Alhamdulillah telah lahir putri pertama kami, Malika Alia Sofia, dengan persalinan normal di RSIA Adinda Jl. Soragan Jogja, berat 2,5 kg, panjang 46 cm pada hari Jumat, pukul 22.35, 11.11.11. Terima kasih tak terhingga utk doa teman2 semua :)
This is default featured slide 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
Tampilkan postingan dengan label Personal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Personal. Tampilkan semua postingan
2011/11/11
2011/02/27
Be Unstoppable!
Tidak semua yang bermimpi, akan mendapati impiannya terwujud. Secara statistik berbasis hukum paretto, maksimal hanya 20% dari para pemimpi yang akan mampu merealisasikan impiannya. Lha yang 80% kemana? Gugur di medan juang, terseleksi secara alamiah. Suka tidak suka, faktanya demikian.
Salah satu sebabnya, karena tak mampu melewati rintangan besar yang pertama. Tak cukup keras kepala untuk maju, tapi justru memilih berkompromi dan menegosiasikan tujuan. Atau tergoda oleh tawaran-tawaran yang memikat di sepanjang jalan menuju masa depan sebuah impian. Atau tiba-tiba kehilangan passion untuk mewujudkan mimpi itu lalu memilih berbelok pada impian yang lain. Rumput tetangga seringkali terlihat lebih indah, tapi begitu kita jatuh cinta pada rumput tetangga, saat itu juga rumput kita akan mulai menghitung hari menuju kematiannya.
80% jumlahnya dan itu adalah mayoritas. Artinya, jika engkau mempunyai sebuah impian, kemungkinan gagalnya adalah 80%, 4 banding 1. Makanya kita tidak melihat banyak pemenang di puncak. Mereka adalah minoritas, yang terus berjuang dan merangsek maju dengan keyakinan, tidak sekedar mengandalkan kekuatan logika. Karena logika saja takkan kuat menghadapi ujian yang dihadirkan-Nya.
Logika saja yang berbasis otak kiri akan cenderung berfikir logis dan menghindari resiko, utamanya resiko yang di luar bayangan logis. Dulu saya pernah belajar bahwa jika mengambil resiko sebaiknya yang terukur, bahwa jika berbuat kebaikan dan bermimpi sebaiknya terukur. Sehingga secara umum, hidup saya berjalan relatif aman tapi lambat. Tak secepat yang saya harapkan.
Yang sekarang saya sedang coba ikhtiarkan adalah mengambil resiko sebesar-besarnya untuk kebaikan, kemajuan, pengembangan, tidak secara terukur dalam logika manusia, tapi berlandaskan keyakinan bahwa tercapainya impian kita itu hanya atas ijin Tuhan semata-mata. Tidak terukur tidak apa-apa, selama saya yakin bahwa pilihan yang saya lakukan membuat Tuhan bersedia mendampingi di sepanjang perjalanannya.
Ini tidak mudah, saya pun masih sering takut dan khawatir. Saya masih sering bertanya-tanya, apa yang akan terjadi esok hari? Apakah saya akan mampu menangggung resikonya? Kadang kekuatiran itu pun tak terjawab oleh keterbatasan logika saya.
Tapi saya jalan terus, saya keraskan kepala, saya batukan tekad saya. Saya daftarkan diri saya sebagai militan untuk menggapai impian-impian yang tak terjangkau logika, menjadi tak terhentikan, menjadi extra ordinary, menggapai ridlo-Nya dengan memanfaatkan kemurahan-Nya yang tak terhingga.
Saya tetapkan pada timeline hidup saya, 2011 adalah tahun untuk memaksimalkan hal-hal luar biasa hadir dalam hidup saya. BE UNSTOPPABLE! adalah jargon saya tahun ini. Untuk menjadi yang terbaik di mata Tuhan, jadilah Tak Terhentikan!
Tapi saya jalan terus, saya keraskan kepala, saya batukan tekad saya. Saya daftarkan diri saya sebagai militan untuk menggapai impian-impian yang tak terjangkau logika, menjadi tak terhentikan, menjadi extra ordinary, menggapai ridlo-Nya dengan memanfaatkan kemurahan-Nya yang tak terhingga.
Saya tetapkan pada timeline hidup saya, 2011 adalah tahun untuk memaksimalkan hal-hal luar biasa hadir dalam hidup saya. BE UNSTOPPABLE! adalah jargon saya tahun ini. Untuk menjadi yang terbaik di mata Tuhan, jadilah Tak Terhentikan!
2010/07/28
2008/12/08
Waktunya Install Ulang
Badan saya remuk. Dihajar perjalanan panjang dan tugas yang tak habis-habis. saya telah dholim pada diri saya sendiri, tubuh saya yang ringkih menjerit. Badan saya menggigil, mata saya merah dan batuk hadir bersahut-sahutan dengan deras hujan yang menyapu pelataran.
Sepulangnya saya dari Kongres PPPI di Bandung kemarin, tubuh saya pun menyerah. Saya ambruk, menerima resiko atas pemaksaan kemampuan yang keterlaluan. Saya terlalu memforsirnya. Padahal minggu sebelumnya saya sudah muntah-muntah dalam perjalanan dari Bandung ke Purwokerto via darat. Padahal minggu-minggu sebelumnya saya sudah mendekam di kamar hotel di Malang, menggigil karena demam di sela-sela memberikan workshop Indosat.
Ya, inilah pelajaran yang harus saya terima dengan besar hati. Saat malam-malam yang dingin dan basah saya sibuk batuk tak henti-henti. Tak sedikitpun mata bisa terpejam, capek sekali. Sebegitu capeknya sampai saya tertidur karena capek, bukan karena ngantuk. Tubuh lemas sekali tak mau digerakkan, ngilu-ngilu. Dan ya, di saat seperti ini saya memang harus meninggalkan segala yang berbau pekerjaan.
Hmmm... tidak mudah membawa mimpi yang menyalakan hasrat kita. Salah-salah, adrenaline yang memancar akan merusak hardware-nya, ya tubuh saya ini. Dengan software canggih super cepat yang siap ngegas tapi nyatanya hardware gak support. Lantas hang. Sehingga perlu restart, atau install ulang, atau format ulang.
Mungkin yang terakhir lebih cocok. Agar saya terlahir lagi. Seperti Gatotkaca keluar dari kawah Chandradimuka. Dengan kesaktian luar biasa, dengan kemampuan terbang secepat kilat, dengan daya tempur yang sempurna.
Tapi Gatotkaca yang tanpa kumis. Saya tak suka kumis. Karena kumis akan menyebabkan batuk saya makin parah. Tanpa kumis pun batuknya sudah keterlaluan, menyiksa saya berhari-hari dan belum tahu kapan berhenti.
Terima kasih atas peringatan ini ya Tuhan. Semoga makin menambah syukurku atas segala karunia-Mu yang kemarin-kemarin kusia-siakan. Kesehatan adalah harta termahal, yang untuk mendapatkannya seringkali kita tak bisa menawar.
Sepulangnya saya dari Kongres PPPI di Bandung kemarin, tubuh saya pun menyerah. Saya ambruk, menerima resiko atas pemaksaan kemampuan yang keterlaluan. Saya terlalu memforsirnya. Padahal minggu sebelumnya saya sudah muntah-muntah dalam perjalanan dari Bandung ke Purwokerto via darat. Padahal minggu-minggu sebelumnya saya sudah mendekam di kamar hotel di Malang, menggigil karena demam di sela-sela memberikan workshop Indosat.
Ya, inilah pelajaran yang harus saya terima dengan besar hati. Saat malam-malam yang dingin dan basah saya sibuk batuk tak henti-henti. Tak sedikitpun mata bisa terpejam, capek sekali. Sebegitu capeknya sampai saya tertidur karena capek, bukan karena ngantuk. Tubuh lemas sekali tak mau digerakkan, ngilu-ngilu. Dan ya, di saat seperti ini saya memang harus meninggalkan segala yang berbau pekerjaan.
Hmmm... tidak mudah membawa mimpi yang menyalakan hasrat kita. Salah-salah, adrenaline yang memancar akan merusak hardware-nya, ya tubuh saya ini. Dengan software canggih super cepat yang siap ngegas tapi nyatanya hardware gak support. Lantas hang. Sehingga perlu restart, atau install ulang, atau format ulang.
Mungkin yang terakhir lebih cocok. Agar saya terlahir lagi. Seperti Gatotkaca keluar dari kawah Chandradimuka. Dengan kesaktian luar biasa, dengan kemampuan terbang secepat kilat, dengan daya tempur yang sempurna.
Tapi Gatotkaca yang tanpa kumis. Saya tak suka kumis. Karena kumis akan menyebabkan batuk saya makin parah. Tanpa kumis pun batuknya sudah keterlaluan, menyiksa saya berhari-hari dan belum tahu kapan berhenti.
Terima kasih atas peringatan ini ya Tuhan. Semoga makin menambah syukurku atas segala karunia-Mu yang kemarin-kemarin kusia-siakan. Kesehatan adalah harta termahal, yang untuk mendapatkannya seringkali kita tak bisa menawar.
2008/10/08
Ke Bumi Laskar Pelangi

Minggu depan kesempatan itu akhirnya hadir: Insya Allah saya akan berkunjung ke bumi Laskar Pelangi. Menjenguk kampung halaman calon istri saya di Pangkal Pinang. Dan rencananya juga main ke Belitung: yang telah melahirkan Andrea Hirata dan Laskar Pelangi-nya. Filmnya saya belum bisa nonton, masih nunggu antrian meskipun bukunya yang luar biasa ajaib sudah khatam saya baca.
Mmm... kayak apa ya suasana dan pemandangan di sana? Kalo ke Sumatera saya pernah ke Palembang. Tapi baru sekali saya ke Pangkal Pinang. Dan yach, saya paling seneng menuju ke tempat yang baru, mengalami hal-hal baru, meninggalkan kebiasaan yang lama-lama membelenggu.
Semoga ada banyak cerita indah yang saya bisa bagikan ke temen-temen semua pembaca blog ini. Dan semoga perjalanan ini bermakna sebagai pondasi masa depan saya. Saya merindukan hal-hal yang belum pernah saya alami. Dan seseorang yang setia menunggu saya di sana.
Mmm... kayak apa ya suasana dan pemandangan di sana? Kalo ke Sumatera saya pernah ke Palembang. Tapi baru sekali saya ke Pangkal Pinang. Dan yach, saya paling seneng menuju ke tempat yang baru, mengalami hal-hal baru, meninggalkan kebiasaan yang lama-lama membelenggu.
Semoga ada banyak cerita indah yang saya bisa bagikan ke temen-temen semua pembaca blog ini. Dan semoga perjalanan ini bermakna sebagai pondasi masa depan saya. Saya merindukan hal-hal yang belum pernah saya alami. Dan seseorang yang setia menunggu saya di sana.
2008/09/22
Balada Blackberry

Ya, ini bukan teknologi yang baru-baru amat. Tapi kebetulan saja beberapa teman dekat di PPPI sudah mulai menyeragamkan diri dengan gadget ini: maraklah komunitas blackberry yang anggotanya tokoh-tokoh periklanan Indonesia. Seperti testimony penggunanya: dengan blackberry maka urusan email dan YM jadi lebih mudah dan simple. Bisa terkontrol setiap saat dan gak perlu donlot lama karena GPRS-nya unlimited dan hanya Rp 150.000,-/bulan.
Nah, sebagai Sekretaris PPPI Pengda DIY: sayapun menjadi sasaran untuk dijadikan anggota berikutnya komunitas ini, supaya lebih gaul dan update informasi periklanan katanya. Hmm, tentu saja saya mau ter-update dan enggan menjadi anggota kaum jadul.
Tapi kok saya belum tertarik untuk melengkapi diri saya dengan gadget itu ya? Atau karena saya memang bukan gadget mania? Saya masih setia dengan Nokia 6300 yang begitu simple pengoperasiannya dan buat sms sangat nyaman. Tak ada fitur selengkap blackberry mungkin, tapi itu sudah cukup memenuhi kebutuhan saya. Sebagai seorang Executuve Creative Director, saya toh tak terlalu banyak kontak dengan klien, beda ama Marketing Director.
Dan yang penting - ini alasan sesungguhnya mengapa saya masih enggan ber-blackberry-ria: pelan-pelan benda canggih ini akan mulai memerangkap jadual saya sehingga harus siaga mencek email masuk setiap waktu dan mulai kehilangan waktu saya yang paling berharga, harta yang termahal karena saya sangat membutuhkannya untuk menghasilkan ide-ide dahsyat yang bisa dijual milyaran rupiah ke klien.
Bukan karena saya tak mau gaul, bukan karena saya alergi teknologi baru.
Saat kita mengatakan ya untuk hal-hal yang tak penting, itu artinya kita telah mengatakan tidak pada hal-hal yang sungguh penting. Suatu hari nanti mungkin saya kan pakai blackberry, tapi hanya setelah saya yakin sayalah tuannya. Dan bukan budaknya.
2008/03/21
Tribute to Myself
33 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33
33 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33
33 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33
33 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33
33 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33
2008/03/10
Cuaca Aneh dan Bodi Ringkih
Beberapa hari ini, cuaca makin tak menentu. Hanya dalam hitungan kurang dari satu jam, dari panas terik lalu turun hujan, mendung lagi, terik lagi dan hujan (lagi). Cuaca panas terik membakar tapi badan basah kuyup diguyur air dari Tuhan. Akibatnya tubuhpun gampang remuk redam lantaran bingung beradaptasi. Yang pilek lah, batuk lah, pusing atau meriang. Sebenernya tidak sulit membentengi tubuh kita dari akibat kebocoran lapisan ozon ini: banyak makan yang bergizi dan banyak isirahat (paling baik ya cukup tidur).
Tapi cilakanya, namanya orang sakit ya gak doyan makan. Dan lantaran didera pekerjaan, tidurnya pun didiskon habis-habisan. Sehari bisa dapet 3-4 jam udah syukur luar biasa. Jadi, tubuh yang terus dihajar daya tahannya pun lama-lama ngambek. Tak berfungsi optimal. Gampang capek, gampang lemes. Gampang ambruk.
Dan gejala ambruknya kondisi fisik kita adalah alarm alamiah yang harus kita perhatikan benar-benar jika tak ingin segera kadaluarsa dari dunia ini. Untuk apa kaya raya kalo kekayaannya habis buat beli obat? Untuk apa sukses luar biasa kalau kita hanya bisa menikmatinya di ruang rawat inap rumah sakit meskipun VIP?
Jadi, untuk sementara udahan dulu yaa.. Saya mau tidur dulu. Saya ingin terus menulis karena saya mencintai teman-teman pengunjung blog ini tapi tentu saya lebih ingin mencurahkan cinta saya itu dengan tubuh yang segar, yang sehat, yang penuh rasa syukur...
Tapi cilakanya, namanya orang sakit ya gak doyan makan. Dan lantaran didera pekerjaan, tidurnya pun didiskon habis-habisan. Sehari bisa dapet 3-4 jam udah syukur luar biasa. Jadi, tubuh yang terus dihajar daya tahannya pun lama-lama ngambek. Tak berfungsi optimal. Gampang capek, gampang lemes. Gampang ambruk.
Dan gejala ambruknya kondisi fisik kita adalah alarm alamiah yang harus kita perhatikan benar-benar jika tak ingin segera kadaluarsa dari dunia ini. Untuk apa kaya raya kalo kekayaannya habis buat beli obat? Untuk apa sukses luar biasa kalau kita hanya bisa menikmatinya di ruang rawat inap rumah sakit meskipun VIP?
Jadi, untuk sementara udahan dulu yaa.. Saya mau tidur dulu. Saya ingin terus menulis karena saya mencintai teman-teman pengunjung blog ini tapi tentu saya lebih ingin mencurahkan cinta saya itu dengan tubuh yang segar, yang sehat, yang penuh rasa syukur...
2008/02/26
Menjalani Hari Demi Hari
Ada hari-hari dimana tak semua harapanmu terpenuhi. Ada hari-hari dimana kebahagiaan seolah hanya ditakdirkan untuk orang lain. Ada hari-hari dimana keburukan seperti mengumpul dan menjadi palu godam yang menghantam nasibmu. Ada hari-hari dimana saat begitu dibutuhkan, teman-teman terdekat menjadi yang paling jauh. Ada hari-hari dimana engkau merasa telah melakukan segalanya sebaik-baiknya, mengikuti dengan hati-hati semua jalan Tuhan, tapi yang engkau terima adalah duka cita.
Ya, secara manusiawi kita boleh dan wajar berteriak histeris, memaki-maki dan mempertanyakan keadilan Tuhan ada dimana. Ya, sebagian besar orang yang pernah hidup di bumi ini akan melakukan hal yang sama: untuk semua hal buruk yang terjadi maka jawaban yang paling masuk akal adalah menyalahkan apa saja, siapa saja.
Tapi jika engkau memilih menerima dengan besar hati dan bersyukur atas semua 'keburukan' yang terjadi: akan kau temukan di akhir hari bahwa sebenarnya Tuhan hanya sekedar 'menggoda'. Tuhan tak sungguh-sungguh berniat melukaimu. Tuhan tak serius menenggelamkan nasibmu dalam duka cita. Toh, dari semua prasangka buruk kita kepada Tuhan: Dia masih bermurah hati memberi kita hari-hari untuk kita jalani kan?
Selamat menjalani hari-hari burukmu dengan rasa syukur yang melapangkan dada: nikmatilah hidangan pembuka atas segera hadirnya karunia Tuhan yang tak terkira....
Ya, secara manusiawi kita boleh dan wajar berteriak histeris, memaki-maki dan mempertanyakan keadilan Tuhan ada dimana. Ya, sebagian besar orang yang pernah hidup di bumi ini akan melakukan hal yang sama: untuk semua hal buruk yang terjadi maka jawaban yang paling masuk akal adalah menyalahkan apa saja, siapa saja.
Tapi jika engkau memilih menerima dengan besar hati dan bersyukur atas semua 'keburukan' yang terjadi: akan kau temukan di akhir hari bahwa sebenarnya Tuhan hanya sekedar 'menggoda'. Tuhan tak sungguh-sungguh berniat melukaimu. Tuhan tak serius menenggelamkan nasibmu dalam duka cita. Toh, dari semua prasangka buruk kita kepada Tuhan: Dia masih bermurah hati memberi kita hari-hari untuk kita jalani kan?
Selamat menjalani hari-hari burukmu dengan rasa syukur yang melapangkan dada: nikmatilah hidangan pembuka atas segera hadirnya karunia Tuhan yang tak terkira....
2008/02/16
Proses Belajar yang Sejati

Inilah yang sedang saya coba jalani, dengan berdarah-darah. Proses belajar yang orang jawa bilang ‘ngelmu’. Angel yen durung ketemu, sulit kalo belum ketemu. Jadi sebagai suatu proses kewajaran, maka pencarian atas jawaban yang tersembunyi – supaya ketemu – terus saya lakukan. Seringkali setelah melewati serangkaian kesalahan, kegagalan, kebodohan bahkan ketololan. Juga kerugian yang luar biasa besar, baik jiwa maupun raga.
Dan pagi ini, seberkas sinar putih melesat melewati neuron saya yang sedang dalam posisi alfa: saya ‘merasa’ menemukan 'sesuatu yang hilang' itu.
Belajar sejati adalah saat kita mampu mengintegrasikan keyakinan, pikiran, ucapan dan tindakan kita dalam satu bahasa. Klop. Tanpa jarak. Tidak terbelah. Tidak warna warni.
Ini pastinya bukan penemuan abad ini. Malah inilah bentuk kearifan kuno yang telah ada di semua kitab suci dan di budaya manapun. Tapi itulah, saking sederhananya kebenaran penting ini: kita sering melewatkannya. Menganggapnya sepele dan tak berarti. Jadi tidak bergunalah kearifan itu untuk membuat hidup kita jadi lebih baik.
Lalu saya rontgent ulang diri saya yang sok tahu ini. Nah, ketahuan belangnya! Jarak antara elemen-elemen itu (keyakinan, pikiran, ucapan dan tindakan) dalam diri saya masih sangatlah jauh. Keyakinan saya bilang begini, dibantah pikiran saya. Ucapan saya yang sering ngawur banyak melesetnya dalam tindakan. Tindakan saya yang kadang bermodal feeling doang tak mau diterima pikiran (logika). Jadi pecahlah pertempuran seru sampai brubuh dalam diri saya. Saya yang tuan rumahnya jadi kecapekan, bingung, stress, tak tahu melangkah kemana.
Nah, lalu solusinya bagaimana? Pulang. Pulang?
Ya, marilah pulang kepada asal muasal kita. Marilah pulang pada kepolosan bayi. Pulang pada kesejatian kita sebagai manusia: bahwa kita ini bukan siapa-siapa. Jika bukan karena kun fayakun Allah: maka tak mungkinlah kita hadir di dunia ini. Jadi hidup kita ringan, tanpa beban. Ringanlah kita berfikir, berucap bertindak untuk me-nol-kan kepentingan kita. Di hadapan Sang Maha Tinggi, diri dan keinginan kita sama sekali tak penting.
Maka Allah mengajarkan keimanan. Iman itulah inti dari proses belajar yang sejati. Iman membimbing kita untuk mengarungi dunia yang carut marut ini dengan kendaraan tubuh manusiawi kita yang ringkih. Manusia itu terbatas, tapi iman mampu menjangkau semesta bahkan Tuhan. Otak kita terbatas, tapi iman meyakini kejadian setelah mati. Tindakan kita terbatas, tapi iman telah memindahkan gunung, melontarkan pesawat ke planet Mars, bahkan ke lapis langit ketujuh dalam Isar’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW junjungan saya.
Ya, saya sedang membenahi iman saya yang robek-robek akibat kebodohan saya sendiri. Saya sedang menempuh perjalanan untuk menjadi bayi kembali. Saat sinar putih itu melesat, ada sepersekian moment yang membuat saya terpana.
Terima kasih, ya Allah. Mohon masukkan hamba ke dalam golongan hamba-Mu yang senantiasa bersyukur, dalam kemudahan maupun kesulitan. Dengan bimbingan-Mu, kebahagiaan hamba tidak akan tergantung pada situasi di sekeliling hamba atau pada diri hamba sendiri, kebahagiaan hamba hanya akan terpusat pada-Mu...
Dan pagi ini, seberkas sinar putih melesat melewati neuron saya yang sedang dalam posisi alfa: saya ‘merasa’ menemukan 'sesuatu yang hilang' itu.
Belajar sejati adalah saat kita mampu mengintegrasikan keyakinan, pikiran, ucapan dan tindakan kita dalam satu bahasa. Klop. Tanpa jarak. Tidak terbelah. Tidak warna warni.
Ini pastinya bukan penemuan abad ini. Malah inilah bentuk kearifan kuno yang telah ada di semua kitab suci dan di budaya manapun. Tapi itulah, saking sederhananya kebenaran penting ini: kita sering melewatkannya. Menganggapnya sepele dan tak berarti. Jadi tidak bergunalah kearifan itu untuk membuat hidup kita jadi lebih baik.
Lalu saya rontgent ulang diri saya yang sok tahu ini. Nah, ketahuan belangnya! Jarak antara elemen-elemen itu (keyakinan, pikiran, ucapan dan tindakan) dalam diri saya masih sangatlah jauh. Keyakinan saya bilang begini, dibantah pikiran saya. Ucapan saya yang sering ngawur banyak melesetnya dalam tindakan. Tindakan saya yang kadang bermodal feeling doang tak mau diterima pikiran (logika). Jadi pecahlah pertempuran seru sampai brubuh dalam diri saya. Saya yang tuan rumahnya jadi kecapekan, bingung, stress, tak tahu melangkah kemana.
Nah, lalu solusinya bagaimana? Pulang. Pulang?
Ya, marilah pulang kepada asal muasal kita. Marilah pulang pada kepolosan bayi. Pulang pada kesejatian kita sebagai manusia: bahwa kita ini bukan siapa-siapa. Jika bukan karena kun fayakun Allah: maka tak mungkinlah kita hadir di dunia ini. Jadi hidup kita ringan, tanpa beban. Ringanlah kita berfikir, berucap bertindak untuk me-nol-kan kepentingan kita. Di hadapan Sang Maha Tinggi, diri dan keinginan kita sama sekali tak penting.
Maka Allah mengajarkan keimanan. Iman itulah inti dari proses belajar yang sejati. Iman membimbing kita untuk mengarungi dunia yang carut marut ini dengan kendaraan tubuh manusiawi kita yang ringkih. Manusia itu terbatas, tapi iman mampu menjangkau semesta bahkan Tuhan. Otak kita terbatas, tapi iman meyakini kejadian setelah mati. Tindakan kita terbatas, tapi iman telah memindahkan gunung, melontarkan pesawat ke planet Mars, bahkan ke lapis langit ketujuh dalam Isar’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW junjungan saya.
Ya, saya sedang membenahi iman saya yang robek-robek akibat kebodohan saya sendiri. Saya sedang menempuh perjalanan untuk menjadi bayi kembali. Saat sinar putih itu melesat, ada sepersekian moment yang membuat saya terpana.
Terima kasih, ya Allah. Mohon masukkan hamba ke dalam golongan hamba-Mu yang senantiasa bersyukur, dalam kemudahan maupun kesulitan. Dengan bimbingan-Mu, kebahagiaan hamba tidak akan tergantung pada situasi di sekeliling hamba atau pada diri hamba sendiri, kebahagiaan hamba hanya akan terpusat pada-Mu...
2008/02/15
Ah, Ketemu Lagi!
Tidak, saya tidak melupakan blog ini. Tegur sapa dari banyak teman telah membuat saya berusaha keras mencuri waktu dari daily live saya yang sebulan belakangan memang meningkat intensitasnya. Atau ngaku saja deh, saya masih pemula di bidang kecerdasan membagi waktu. Dan, ya.. konsentrasi. Kalo mau jujur, waktu sebenernya sih cukup. Tapi tidak di semua waktu luang yang saya miliki, saya juga bisa konsentrasi. Saya mencoba fokus pada salah satu bidang yang saya tekuni: dan inilah hasilnya.
Beberapa hal yang tidak masuk highest priority ya mesti menunggu, satu demi satu. Tapi saya memang tidak sedang merencanakan pensiun dari blog ini, hanya jeda. Hanya menjaga jarak sedikit, hanya istirahat sejenak. Dengan itu, saya berharap bisa lebih jernih untuk melanjutkan perjalanan saya dimana sebagiannya saya tuliskan di sini.
Dan di sela kesibukan yang menguras jiwa raga, alhamdulillah saya masih sempat bermimpi. An active dream, bukan sekedar kembang tidur. Mimpi-mimpi yang menghiasi masa depan saya itulah yang menyeret saya kembali di kolom posting ini. Mimpi saya untuk meng-empower sebanyak mungkin orang agar mulai memaksimalkan potensi kreatifnya untuk mewujudkan impiannya yang tertinggi. Rasa-rasanya hal seperti inilah yang membuat hidup saya yang sementara ini terasa berarti.
Dan ya, mimpi yang ingin diwujudkan perlu kerja keras. Dan keteguhan niat. Dan semangat yang luar biasa. Dan konsistensi. Dan Tuhan.
Dari tiada menjadi ada untuk lalu tiada kembali: tempat terbaik adalah Tuhan. Selalu. Senantiasa.
Beberapa hal yang tidak masuk highest priority ya mesti menunggu, satu demi satu. Tapi saya memang tidak sedang merencanakan pensiun dari blog ini, hanya jeda. Hanya menjaga jarak sedikit, hanya istirahat sejenak. Dengan itu, saya berharap bisa lebih jernih untuk melanjutkan perjalanan saya dimana sebagiannya saya tuliskan di sini.
Dan di sela kesibukan yang menguras jiwa raga, alhamdulillah saya masih sempat bermimpi. An active dream, bukan sekedar kembang tidur. Mimpi-mimpi yang menghiasi masa depan saya itulah yang menyeret saya kembali di kolom posting ini. Mimpi saya untuk meng-empower sebanyak mungkin orang agar mulai memaksimalkan potensi kreatifnya untuk mewujudkan impiannya yang tertinggi. Rasa-rasanya hal seperti inilah yang membuat hidup saya yang sementara ini terasa berarti.
Dan ya, mimpi yang ingin diwujudkan perlu kerja keras. Dan keteguhan niat. Dan semangat yang luar biasa. Dan konsistensi. Dan Tuhan.
Dari tiada menjadi ada untuk lalu tiada kembali: tempat terbaik adalah Tuhan. Selalu. Senantiasa.
2008/01/06
2008
Saya ingin benar-benar lahir kembali, meninggalkan diri saya yang usang di masa silam. Saya ingin lahir kembali, tertawa, belajar, bernyanyi dan berekspresi seperti bayi. Saya ingin mata yang baru, yang memandang dunia ini dengan cara yang sama sekali berbeda yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Saya ingin berfikir dengan rileks, sehingga imajinasi bisa terbang menembus atap cakrawala. Saya ingin mengambil resiko yang belum pernah saya ambil sebelumnya. Saya akan memikirkan ulang bisnis saya, hidup saya, masa depan saya dengan pemikiran yang belum pernah ada di benak saya sebelumnya...
Saya adalah manusia baru: dan ini adalah perkenalan saya yang pertama buat teman-teman semua. Saya belum tahu apakah blog ini akan berubah juga secara revolusioner karena mencerminkan apa yang sedang bergemuruh dalam diri saya. Saya memutuskan diri untuk melompat dari atas tebing masa lalu dan mencoba menumbuhkan sayap-sayap saya sendiri untuk terbang ke masa depan. Saya nglungsungi, me-reinventing diri saya sendiri sampai hampir pangling...
Dunia ini terlalu indah untuk hanya dinikmati sambil berdiam diri dan jalan di tempat...
Saya adalah manusia baru: dan ini adalah perkenalan saya yang pertama buat teman-teman semua. Saya belum tahu apakah blog ini akan berubah juga secara revolusioner karena mencerminkan apa yang sedang bergemuruh dalam diri saya. Saya memutuskan diri untuk melompat dari atas tebing masa lalu dan mencoba menumbuhkan sayap-sayap saya sendiri untuk terbang ke masa depan. Saya nglungsungi, me-reinventing diri saya sendiri sampai hampir pangling...
Dunia ini terlalu indah untuk hanya dinikmati sambil berdiam diri dan jalan di tempat...
2008/01/05
Hepi B'Day Hun

Met Ultah ya Hun, terima kasih untuk terus berusaha memahami manusia aneh yang selalu membutuhkan treatment berbeda ketimbang manusia lainnya. Tak banyak yang punya cukup kesabaran untuk memahami kesablenganku, mungkin hanya engkaulah yang masih tersisa. Semoga tahun-tahun yang telah kita lewati bersama membuat kita makin dewasa, tanpa harus kehilangan keceriaan kanak-kanak yang selalu membuat indah dunia...
2007/12/26
Saya Tak Sanggup Menolong...
Saat itu jam 16.00 lalu lintas di jalan menuju Godean macet, di tengah kemacetan ada 2 mobil berhenti di tengah jalan posisinya agak meyamping. Empat orang laki-laki berperawakan besar turun dari mobil yang di depan, tanpa ba bi bu memukuli sopir yang ada di dalam mobil belakangnya. Pengemudi naas itu tidak berdaya dan hanya bertahan mukanya ditonjokin, terlihat darah mulai mengucur. Tapi empat orang pengeroyoknya tak peduli dan terus memukul dari jendela yang terbuka, lalu menggedor kap dan atap mobil. Beringas sekali! Mungkin tadi ada serempetan atau tabrakan kecil, saya kurang tahu. Lalu seorang perempuan keluar dari mobil yang di belakang dan mencoba menghentikan pemukulan, tapi justru perlakuan kasar diterimanya. Dia didorong tepat di muka oleh seorang laki-laki dengan sangat kasar sambil mengeluarkan sumpah serapah.
Setelah puas menghajar, mereka berempatpun masuk mobil lagi dan dengan kasar menstarter mobilnya keluar dari kerumunan. Tinggal pengemudi mobil babak belur berdarah dan perempuan (istrinya?) menangis keras-keras. Barulah orang-orang mulai berani mendekat, meminggirkan mobil dan memberikan pertolongan.
Dan di situlah saya: terpaku tak berbuat apa-apa. Ada lebih kurang dua puluhan orang berada di sekitar TKP dan hanya memandang pengeroyokan itu. Semua orang yang saya lihat, semua tidak berbuat apa-apa. Gejala apa ini? Ya Allah, saya merasa berada di Jakarta bukan di Jogja...
Entahlah, saya sendiri merasa begitu bersalah sampai berkeringat melihat kekejaman di depan mata saya, saya hanya terdiam. Rasanya pengecut sekali. Seharusnya saya turun dari motor dan melerai pengeroyokan itu, meskipun saya tak tahu siapa yang salah di antara mereka. Tapi toh itu tak penting karena faktanya pengeroyokan itu terlalu kejam jika disaksikan lebih dari dua puluh pasang mata di tengah kemacetan jalan. Toh semuanya bisa dibicarakan baik-baik di pinggir jalan.
Dan, ya: saya memang penakut. Saya merasa takut mereka akan mengeroyok saya, karena saya sok ikut campur. Dan memang kecil kemungkinan menang lawan tim preman itu. Tapi di dalam hati saya yang paling dalam, saya merasa hancur. Saya merasa bukan diri saya lagi. Saya menyesal setengah mati, saya malu pada sang korban. Saya malu pada perempuan yang berani melawan 4 laki-laki pengeroyok (mereka berempat lebih pantas disebut betina). Saya merasa bukan manusia utuh lagi: jika saya yang dipukuli dan begitu banyak orang berkerumun tanpa satupun menolong, betapa remuk hati saya. Sakitnya pasti melebihi remuknya wajah saya.
Ya Allah, ampunilah hamba-Mu ini. Ampunilah ketakutan hamba-Mu ini... hamba tak sanggup berkata-kata, hamba tak sanggup bersuara...
Setelah puas menghajar, mereka berempatpun masuk mobil lagi dan dengan kasar menstarter mobilnya keluar dari kerumunan. Tinggal pengemudi mobil babak belur berdarah dan perempuan (istrinya?) menangis keras-keras. Barulah orang-orang mulai berani mendekat, meminggirkan mobil dan memberikan pertolongan.
Dan di situlah saya: terpaku tak berbuat apa-apa. Ada lebih kurang dua puluhan orang berada di sekitar TKP dan hanya memandang pengeroyokan itu. Semua orang yang saya lihat, semua tidak berbuat apa-apa. Gejala apa ini? Ya Allah, saya merasa berada di Jakarta bukan di Jogja...
Entahlah, saya sendiri merasa begitu bersalah sampai berkeringat melihat kekejaman di depan mata saya, saya hanya terdiam. Rasanya pengecut sekali. Seharusnya saya turun dari motor dan melerai pengeroyokan itu, meskipun saya tak tahu siapa yang salah di antara mereka. Tapi toh itu tak penting karena faktanya pengeroyokan itu terlalu kejam jika disaksikan lebih dari dua puluh pasang mata di tengah kemacetan jalan. Toh semuanya bisa dibicarakan baik-baik di pinggir jalan.
Dan, ya: saya memang penakut. Saya merasa takut mereka akan mengeroyok saya, karena saya sok ikut campur. Dan memang kecil kemungkinan menang lawan tim preman itu. Tapi di dalam hati saya yang paling dalam, saya merasa hancur. Saya merasa bukan diri saya lagi. Saya menyesal setengah mati, saya malu pada sang korban. Saya malu pada perempuan yang berani melawan 4 laki-laki pengeroyok (mereka berempat lebih pantas disebut betina). Saya merasa bukan manusia utuh lagi: jika saya yang dipukuli dan begitu banyak orang berkerumun tanpa satupun menolong, betapa remuk hati saya. Sakitnya pasti melebihi remuknya wajah saya.
Ya Allah, ampunilah hamba-Mu ini. Ampunilah ketakutan hamba-Mu ini... hamba tak sanggup berkata-kata, hamba tak sanggup bersuara...
2007/12/21
Saya Belum
Saya belum bikin resolusi untuk tahun 2008. Saya belum bikin list calon penerima Mybothsides Award 2007. Saya belum menentukan tanggal pernikahan. Saya belum posting blog lagi secara teratur. Saya belum menyelesaikan beberapa pekerjaan kantor. Saya belum beresin urusan pindahan rumah. Saya belum tobat (lagi). Saya belum menulis diary. Saya belum... Saya belum... Saya belum...
Sudah 5 hari ini saya dianugerahi Allah demam tinggi, hidung mampet dan sakit kepala yang alhamdulillah bikin saya tak bisa bekerja maksimal: saya bahkan tak bisa undur diri sekejap untuk memasukkan rongsokan tubuh saya ke tempat beristirahat yang lebih nyaman. Saya ini manusia tak tahu diuntung, punya tubuh titipan Tuhan pakenya sembarangan. Terus menerus dihajar pekerjaan dan pemikiran yang memeras keringat dan syaraf: mencapai puncaknya saat saya memutuskan untuk pulang ke Rembang setelah memberikan pelatihan pada dosen-dosen ASDI di Solo. Perjalanan nonstop sepanjang 18 jam membuat tubuh saya berteriak-teriak minta ampun: sayapun menyerah.
Rasa sakit diberikan Allah untuk mengingatkan: Rief, istirahat dulu. Jangan mau diperbudak pekerjaan. Percuma sukses kalo tubuh ringsek. Saya hanya memandang langit-langit, rebah tak berdaya dengan selimut menutupi tubuh yang mandi keringat, sambil berdoa semoga masih ada waktu tersisa untuk menyelesaikan tugas-tugas saya di dunia ini. Kematian tiba-tiba Basuki saat bermain futsal begitu mengagetkan saya: skenario Tuhan kadang kita tak pernah perkirakan.
Steve Jobs pernah bilang,"Mudah saja buat saya saat harus mengambil keputusan dari beberapa pilihan yang sulit. Saya bayangkan ini hari terakhir saya di dunia, dan keputusan apakah yang akan saya pilih di akhir hidup saya itulah yang akan saya ambil."
Saat tubuh kita tak berdaya, kita merasa Tuhan begitu dekat. Meskipun pikiran macet, tapi kepasrahan akan mencerahkan hati. Terima kasih Tuhan, tanpa sakitmu yang masih menemaniku sampai hari ini: Engkau telah menyelamatkanku dari penyakit kurang ajar dan kurang bersyukur atas kesehatan yang Kau berikan.
(Posting ini adalah tenaga pinjaman dari masa depan, bisa jadi setelah ini saya akan ambruk lagi dengan penuh rasa syukur karena telah mengobati kerinduan saya untuk menyapa Anda semua, sahabat-sahabat saya...)
Sudah 5 hari ini saya dianugerahi Allah demam tinggi, hidung mampet dan sakit kepala yang alhamdulillah bikin saya tak bisa bekerja maksimal: saya bahkan tak bisa undur diri sekejap untuk memasukkan rongsokan tubuh saya ke tempat beristirahat yang lebih nyaman. Saya ini manusia tak tahu diuntung, punya tubuh titipan Tuhan pakenya sembarangan. Terus menerus dihajar pekerjaan dan pemikiran yang memeras keringat dan syaraf: mencapai puncaknya saat saya memutuskan untuk pulang ke Rembang setelah memberikan pelatihan pada dosen-dosen ASDI di Solo. Perjalanan nonstop sepanjang 18 jam membuat tubuh saya berteriak-teriak minta ampun: sayapun menyerah.
Rasa sakit diberikan Allah untuk mengingatkan: Rief, istirahat dulu. Jangan mau diperbudak pekerjaan. Percuma sukses kalo tubuh ringsek. Saya hanya memandang langit-langit, rebah tak berdaya dengan selimut menutupi tubuh yang mandi keringat, sambil berdoa semoga masih ada waktu tersisa untuk menyelesaikan tugas-tugas saya di dunia ini. Kematian tiba-tiba Basuki saat bermain futsal begitu mengagetkan saya: skenario Tuhan kadang kita tak pernah perkirakan.
Steve Jobs pernah bilang,"Mudah saja buat saya saat harus mengambil keputusan dari beberapa pilihan yang sulit. Saya bayangkan ini hari terakhir saya di dunia, dan keputusan apakah yang akan saya pilih di akhir hidup saya itulah yang akan saya ambil."
Saat tubuh kita tak berdaya, kita merasa Tuhan begitu dekat. Meskipun pikiran macet, tapi kepasrahan akan mencerahkan hati. Terima kasih Tuhan, tanpa sakitmu yang masih menemaniku sampai hari ini: Engkau telah menyelamatkanku dari penyakit kurang ajar dan kurang bersyukur atas kesehatan yang Kau berikan.
(Posting ini adalah tenaga pinjaman dari masa depan, bisa jadi setelah ini saya akan ambruk lagi dengan penuh rasa syukur karena telah mengobati kerinduan saya untuk menyapa Anda semua, sahabat-sahabat saya...)
2007/12/09
Tempat Berteduh
Kejadian ini saya alami - kalo tidak salah ingat - saat saya masih kelas 5 SD. Saat itu bersama ayah saya naik motor dari Rembang ke Sragen. Motornya Honda CB 70, jarak tersebut ditempuh dalam 5 jam-an. Karena masih kecil, saya biasanya dibonceng di depan. Duduk di atas tanki bensin.
Menjelang maghrib sekitar jam 17.30 kami mulai masuk kota Sragen saat tiba-tiba hujan mengguyur deras. Karena tak bawa jas hujan, ayah saya meminggirkan motor dan kita berteduh di bawah teras sebuah toko yang tampak tua dan kebetulan sedang tutup. Tapi beberapa bagian baju telah terlanjur basah sehingga saya yang kecil mulai merasa dingin. Kami ada di situ kurang lebih seperempat jam dan hujan belum juga reda.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan tampaklah pemilik rumah, seorang Tionghoa tua yang tertatih-tatih membuka pintu kayu yang emang berat dan besar. Dia berkata,"Sini masuk dulu, minum teh di dalam."
Ayah saya terkejut, sayapun demikian. Ayah berkata demi sopan santun,"Terima kasih Cik, kami disini saja. Bentar lagi reda kok..."
Ibu tadi menjawab,"Sudah kubikinkan, ayo diminum dulu.."
Kamipun tak bisa menolak. Lalu masuk dan duduk di sebuah ruangan. Kebetulan agak gelap, hanya satu lampu sekitar 10 watt yang menyala. Di meja kecil telah terhidang teh panas dan makanan kering. Dan Ibu itu menemani kami menghabiskan teh yang sungguh menyegarkan.
Yang saya ingat sampai sekarang: kelihatannya Ibu itu bukan golongan orang berpunya. Kursinya kayu sederhana, hanya ada sepeda jengki disandarkan di dinding triplek yang berdebu. Mungkin lama tak dipakai karena rusak.
Tapi itu semua tidak menghalanginya membukakan pintu dan menyuguhkan teh pada dua tamu yang tak diundangnya. Apa yang dilakukannya mungkin terasa bagai hal kecil belaka. Tapi di lubuk hati saya terdalam, yang saya alami begitu luar biasa. Saat kami pamit ketika hujan mulai reda, saya dan ayah hanya berpandangan. Beliau tak mengucapkan petuah apa-apa, hanya tersenyum. Baginya cukuplah, anaknya menyerap apa yang dilihatnya dengan mata polos anak-anak.
Dalam kehidupan saya selanjutnya, beberapa kali saya berteduh kadang di teras rumah atau toko besar yang pasti lebih kaya, tapi pemiliknya tak punya hati sebaik Ibu pembuat teh tadi.
Sampai sore ini hujan turun lagi membawa ingatan saya ke masa itu, tempat berteduh dan secangkir teh sore itu: memberi pelajaran terindah bahwa untuk berbagi kita tak perlu menunggu kaya.
Semoga Allah membahagiakan Ibu yang baik hati itu, yang teh hangatnya seperti baru saja saya teguk beberapa saat lalu dan aromanya yang khas masih terasa di hidung saya meskipun peristiwa ini telah berlalu hampir 20 tahun yang lalu.
Menjelang maghrib sekitar jam 17.30 kami mulai masuk kota Sragen saat tiba-tiba hujan mengguyur deras. Karena tak bawa jas hujan, ayah saya meminggirkan motor dan kita berteduh di bawah teras sebuah toko yang tampak tua dan kebetulan sedang tutup. Tapi beberapa bagian baju telah terlanjur basah sehingga saya yang kecil mulai merasa dingin. Kami ada di situ kurang lebih seperempat jam dan hujan belum juga reda.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan tampaklah pemilik rumah, seorang Tionghoa tua yang tertatih-tatih membuka pintu kayu yang emang berat dan besar. Dia berkata,"Sini masuk dulu, minum teh di dalam."
Ayah saya terkejut, sayapun demikian. Ayah berkata demi sopan santun,"Terima kasih Cik, kami disini saja. Bentar lagi reda kok..."
Ibu tadi menjawab,"Sudah kubikinkan, ayo diminum dulu.."
Kamipun tak bisa menolak. Lalu masuk dan duduk di sebuah ruangan. Kebetulan agak gelap, hanya satu lampu sekitar 10 watt yang menyala. Di meja kecil telah terhidang teh panas dan makanan kering. Dan Ibu itu menemani kami menghabiskan teh yang sungguh menyegarkan.
Yang saya ingat sampai sekarang: kelihatannya Ibu itu bukan golongan orang berpunya. Kursinya kayu sederhana, hanya ada sepeda jengki disandarkan di dinding triplek yang berdebu. Mungkin lama tak dipakai karena rusak.
Tapi itu semua tidak menghalanginya membukakan pintu dan menyuguhkan teh pada dua tamu yang tak diundangnya. Apa yang dilakukannya mungkin terasa bagai hal kecil belaka. Tapi di lubuk hati saya terdalam, yang saya alami begitu luar biasa. Saat kami pamit ketika hujan mulai reda, saya dan ayah hanya berpandangan. Beliau tak mengucapkan petuah apa-apa, hanya tersenyum. Baginya cukuplah, anaknya menyerap apa yang dilihatnya dengan mata polos anak-anak.
Dalam kehidupan saya selanjutnya, beberapa kali saya berteduh kadang di teras rumah atau toko besar yang pasti lebih kaya, tapi pemiliknya tak punya hati sebaik Ibu pembuat teh tadi.
Sampai sore ini hujan turun lagi membawa ingatan saya ke masa itu, tempat berteduh dan secangkir teh sore itu: memberi pelajaran terindah bahwa untuk berbagi kita tak perlu menunggu kaya.
Semoga Allah membahagiakan Ibu yang baik hati itu, yang teh hangatnya seperti baru saja saya teguk beberapa saat lalu dan aromanya yang khas masih terasa di hidung saya meskipun peristiwa ini telah berlalu hampir 20 tahun yang lalu.
2007/10/13
Ziarah ke Diri Sendiri
Menyusuri sepanjang kota yang kosong dan toko serta supermarket yang tutup. Warung makan yang tutup. Pedagang kaki lima yang tutup. Merasakan kesendirian dalam jalan yang lengang. Mencoba mengakrabi sunyi, berlebaran dalam diam. Tak ada sms, tak ada telepon basa basi, seluruh maaf sudah kusiapkan sebelum kesalahan dilakukan. Tapi entahlah apakah dunia juga menyediakan maafnya untuk di-download gratisan, juga maafnya saudara dan handai taulan atas kesalahan yang kulakukan.
Sekali lagi, saya hanya perlu minggat dari tradisi, kapok oleh rutinitas dan melawan itu semua meskipun sekedar jadi negasi. Tak mudah mencari makna, tapi tak larut menjadi sekedar bebek budaya pastinya perlu diperjuangkan: kita kadang masih sungkan dan tak enak hati. Tapi relung hati terdalam juga perlu dikunjungi dan diajak silaturrahmi. Jiwa kita yang mati karena beban kerja dan tuntutan duniawi juga perlu diziarahi. Agar senyum itu mengembang dari dalam dan cahayanya menerangi yang di luar.
Saat sepi menyesap, kita sesungguhnya tak sendiri. Sungguh-sungguh tak sendiri...
Sekali lagi, saya hanya perlu minggat dari tradisi, kapok oleh rutinitas dan melawan itu semua meskipun sekedar jadi negasi. Tak mudah mencari makna, tapi tak larut menjadi sekedar bebek budaya pastinya perlu diperjuangkan: kita kadang masih sungkan dan tak enak hati. Tapi relung hati terdalam juga perlu dikunjungi dan diajak silaturrahmi. Jiwa kita yang mati karena beban kerja dan tuntutan duniawi juga perlu diziarahi. Agar senyum itu mengembang dari dalam dan cahayanya menerangi yang di luar.
Saat sepi menyesap, kita sesungguhnya tak sendiri. Sungguh-sungguh tak sendiri...
2007/10/12
Lebaran Itu...
Saat lebaran datang, pertanyaan itu hinggap: pantaskah saya lebaran?
Saat takbir bergaung di sudut-sudut kota, seseorang dalam gelap mengorek-ngorek sampah mencari yang tersisa. Saat keluarga berkumpul dalam tawa riang, seorang ibu menidurkan bayinya tanpa selimut di trotoar pinggir jalan. Saat milyaran sms terkirim bertarif 300-an, sebungkus nasi hampir basipun tak mudah didapatkan.
Mmmm... Mungkin tak penting benar bertanya tentang kepantasan. Ini hidup, begitulah warnanya. Setiap makhluk menerima nasibnya. Lebaran ya lebaran, tapi setelah itu hidup toh tak seluruhnya kembali suci. Tak banyak yang berubah, kasih sayang dan kemurahan yang ditempa Ramadhan pun akan kembali sunyi.
Tapi jangan bersedih, Saudaraku. Tak selamanya hidup akan bergelut kesedihan dan penderitaan. Tak selamanya mereka yang berlebihan akan sanggup menikmati kemewahan itu sendirian. Lebaran selalu datang setiap tahun, membawa nikmat yang mungkin sekejap. Tapi lebaran selalu hadir di hati, untuk yang tunduk dan ikhlas menyadari: tanpa hari sucipun, kebahagiaan hadir saat berbagi...
Saat takbir bergaung di sudut-sudut kota, seseorang dalam gelap mengorek-ngorek sampah mencari yang tersisa. Saat keluarga berkumpul dalam tawa riang, seorang ibu menidurkan bayinya tanpa selimut di trotoar pinggir jalan. Saat milyaran sms terkirim bertarif 300-an, sebungkus nasi hampir basipun tak mudah didapatkan.
Mmmm... Mungkin tak penting benar bertanya tentang kepantasan. Ini hidup, begitulah warnanya. Setiap makhluk menerima nasibnya. Lebaran ya lebaran, tapi setelah itu hidup toh tak seluruhnya kembali suci. Tak banyak yang berubah, kasih sayang dan kemurahan yang ditempa Ramadhan pun akan kembali sunyi.
Tapi jangan bersedih, Saudaraku. Tak selamanya hidup akan bergelut kesedihan dan penderitaan. Tak selamanya mereka yang berlebihan akan sanggup menikmati kemewahan itu sendirian. Lebaran selalu datang setiap tahun, membawa nikmat yang mungkin sekejap. Tapi lebaran selalu hadir di hati, untuk yang tunduk dan ikhlas menyadari: tanpa hari sucipun, kebahagiaan hadir saat berbagi...
2007/09/22
Malu Pada Anak Muda
Ini pengakuan jujur saya: rasanya usia yang beranjak pelan-pelan telah merenggut api kreativitas saya, kengototan saya, keberanian untuk breakin' the rule, anti kemapanan saya, pemberontak kecil di otak saya, spirit petualangan saya, ke'keras'an kepala saya... Begitu banyak yang pelan-pelan tanggal, seperti ular yang mlungsungi alias ganti kulit.
Sialnya, kulit pengganti yang baru tak juga lebih baik: dalam hitungan bisnis posisi modal saya di bidang kreativitas minus. Makin tambah umur tapi makin tak kreatif. Sebentar-sebentar puas, gampang capek, mudah ngantuk, selalu kepayahan setiap terbentur masalah yang seolah tanpa solusi. Kalo mungkin saya akan gulingkan penguasa dalam diri saya saat ini dan saya akan gantikan dengan Arief yang berumur 6 tahun: yang masih polos dan tak takut apapun.
Ah, saya malu pada anak-anak muda yang dulu sering saya maki-maki ketika desainnya jelek, saya malu pada mereka yang tertunduk di hadapan saya menyetorkan revisi iklannya yang ke-8, setelah saya sobek yang ke-7, saya malu pada anak kecil yang tak berhenti menangis sampai ibunya membelikan mainan. Saya harus belajar lagi dari mereka, kebo nyusu gudel. Biar malu-maluin sekalian, asal jadi diri sendiri dan tak menipu hati nurani...
Buat yang pengin naik pangkat, saya ada warning: jadi Managing Director itu bahaya buat kreativitas, pertimbangannya jadi banyak dan seringkali kompromis atas nama kepentingan orang banyak. Tapi mungkin perlu sekali-kali pake kacamata kuda dan bergerak terus ke depan mengikuti nurani yang bicara. Menabrak tembok, menyeberang jalan tanpa melihat kiri kanan, tidur di tengah lapangan bola, apa saja yang mungkin atau tak mungkin diterima akal.
Karena setelah saya pikir-pikir lagi: Managing Director berumur 32 tahun toh juga manusia..
Sialnya, kulit pengganti yang baru tak juga lebih baik: dalam hitungan bisnis posisi modal saya di bidang kreativitas minus. Makin tambah umur tapi makin tak kreatif. Sebentar-sebentar puas, gampang capek, mudah ngantuk, selalu kepayahan setiap terbentur masalah yang seolah tanpa solusi. Kalo mungkin saya akan gulingkan penguasa dalam diri saya saat ini dan saya akan gantikan dengan Arief yang berumur 6 tahun: yang masih polos dan tak takut apapun.
Ah, saya malu pada anak-anak muda yang dulu sering saya maki-maki ketika desainnya jelek, saya malu pada mereka yang tertunduk di hadapan saya menyetorkan revisi iklannya yang ke-8, setelah saya sobek yang ke-7, saya malu pada anak kecil yang tak berhenti menangis sampai ibunya membelikan mainan. Saya harus belajar lagi dari mereka, kebo nyusu gudel. Biar malu-maluin sekalian, asal jadi diri sendiri dan tak menipu hati nurani...
Buat yang pengin naik pangkat, saya ada warning: jadi Managing Director itu bahaya buat kreativitas, pertimbangannya jadi banyak dan seringkali kompromis atas nama kepentingan orang banyak. Tapi mungkin perlu sekali-kali pake kacamata kuda dan bergerak terus ke depan mengikuti nurani yang bicara. Menabrak tembok, menyeberang jalan tanpa melihat kiri kanan, tidur di tengah lapangan bola, apa saja yang mungkin atau tak mungkin diterima akal.
Karena setelah saya pikir-pikir lagi: Managing Director berumur 32 tahun toh juga manusia..
2007/09/04
Ramadhan di Ujung Jalan
Ahh, rindu itu menggunung: sahur gudeg di depan gereja saat pagi buta, buka puasa angkringan di pinggir sawah dengan backsound adzan maghrib yang sayup-sayup, tarawih yang meskipun banyak lubang tapi selalu diupayakan untuk meredakan jiwa dari deraan pekerjaaan. Takbir yang bersahutan dengan anak-anak berbaris membawa obor di sepanjang pantura di malam lebaran. Tinggal saya tertegun dalam bis malam yang membawa tubuh lelah ini untuk pulang dan menikmati lagi tanah suci tempat kelahiran.
Ramadhan sudah mengintip di ujung jalan, dengan senyumnya yang menawan. Mampukah saya membahagiakannya tahun ini? Saya masih tertegun: rindu itu membuncah. Dada saya terasa penuh, mirip anak ingusan yang jatuh cinta pada pandangan pertama.
Ahh, Ramadhan: peluklah jiwaku dalam hangat cinta-Mu...
Ramadhan sudah mengintip di ujung jalan, dengan senyumnya yang menawan. Mampukah saya membahagiakannya tahun ini? Saya masih tertegun: rindu itu membuncah. Dada saya terasa penuh, mirip anak ingusan yang jatuh cinta pada pandangan pertama.
Ahh, Ramadhan: peluklah jiwaku dalam hangat cinta-Mu...
Langganan:
Postingan (Atom)