membentang, menyegarkan hati dan jiwa. Di Jogja, juga di kota-kota lain dimana kesibukan belum mengambil alih hidup kita: kemewahan sederhana ini masih mungkin kita nikmati sambil kreatif berkarya. Anda di Jakarta pun berhak menikmatinya.

Persoalannya, berani berubah tidak?



Notes: tulisan ini dimuat di Majalah Cakram Terbaru Edisi Oktober 2007, beberapa diedit oleh Redaksi dan memang lebih pas. Tapi di sini saya posting versi aslinya, sebelum diedit. Ada sedikit perbedaan, silakan temukan yang mananya.

2007/08/14

Iklan Luar Ruang yang Mempercantik Wajah Kota dan Penghuninya

Disampaikan Dalam Sarasehan Penataan Iklan Media Luar Griya di Provinsi DIY yang Berwawasan Budaya
Dewan Kebudayaan Provinsi DIY - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Sabtu, 4 Agustus 2007


Permasalahan Beriklan di Media Luar Ruang

Berapa lama (detik/menit) waktu yang diperlukan oleh seorang pengendara atau pejalan kaki untuk mencerna sebuah iklan luar ruang yang penuh pesan? Maaf Mas saya gak punya waktu kecuali iklan itu sangat menarik dan bermanfaat buat saya!

Saya ingin mengingatkan bahwa iklan termahal adalah iklan yang tidak pernah dibaca audiens! Stop Pemborosan! Bagaimana caranya?

Memahami Content & Context

Mari mengurai permasalahan iklan outdoor yang bisa dibedakan menjadi Content (Materi Iklan) dan Context (Penempatan iklan di titik tertentu)

Content:
- Isi Iklan
- Ide/kreativitas iklan
- Cara Penyajian (Craftmanship)

Context:
- Titik Pemasangan
- Kompetitor
- Environtment

Nah, ini menjadi tantangan bagi para pakar desain urban, pemerintah kota, budayawan, biro iklan dan pelaku bisnis media ruang luar

Bisakah kita mengubah masalah content & context media luar ruang ini menjadi potensi yang mengubah wajah kota menjadi lebih cantik, lebih indah, lebih ramah?

Solusi Dengan Berbagi Tanggung Jawab

Content:
- Isi Iklan: Advertiser (single message)
- Ide/kreativitas iklan: Agency + Advertiser (simple, focus, unique, communicative)
- Cara Penyajian: Agency (optimum execution)

Context:

- Titik Pemasangan : Government (regulasi yang tepat dan pasti)
- Kompetitor: Agency (lewat dialog inter/antar asosiasi)
- Environment: Agency + Government + NGO Terkait (konsorsium/pengawas)

Dilema buat Pemerintah Kota & Masyarakat


Bagaimana menyeimbangkan income jangka pendek dan jangka panjang dalam konteks iklan luar ruang. Bukan memaksimalkan jangka pendek tapi merusak jangka panjang. Tapi optimal-kan pemasukan jangka pendek untuk membangun saluran income masa depan.

Income jangka pendek:
- Biaya pajak + sewa iklan media luar ruang konvensional
- Biaya pajak umum
- Biaya perijinan

Hasil jangka panjang:
- Biaya pajak + sewa iklan media luar ruang non konvensional
- Wajah kota lebih tertata dan memiliki keunikan (khas)
- Ruang publik yang lebih ramah
- Bangunan sejarah lebih terjaga/terawat
- Mengundang lebih banyak wisatawan (dalam/luar)
- Pemberitaan media massa yang lebih supportif

Bagaimana cara memaksimalkan iklan luar ruang untuk mempercantik wajah kota dan penghuninya?

Memaksimalkan fungsi ruang kota sebagai:
- Galeri seni raksasa
- Sarana pencerahan (enlightment)
- Sarana pembelajaran (edukasi)
- Media komunikasi (silaturrahmi)
- Media promosi yang cerdas

Ambient Media: Terobosan Bisnis yang Berbasis Kreatif*

Ambient Media adalah media beriklan yang memanfaatkan lingkungan (environment) dengan cara seunik mungkin sehingga setiap audiens yang melewatinya bisa tersenyum, tertawa, dan ingat akan pesan iklan tersebut. Kekuatannya terletak pada pesan iklannya yang terintegrasi dengan lingkungan.

Semakin banyaknya billboard yang penempatannya tidak teratur malah membuat pandangan menjadi tidak enak. Padahal media ruang luar tidak sesempit itu. Apapun yang kita lihat di sekitar kita, dipandu oleh kreativitas kita dalam mengolahnya, pasti bisa menjadi media iklan yang unik.

Contoh: dengan tidak menghilangkan aspek fungsionalnya, elemen-elemen ruang publik bisa didesain untuk menampilkan pesan kampanye iklan tanpa harus mengganggu. Tentunya harus dilandasi konsep yang kuat, agar pesan bisa tersampaikan. Bahkan sebuah tempat sampah pun bisa divisualkan menjadi iklan yang menarik. Seperti yang oleh Nike, dengan menaruh papan basket berlogo di belakang setiap tempat sampah.

Kalau di Indonesia, apapun yang terkait dengan perizinan media ruang luar, pasti harus berurusan dengan Pemerintah kota. Nah, sekarang saatnya berdialog untuk mencari titik temu (win-win solution).

*Sumber: media-ide.bajingloncat.com/2006/03/17/media-ruang-luar-untuk-iklan

Penutup: Saatnya Jadi Lebih Baik!

Sekaranglah saat terbaik untuk menjadikan Jogja sebagai pelopor media luar ruang ramah lingkungan di Indonesia. Dari pengamatan saya, media luar ruang di manapun di Indonesia baru sebatas diperah hasilnya sebagai pendapatan jangka pendek oleh Pemda dan pemasangannya pun untuk mendapatkan hasil jangka pendek bagi pengusaha.

Ada perkecualian bagi para pemilik brand international dan beberapa brand nasional yang faham betul bagaimana berkomunikasi lewat media luar ruang. Mereka tidak akan sembarangan beriklan, karena menjaga wajah/image brand dengan sangat hati-hati dan efektif. Bukan sekedar short term income yang dikejar tapi justru value. Dengan value yang tinggi maka public trust terhadap brand-pun main tinggi. Brand yang dikenal dan dihormati oleh public akan mempunyai keleluasaan untuk memarketingkan produknya dengan lebih elegan dan lebih laku.

Mari kita mulai perbaikan dari diri sendiri, mulai dari yang kecil-kecil, mulai sekarang. Dan dari ruangan ini.

2007/06/04

Jangan Mau Dirayu Orang Iklan

Disampaikan Dalam Diskusi Jejak Iklan dan Imajinasi Konsumsi
Ruang Seminar Fisipol UGM Yogyakarta, 4 Juni 2007



Anak saya kalau pas nonton tv ada iklan makanan anak-anak, apalagi yang ada hadiah mainannya langsung minta dibeliin. Tapi alhamdulilah sekarang sedikit-sedikit sudah ngerti, karena sering kami ajak diskusi kalau penyedap, gula buatan, pewarna, dll. itu tidak sehat. Akibatnya kalau banyak makan yang seperti itu tidak baik buat kesehatan. Tapi namanya anak-anak, memang harus selalu diingatkan sih…

- Kutipan pengakuan seorang ibu (dikutip dari sebuah milis) -


Sebenarnya inti tulisan ini sudah terwakili dengan penyajian satu kutipan di atas yang saya anggap telah lengkap unsur-unsurnya. Terdapat masalah yang hadir, sekaligus pembahasan solusi untuk mengatasinya. Tapi ternyata sobat saya masih penasaran dan membanjiri saya dengan pertanyaan-pertanyaan tajam. Namanya sobat, tentu saja saya tak kuasa menolak. Apalagi karena saya disandera di sebuah angkringan pinggir sawah dan ‘disuap’ dengan segelas teh poci panas gula batu, dua bungkus nasi kucing, beberapa gorengan dan tiga potong cakar ayam dibalut tepung.

Tugas saya menjawab pertanyaannya, tugas dia membayar apa yang saya makan. Cukup fair menurut saya. Berikut dialognya:

Kamu nggak bisa sok menyederhanakan persoalan begitu. Masalah konsumtivisme ini udah akut, udah super ruwet. Ayo kita kupas dari akarnya: mengapa kamu mendirikan biro iklan kalo hanya untuk memicu konsumtivisme?

Waduh, kok belum-belum udah sewot. Saya mendirikan biro iklan karena hobi. Saya suka menggambar dan segala hal yang berbau kreativitas. Saya berasal dari keluarga miskin, jadi tidak begitu faham apa itu konsumtivisme. Saya akui saya berlebihan jika belanja buku. Untuk kategori ini saya merasa bersalah dan mengaku bahwa saya memang konsumtif. Tapi saya bikin iklan untuk mendukung produsen agar produknya bisa diserap masyarakat. Tanpa lingkaran proses itu maka cash flow tidak mengalir. Perusahaan akan tutup lalu pengangguran membengkak. Siapa yang repot?

Dan saya tidak mengiklankan produk haram. Tapi kalo konsumen tidak membeli produk yang diiklankan, tidak masalah juga. Mereka tidak diancam atau diharuskan. Mereka memilih sendiri apa yang akan mereka beli. Ini negeri demokrasi Bung. Makannya apa saja, minumnya tidak harus teh botol. Air kendipun nggak papa.

Setahu saya, iklan sebagai produk budaya sifatnya netral. Emha pernah bilang, iklan itu anak jadah kebudayaan. Lha siapa yang salah, bapak ibunya alias kebudayaan kita juga kan. Iklan itu cermin budaya. Saya akui budaya kita remuk redam akhir-akhir ini, kamu lihatlah wajah iklan-iklan kita sebagai korban kerakusan dan selingkuh bapak ibunya, ya kebudayaan kita ini akarnya.

Lalu apa pertanggungjawabanmu wahai para pemilik biro iklan ketika masyarakat kita jadi semakin konsumtif dan mabuk belanja?

Konsumtivisme memang bisa dipicu iklan, tapi ingat: keputusan pembelian tetap di otak dan hati konsumen. Tapi saya percaya, rakyat Indonesia ini cerdas-cerdas dan tahu persis mana iklan yang tepat mana yang ngawur. Mana yang menawarkan kesejatian, mana yang mengumbar nafsu dan kerakusan. Tapi ya itulah repotnya, banyak rakyat kita yang tahu tapi tidak mau. Yang ngerti banget pentingnya berhemat tapi terus nguber diskon sampe pake beberapa kereta dorong. Sampai di rumah bingung, kok uangnya tinggal seuprit?

Tanggung jawab saya tentu saja tidak menambah jumlah iklan yang membodohi dan menyodor-nyodorkan produk yang artifisial dengan bumbu kreatif yang melebihi kewajaran. Tapi kalo bicara biro iklan se-Indonesia yang jumlahnya lebih dari seribu: tentu tak semudah membalikkan telapak tangan orang sekecamatan.

Karena kalo iklan memang berpotensi memicu konsumtivisme, iklan sebaiknya dilarang saja. Apa pendapatmu?


Saya sih setuju aja. Tapi tolong dilarang juga penjualan pisau dapur, karena bisa digunakan untuk membunuh. Atau korek api agar hutan kita tidak habis terbakar. Atau paku besi karena bisa dimasukkan ke perut korban oleh dukun santet.

Iklan itu – sekali lagi menurut saya – sifatnya netral. Seperti harta, kekuasaan atau ilmu pengetahuan. Kalo digunakan sesuai aturan, tentu positif hasilnya. Kalo disalahgunakan ya bubrah hasilnya. Kalo hobimu melarang yang tak sesuai pendapatmu, nanti demokrasi kita remuk sebelum tumbuh.

Lho? Awalnya bilang setuju kok buntutnya malah tidak setuju. Tapi setelah semua keburukan terjadi akibat iklan, apa yang bisa dilakukan biro iklan untuk menebus dosanya dalam memicu konsumtivisme?

Yang pertama, iklan yang dihasilkan agency harus jujur. Harus sesuai dengan hati nurani (content) dan kenyataan (context). Baik what to say-nya ataupun how to say-nya. Yang ini tolong jangan ditawar. Seartistik atau sesukses apapun, iklan yang tidak jujur akan berakibat buruk tidak saja buat audiens tapi juga buat kreator dan kliennya. Jika fondasinya salah, bangunan semegah apapun yang berdiri di atasnya takkan bertahan lama. Iklan yang dibuat dengan kejujuran hati akan berkomunikasi dengan landasan kepercayaan tertinggi. Pesannya akan meresap di lubuk hati, tidak sekedar berhenti di panca indera semata.

Yang kedua, perlunya iklan penyadaran tentang konsumtivisme. Jika keburukan diiklankan begitu membabi buta, maka kesederhanaan dan kebersahajaan hidup pun sebaiknya dipromosikan dengan cara yang tepat. Iklan itu tergantung siapa yang ada di baliknya: inilah pekerjaan rumah kita semua.

Apa saranmu buat masyarakat Indonesia dalam memperlakukan iklan yang memasuki dunia mereka secara masif dari pagi sampai pagi lagi?

Saya tidak akan ragu untuk mengatakan: jangan mau diarah-arahkan oleh iklan. Jangan juga langsung percaya pada apa yang saya katakan ini. Carilah di kedalaman hati Anda-anda sekalian: carilah yang paling sejati dari hidup sementara ini. Berikan dukungan pada iklan yang menawarkan kebenaran dan kebaikan, tinggalkanlah iklan yang mengajak pada kesesatan. Dan jangan suka menghakimi sesuatu sebelum paham benar permasalahannya atau cengeng sedikit-sedikit protes kalo ada yang tak sesuai dengan keinginan. Nanti malah timbul fitnah yang tidak perlu. Mulailah perbaikan ini dari diri sendiri, mulailah dari yang kecil-kecil dan mulailah sekarang.

Ini satu lagi: setelah mengetahui efek samping yang buruk dari iklan, apakah kamu akan tetap berada di industri ini?


Pertanyaan aneh: tentu saja saya akan tetap disini. Ini hobi saya jee, punya hobi gak dosa kan? Kalo saya pindah ke bisnis penjualan tasbih dan sajadah, apakah engkau bisa menjaminku masuk surga? Kalo saya import kurma lewat bea cukai Indonesia, apakah efek negatifnya tidak ada? Jangan melihat dunia hitam putih, termasuk dunia periklanan. Jika masih banyak kekurangan di industri ini lantaran begitu banyak penjahatnya, biarlah ini menjadi ladang amal bagi yang mau berbuat baik meskipun mulainya dari dari dalam hati dulu.

Oya, kalo masih ada pertanyaan lagi tolong pesenin teh poci satu lagi. Haus banget nih ngomong terus…

Tapi sobat saya malah mengumpat dengan bahasa walikan dan keburu ngacir, membayar apa saja yang telah kita makan dan balik lagi ke bangku saya. Ini kutipan kalimat yang disampaikannya sambil cemberut,

Malam ini udahan dulu, aku sudah curiga dari tadi sama taktik kunomu. Ngobrolnya dipanjangin tapi tangannya gak berhenti nyomot gorengan. Ongkos makanmu malam ini tiga kali biasanya. Dasar wong iklan! Kapok aku!!!

Sayapun tersenyum, malam ini sobat saya terlihat lebih cerdas daripada sebelumnya.

2007/05/31

Iklan Hard Sale atawa Heart Sale?



Berbicara iklan media cetak, setahu saya pilihannya tak banyak: kalo nggak hard sale ya branding. Agency yang creative minded tentu lebih senang yang branding, meskipun bikinnya sering lebih sulit dan makan waktu. Tapi agency yang pro selling tentu akan lebih recommend iklan hard sale karena impact jangka pendeknya lebih cepat dan lebih sering bisa memuaskan klien yang butuh bukti cepet bahwa iklannya efektif. Tapi jika iklan media cetak tersebut merupakan bagian dari strategi kampanye promosi yang meliputi above the line maupun below the line: dua-duanya bisa digunakan untuk mencapai target jangka panjang tanpa melupakan pencapaiannya dalam jangka pendek.

Mencari Ide Dari Akarnya

Saat ini iklan pemenang award tersedia dimana-mana, dari buku, cd, dvd bahkan youtube dan milis di internet.Begitu juga image bank, getty images atau free image yang lain. Karena saya berada di Jogja, saya sungguh merasakan kemudahan yang luar biasa untuk mengakses iklan-iklan terbaik di dunia dari internet jika dibandingkan beberapa tahun lalu saat masih kuliah. Efek positifnya banyak, kita bisa membandingkan kualitas iklan bikinan kita dengan iklan kelas dunia yang lain. Kita udah imbang belum, lebih baik atau masih lebih buruk. Akses ini membuat agency di manapun punya kesempatan hampir sama untuk menyerap informasi terbaik dan menghasilkan output iklan terbaik. Tak peduli apakah agency itu berasal dari Srandakan Bantul, Mbrosot, Jakarta, New York atau London.

Tapi melihat iklan-iklan di surat kabar maupun di award competition (yang biasanya jarang terlihat di surat kabar), sejujurnya saya mulai boring. Jiwa dan raga. Karena efek dari kebiasaan mengkonsumsi iklan award winning, iklan yang kita bikin jadi ‘berbau’ iklan-iklan luar negeri. Kita mampu mengejar kulitnya, tapi luput menangkap soul-nya. Dan sampai kapanpun, jika kita terus menjadi follower, kita takkan pernah jadi lebih baik daripada yang kita ikuti.

Dan yang bahaya, pelan-pelan kita mulai malas. Daripada pusing cari consumer insight dan menghabiskan banyak energi, mending adaptasi ide iklan yang udah jadi tapi gak begitu terkenal, di-lay out beda, selesai. Daripada motret, mending copy dulu aja dari image bank. Nanti kalo klien udah OK, kita baru bikin photo session. Atau, karena deadline mepet, image yang ini dikombinasi ama image yang itu lalu diblur sedikit, beres deh.

Saya lalu terfikir untuk mencari jalan sendiri, bukan lewat jalan tol mulus yang telah dibikin orang tapi lewat jalan tanah berbatu yang kemungkinan jika berhasil dilalui akan menjadi rute baru. Tapi jika tidak berhasil, saya tentu akan tersesat di rimba raya. Inovasi pada iklan media cetak membutuhkan keberanian dan saya tahu tak banyak agency yang punya.

Misalnya pemahaman bahwa tujuan agency adalah membuat klien jadi lebih cerdas, bukan lebih boros. Meskipun klien boros akan disayang agency karena keuntungannya besar dalam jangka pendek, tapi hidup dan berkembangnya agency dalam jangka panjang justru akan sangat terbantu oleh makin banyaknya klien yang cerdas, yang memahami fungsi utama sebuah agency.

Yuk ‘Mencuri’ Ide

Big artists copy, great artists steal
Picasso repeated by Steve Jobs repeated by Bill Gates

Saya sungguh tak pandai memberi tips untuk tentang iklan media cetak yang baik, jadi saya memilih untuk ‘mencuri’. Interface Apple yang terkenal itu adalah curian dari Research Center-nya Xerox. Sementara Windows adalah curian dari Apple. Tidak ditiru mentah-mentah tentunya, karena Steve Jobs dan Bill Gates menggunakan konsep ATM (Amati, Tiru, Modifikasi).

Oya, mencuri itu bahasa sononya: STEAL. Biar terlihat agak keren, STEAL adalah singkatan dari: sold, tactical, enlighten, ashtonish, lovely. Iklan akan dianggap sukses jika punya 5 hal tersebut. Saya akan coba jelaskan satu persatu.

Sold artinya terjual atau laku. Syarat dasar sebuah iklan memang bisa menjual. Agency bisa menjual idenya ke klien. Klien bisa menjual produknya ke konsumen. David Ogilvy bilang: if it doesn’t sell, it is not advertising. Saya setuju, tapi fungsi iklan untuk menjual tentu bukan segalanya. Setelah bisa menjual, lalu apa? Menurut saya: if it just sells, it doesn’t need advertising. Semua orang berbakat bisa menjual, mulai dari pedagang mainan di pasar sampai kesepakatan import export antar negara. Presiden Indonesia ketemu Perdana Menteri Thailand untuk barter pesawat terbang dengan ketan. Proses dealing bisa terwujud tanpa iklan. Jadi selain laku, kita butuh elemen lainnya agar iklan bisa sukses.

Tactical berbasis strategi. Tanpa strategi promosi yang dipersiapkan dengan matang, iklan seperti peluru yang terhambur dari senapan mesin yang memberondong ke segala arah. Meskipun terlihat gemuruh dan heroik, tapi biayanya mahal dan sia-sia. Strategi akan mengarahkan iklan di tiap media seperti pemanah melesatkan anak panahnya ke titik merah di pusat bulatan dan menancap sempurna. Tak banyak menghabiskan budget tapi super efektif untuk menancapkan pesan di benak audiens.

Enlighten atau pencerahan adalah kriteria berikutnya. Di tengah hidup keseharian yang begini sumpek dengan makin banyaknya persoalan dan bencana, audiens tak lagi jernih berfikirnya. Maunya marah, terburu-buru dan menyalahkan kondisi yang ada. Iklan yang menawarkan pencerahan dan hal-hal positif akan mengobati dahaga khalayak, sehingga justru malah menjadi pusat perhatian. Ketika makin banyak iklan mengumbar janji dan pesan berlebihan justru menuai masalah, iklan yang mencerahkan mempunyai tingkat efektifitas yang luar biasa.

Ashtonish itu mengejutkan. Masyarakat sekarang tak punya banyak waktu membaca surat kabar atau majalah, tak punya kesempatan cukup untuk melihat dan memahami iklan-iklan yang ditayangkan di dalamnya. Apalagi jika iklan yang muncul begitu egois dengan pesan yang puuuuanjang dan visualnya begitu-begitu saja. Jadi kita perlu mengejutkan pembaca. Membuat mereka menghentikan aktivitas speed reading-nya dan tertegun melihat iklan kita. Dan ketika waktu berhenti, itulah bukti keberhasilan efek kejut iklan kita.

Lovely itu disukai atau dicintai. Jika audiens merasa iklan tertentu ‘gue banget’ sebagai akibat pemahaman consumer insight yang tepat, maka audiens-pun dengan sukarela akan menyayangi brand yang diiklankan, atau bahkan mengoleksi iklannya. Pengen ketemu kreatornya untuk foto bareng dan minta tangan. Saya tidak bercanda, art director saya yang bikin iklan Kedaulatan Rakyat Pincang Berhati Emas sering diajak foto bareng fansnya waktu pameran Adex beberapa waktu lalu. Saya malah nggak pernah.


Sebuah Formula Kuno

Baik hard sale maupun branding, yang penting iklan harus jujur. Harus sesuai dengan hati nurani dan kenyataan. Saran terakhir saya terkesan kuno ya? Entahlah, akhir-akhir ini saya memang cenderung kuno. Modernitas sungguh terasa menyesakkan, terutama karena saya merasa makin banyak di antara kita mulai mengasingkan hati nuraninya sendiri untuk mengejar setoran (keuntungan finansial, kemajuan perusahaan dan banyaknya order). Klien maunya gini, gimana lagi?

Seartistik atau sesukses apapun, iklan yang tidak jujur akan berakibat buruk tidak saja buat audiens tapi juga buat kreator dan kliennya. Jika fondasinya salah, bangunan semegah apapun yang berdiri di atasnya takkan bertahan lama.

Jadi saya lebih memilih iklan heart sale, iklan yang menjual dengan hati. Iklan yang dibuat dengan hati akan berkomunikasi dengan hati, tidak sekedar dengan mata dan otak audiens semata. Dan kalau masih pengin dapetin award di AP Adfest, coba deh bikin iklan heart sale. Selain akan lebih berkah, kompetitor yang bikin iklan sejenis ini saya kira tak banyak. Kans menangnya akan jauh lebih besar.

Tapi ini rahasia antar kreator iklan aja ya, kearifan kuno bernama kejujuran itulah yang akan menyelamatkan nurani kita dari perasaan bersalah karena telah ikut memperkeruh otak bangsa ini dengan menghasilkan ‘iklan-iklan sampah’.

(Artikel ini dimuat di Majalah Cakram Edisi Khusus Majalah & Tabloid, Mei 2007)