Footer 1

2007/05/31

Iklan Hard Sale atawa Heart Sale?



Berbicara iklan media cetak, setahu saya pilihannya tak banyak: kalo nggak hard sale ya branding. Agency yang creative minded tentu lebih senang yang branding, meskipun bikinnya sering lebih sulit dan makan waktu. Tapi agency yang pro selling tentu akan lebih recommend iklan hard sale karena impact jangka pendeknya lebih cepat dan lebih sering bisa memuaskan klien yang butuh bukti cepet bahwa iklannya efektif. Tapi jika iklan media cetak tersebut merupakan bagian dari strategi kampanye promosi yang meliputi above the line maupun below the line: dua-duanya bisa digunakan untuk mencapai target jangka panjang tanpa melupakan pencapaiannya dalam jangka pendek.

Mencari Ide Dari Akarnya

Saat ini iklan pemenang award tersedia dimana-mana, dari buku, cd, dvd bahkan youtube dan milis di internet.Begitu juga image bank, getty images atau free image yang lain. Karena saya berada di Jogja, saya sungguh merasakan kemudahan yang luar biasa untuk mengakses iklan-iklan terbaik di dunia dari internet jika dibandingkan beberapa tahun lalu saat masih kuliah. Efek positifnya banyak, kita bisa membandingkan kualitas iklan bikinan kita dengan iklan kelas dunia yang lain. Kita udah imbang belum, lebih baik atau masih lebih buruk. Akses ini membuat agency di manapun punya kesempatan hampir sama untuk menyerap informasi terbaik dan menghasilkan output iklan terbaik. Tak peduli apakah agency itu berasal dari Srandakan Bantul, Mbrosot, Jakarta, New York atau London.

Tapi melihat iklan-iklan di surat kabar maupun di award competition (yang biasanya jarang terlihat di surat kabar), sejujurnya saya mulai boring. Jiwa dan raga. Karena efek dari kebiasaan mengkonsumsi iklan award winning, iklan yang kita bikin jadi ‘berbau’ iklan-iklan luar negeri. Kita mampu mengejar kulitnya, tapi luput menangkap soul-nya. Dan sampai kapanpun, jika kita terus menjadi follower, kita takkan pernah jadi lebih baik daripada yang kita ikuti.

Dan yang bahaya, pelan-pelan kita mulai malas. Daripada pusing cari consumer insight dan menghabiskan banyak energi, mending adaptasi ide iklan yang udah jadi tapi gak begitu terkenal, di-lay out beda, selesai. Daripada motret, mending copy dulu aja dari image bank. Nanti kalo klien udah OK, kita baru bikin photo session. Atau, karena deadline mepet, image yang ini dikombinasi ama image yang itu lalu diblur sedikit, beres deh.

Saya lalu terfikir untuk mencari jalan sendiri, bukan lewat jalan tol mulus yang telah dibikin orang tapi lewat jalan tanah berbatu yang kemungkinan jika berhasil dilalui akan menjadi rute baru. Tapi jika tidak berhasil, saya tentu akan tersesat di rimba raya. Inovasi pada iklan media cetak membutuhkan keberanian dan saya tahu tak banyak agency yang punya.

Misalnya pemahaman bahwa tujuan agency adalah membuat klien jadi lebih cerdas, bukan lebih boros. Meskipun klien boros akan disayang agency karena keuntungannya besar dalam jangka pendek, tapi hidup dan berkembangnya agency dalam jangka panjang justru akan sangat terbantu oleh makin banyaknya klien yang cerdas, yang memahami fungsi utama sebuah agency.

Yuk ‘Mencuri’ Ide

Big artists copy, great artists steal
Picasso repeated by Steve Jobs repeated by Bill Gates

Saya sungguh tak pandai memberi tips untuk tentang iklan media cetak yang baik, jadi saya memilih untuk ‘mencuri’. Interface Apple yang terkenal itu adalah curian dari Research Center-nya Xerox. Sementara Windows adalah curian dari Apple. Tidak ditiru mentah-mentah tentunya, karena Steve Jobs dan Bill Gates menggunakan konsep ATM (Amati, Tiru, Modifikasi).

Oya, mencuri itu bahasa sononya: STEAL. Biar terlihat agak keren, STEAL adalah singkatan dari: sold, tactical, enlighten, ashtonish, lovely. Iklan akan dianggap sukses jika punya 5 hal tersebut. Saya akan coba jelaskan satu persatu.

Sold artinya terjual atau laku. Syarat dasar sebuah iklan memang bisa menjual. Agency bisa menjual idenya ke klien. Klien bisa menjual produknya ke konsumen. David Ogilvy bilang: if it doesn’t sell, it is not advertising. Saya setuju, tapi fungsi iklan untuk menjual tentu bukan segalanya. Setelah bisa menjual, lalu apa? Menurut saya: if it just sells, it doesn’t need advertising. Semua orang berbakat bisa menjual, mulai dari pedagang mainan di pasar sampai kesepakatan import export antar negara. Presiden Indonesia ketemu Perdana Menteri Thailand untuk barter pesawat terbang dengan ketan. Proses dealing bisa terwujud tanpa iklan. Jadi selain laku, kita butuh elemen lainnya agar iklan bisa sukses.

Tactical berbasis strategi. Tanpa strategi promosi yang dipersiapkan dengan matang, iklan seperti peluru yang terhambur dari senapan mesin yang memberondong ke segala arah. Meskipun terlihat gemuruh dan heroik, tapi biayanya mahal dan sia-sia. Strategi akan mengarahkan iklan di tiap media seperti pemanah melesatkan anak panahnya ke titik merah di pusat bulatan dan menancap sempurna. Tak banyak menghabiskan budget tapi super efektif untuk menancapkan pesan di benak audiens.

Enlighten atau pencerahan adalah kriteria berikutnya. Di tengah hidup keseharian yang begini sumpek dengan makin banyaknya persoalan dan bencana, audiens tak lagi jernih berfikirnya. Maunya marah, terburu-buru dan menyalahkan kondisi yang ada. Iklan yang menawarkan pencerahan dan hal-hal positif akan mengobati dahaga khalayak, sehingga justru malah menjadi pusat perhatian. Ketika makin banyak iklan mengumbar janji dan pesan berlebihan justru menuai masalah, iklan yang mencerahkan mempunyai tingkat efektifitas yang luar biasa.

Ashtonish itu mengejutkan. Masyarakat sekarang tak punya banyak waktu membaca surat kabar atau majalah, tak punya kesempatan cukup untuk melihat dan memahami iklan-iklan yang ditayangkan di dalamnya. Apalagi jika iklan yang muncul begitu egois dengan pesan yang puuuuanjang dan visualnya begitu-begitu saja. Jadi kita perlu mengejutkan pembaca. Membuat mereka menghentikan aktivitas speed reading-nya dan tertegun melihat iklan kita. Dan ketika waktu berhenti, itulah bukti keberhasilan efek kejut iklan kita.

Lovely itu disukai atau dicintai. Jika audiens merasa iklan tertentu ‘gue banget’ sebagai akibat pemahaman consumer insight yang tepat, maka audiens-pun dengan sukarela akan menyayangi brand yang diiklankan, atau bahkan mengoleksi iklannya. Pengen ketemu kreatornya untuk foto bareng dan minta tangan. Saya tidak bercanda, art director saya yang bikin iklan Kedaulatan Rakyat Pincang Berhati Emas sering diajak foto bareng fansnya waktu pameran Adex beberapa waktu lalu. Saya malah nggak pernah.


Sebuah Formula Kuno

Baik hard sale maupun branding, yang penting iklan harus jujur. Harus sesuai dengan hati nurani dan kenyataan. Saran terakhir saya terkesan kuno ya? Entahlah, akhir-akhir ini saya memang cenderung kuno. Modernitas sungguh terasa menyesakkan, terutama karena saya merasa makin banyak di antara kita mulai mengasingkan hati nuraninya sendiri untuk mengejar setoran (keuntungan finansial, kemajuan perusahaan dan banyaknya order). Klien maunya gini, gimana lagi?

Seartistik atau sesukses apapun, iklan yang tidak jujur akan berakibat buruk tidak saja buat audiens tapi juga buat kreator dan kliennya. Jika fondasinya salah, bangunan semegah apapun yang berdiri di atasnya takkan bertahan lama.

Jadi saya lebih memilih iklan heart sale, iklan yang menjual dengan hati. Iklan yang dibuat dengan hati akan berkomunikasi dengan hati, tidak sekedar dengan mata dan otak audiens semata. Dan kalau masih pengin dapetin award di AP Adfest, coba deh bikin iklan heart sale. Selain akan lebih berkah, kompetitor yang bikin iklan sejenis ini saya kira tak banyak. Kans menangnya akan jauh lebih besar.

Tapi ini rahasia antar kreator iklan aja ya, kearifan kuno bernama kejujuran itulah yang akan menyelamatkan nurani kita dari perasaan bersalah karena telah ikut memperkeruh otak bangsa ini dengan menghasilkan ‘iklan-iklan sampah’.

(Artikel ini dimuat di Majalah Cakram Edisi Khusus Majalah & Tabloid, Mei 2007)

0 comments: