Inilah yang sedang saya coba jalani, dengan berdarah-darah. Proses belajar yang orang jawa bilang ‘ngelmu’. Angel yen durung ketemu, sulit kalo belum ketemu. Jadi sebagai suatu proses kewajaran, maka pencarian atas jawaban yang tersembunyi – supaya ketemu – terus saya lakukan. Seringkali setelah melewati serangkaian kesalahan, kegagalan, kebodohan bahkan ketololan. Juga kerugian yang luar biasa besar, baik jiwa maupun raga.
Dan pagi ini, seberkas sinar putih melesat melewati neuron saya yang sedang dalam posisi alfa: saya ‘merasa’ menemukan 'sesuatu yang hilang' itu.
Belajar sejati adalah saat kita mampu mengintegrasikan keyakinan, pikiran, ucapan dan tindakan kita dalam satu bahasa. Klop. Tanpa jarak. Tidak terbelah. Tidak warna warni.
Ini pastinya bukan penemuan abad ini. Malah inilah bentuk kearifan kuno yang telah ada di semua kitab suci dan di budaya manapun. Tapi itulah, saking sederhananya kebenaran penting ini: kita sering melewatkannya. Menganggapnya sepele dan tak berarti. Jadi tidak bergunalah kearifan itu untuk membuat hidup kita jadi lebih baik.
Lalu saya rontgent ulang diri saya yang sok tahu ini. Nah, ketahuan belangnya! Jarak antara elemen-elemen itu (keyakinan, pikiran, ucapan dan tindakan) dalam diri saya masih sangatlah jauh. Keyakinan saya bilang begini, dibantah pikiran saya. Ucapan saya yang sering ngawur banyak melesetnya dalam tindakan. Tindakan saya yang kadang bermodal feeling doang tak mau diterima pikiran (logika). Jadi pecahlah pertempuran seru sampai brubuh dalam diri saya. Saya yang tuan rumahnya jadi kecapekan, bingung, stress, tak tahu melangkah kemana.
Nah, lalu solusinya bagaimana? Pulang. Pulang?
Ya, marilah pulang kepada asal muasal kita. Marilah pulang pada kepolosan bayi. Pulang pada kesejatian kita sebagai manusia: bahwa kita ini bukan siapa-siapa. Jika bukan karena kun fayakun Allah: maka tak mungkinlah kita hadir di dunia ini. Jadi hidup kita ringan, tanpa beban. Ringanlah kita berfikir, berucap bertindak untuk me-nol-kan kepentingan kita. Di hadapan Sang Maha Tinggi, diri dan keinginan kita sama sekali tak penting.
Maka Allah mengajarkan keimanan. Iman itulah inti dari proses belajar yang sejati. Iman membimbing kita untuk mengarungi dunia yang carut marut ini dengan kendaraan tubuh manusiawi kita yang ringkih. Manusia itu terbatas, tapi iman mampu menjangkau semesta bahkan Tuhan. Otak kita terbatas, tapi iman meyakini kejadian setelah mati. Tindakan kita terbatas, tapi iman telah memindahkan gunung, melontarkan pesawat ke planet Mars, bahkan ke lapis langit ketujuh dalam Isar’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW junjungan saya.
Ya, saya sedang membenahi iman saya yang robek-robek akibat kebodohan saya sendiri. Saya sedang menempuh perjalanan untuk menjadi bayi kembali. Saat sinar putih itu melesat, ada sepersekian moment yang membuat saya terpana.
Terima kasih, ya Allah. Mohon masukkan hamba ke dalam golongan hamba-Mu yang senantiasa bersyukur, dalam kemudahan maupun kesulitan. Dengan bimbingan-Mu, kebahagiaan hamba tidak akan tergantung pada situasi di sekeliling hamba atau pada diri hamba sendiri, kebahagiaan hamba hanya akan terpusat pada-Mu...
Dan pagi ini, seberkas sinar putih melesat melewati neuron saya yang sedang dalam posisi alfa: saya ‘merasa’ menemukan 'sesuatu yang hilang' itu.
Belajar sejati adalah saat kita mampu mengintegrasikan keyakinan, pikiran, ucapan dan tindakan kita dalam satu bahasa. Klop. Tanpa jarak. Tidak terbelah. Tidak warna warni.
Ini pastinya bukan penemuan abad ini. Malah inilah bentuk kearifan kuno yang telah ada di semua kitab suci dan di budaya manapun. Tapi itulah, saking sederhananya kebenaran penting ini: kita sering melewatkannya. Menganggapnya sepele dan tak berarti. Jadi tidak bergunalah kearifan itu untuk membuat hidup kita jadi lebih baik.
Lalu saya rontgent ulang diri saya yang sok tahu ini. Nah, ketahuan belangnya! Jarak antara elemen-elemen itu (keyakinan, pikiran, ucapan dan tindakan) dalam diri saya masih sangatlah jauh. Keyakinan saya bilang begini, dibantah pikiran saya. Ucapan saya yang sering ngawur banyak melesetnya dalam tindakan. Tindakan saya yang kadang bermodal feeling doang tak mau diterima pikiran (logika). Jadi pecahlah pertempuran seru sampai brubuh dalam diri saya. Saya yang tuan rumahnya jadi kecapekan, bingung, stress, tak tahu melangkah kemana.
Nah, lalu solusinya bagaimana? Pulang. Pulang?
Ya, marilah pulang kepada asal muasal kita. Marilah pulang pada kepolosan bayi. Pulang pada kesejatian kita sebagai manusia: bahwa kita ini bukan siapa-siapa. Jika bukan karena kun fayakun Allah: maka tak mungkinlah kita hadir di dunia ini. Jadi hidup kita ringan, tanpa beban. Ringanlah kita berfikir, berucap bertindak untuk me-nol-kan kepentingan kita. Di hadapan Sang Maha Tinggi, diri dan keinginan kita sama sekali tak penting.
Maka Allah mengajarkan keimanan. Iman itulah inti dari proses belajar yang sejati. Iman membimbing kita untuk mengarungi dunia yang carut marut ini dengan kendaraan tubuh manusiawi kita yang ringkih. Manusia itu terbatas, tapi iman mampu menjangkau semesta bahkan Tuhan. Otak kita terbatas, tapi iman meyakini kejadian setelah mati. Tindakan kita terbatas, tapi iman telah memindahkan gunung, melontarkan pesawat ke planet Mars, bahkan ke lapis langit ketujuh dalam Isar’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW junjungan saya.
Ya, saya sedang membenahi iman saya yang robek-robek akibat kebodohan saya sendiri. Saya sedang menempuh perjalanan untuk menjadi bayi kembali. Saat sinar putih itu melesat, ada sepersekian moment yang membuat saya terpana.
Terima kasih, ya Allah. Mohon masukkan hamba ke dalam golongan hamba-Mu yang senantiasa bersyukur, dalam kemudahan maupun kesulitan. Dengan bimbingan-Mu, kebahagiaan hamba tidak akan tergantung pada situasi di sekeliling hamba atau pada diri hamba sendiri, kebahagiaan hamba hanya akan terpusat pada-Mu...
0 comments:
Posting Komentar