Footer 1

2009/12/14

Soe Hok-gie di Grand Indonesia


Disinilah saya, menjelang tengah hari di cafe Gramedia lantai 3 Grand Indonesia dengan secangkir coffee latte dan sebuah buku yang baru saja saya beli: Soe Hok-gie... Sekali lagi, dengan editor Rudy Badil dan teman-teman Gie yang lain.

Di seberang jalan, di pinggiran bundara HI nampak tiga puluhan orang sedang demo dengan topik yang tidak begitu jelas, kemungkinan tentang revisi peraturan pemerintah. Spanduk-spanduk dibentangkan asal-asalan tanpa semangat, beberapa orang berdasi orasi dengan memekik-mekik sementara peserta demo melihat dengan tatapan mata kosong menyiratkan ketidakmengertian.

Tahulah saya - sebagai mantan demonstran amatir - dari gerak-gerik dan antusiasme-nya yang palsu dan menyedihkan, sebagian peserta adalah pendemo bayaran.

Dari seorang ojek yang kebetulan melintas - sebelum saya masuk Grand Indonesia - saya ketahui bahwa tarif pendemo bervariasi, antara 35 rb sampai 50 rb tergantung atas suruhan siapa. Si ojek kemarin ikut demo kasus Century di dekat Istana Negara dibayar 50 rb untuk demo beberapa jam. "Lumayan Mas, apalagi saat sepi gak ada penumpang," katanya.

Dari sejuk ruang ac di toko buku yang diklaim terbesar di Asia Tenggara itu, mata saya menatap cover buku merah bergambar silhuet Gie, dengan sedih, sekaligus marah. Anak muda lurus dengan kata-kata yang tajam menyilet ketidakadilan itu mati keracunan di puncak Semeru dan kita semua di tahun 2009 - 40 tahun sejak Gie pergi - tak juga mampu memahami kemarahan atas nama kejujuran itu.

Bangsa ini mengulang kesalahan yang sama, berulang-ulang. Kita tak berhulu pada kejujuran saat berteriak di bawah mentari siang yang terik. Kita bertekuk lutut pada sejumlah rupiah untuk proyek bernama demonstrasi bayaran.

Di seberang tempat duduk saya nampak beberapa orang sedang minum kopi mahal, makan siang yang pastinya lebih dari seratus ribu rupiah sekali santap. Siapa tahu salah satu diantaranya adalah pemesan demo di bundara HI siang itu, melihat kumpulan manusia dipanggang terik mentari, berteriak parau sambil menghirup harum espresso, capuccino atau chococino. Orang berduit besar yang membayar para pendemo dengan duit recehan.

Saya sendiri masygul. Lha saya ini ngapain disini? Kalo tiba-tiba arwah Soe Hok-gie (ya, bener.. Ini spelling yang bener, bukan Soe Hok Gie) datang dan mendamprat saya serta menumpahkan caffee latte-nya karena marah melihat saya mulai dijangkiti penyakit modernisme, seperti banyak pejabat mantan demonstran yang meng-gendut perutnya karena 'mencairkan' jasanya ketika jadi pendemo mahasiswa dalam bentuk jabatan, kekayaan, kekuasaan.

Minuman hangat berbusa itu sudah tandas setengah, saya minum setengah hati.

Bayangan wajah Gie yang keras, yang hidupnya dihajar situasi revolusioner tahun 60-an berkelebat di dinding kaca tebal di hadapan saya. Seperti menyapa dengan sorot mata yang dingin. Saya buka pelan-pelan halaman buku itu - yang dibikin sebagai dedikasi untuk perjuangannya yang tak kenal kompromi - dan masa lalu saat-saat saya masih mahasiswa menyergap, saat saya belum mengenal dunia bisnis, saat belum memikirkan membangun perusahaan, saat impian untuk nongol sebagai cover majalah Fortune belum tumbuh di angan saya.

Saat itu saya adalah seorang mahasiswa sok patriotik yang dibakar oleh Catatan Harian Soe Hok-gie dan Ahmad Wahib, ikut-ikutan demo, merasa gagah karena ikut nyumbang upaya membersihkan bangsa. Ah, anak muda yang kobaran semangatnya menyentuh atap langit.

Ketika usia mulai merambat, idealisme itu pun bertransformasi. Jakob Oetama yang dulu menjadi wartawan Kompas, tempat Gie mengirimkan tulisannya telah menjelma konglomerat media. Kawan-kawan seperjuangan Gie telah berumur 60-an tahun, beruban dan mulai lupa atas peristiwa indah - sekaligus - tragis masa itu, saat Gie hidup di antara mereka.

Apakah idealisme saya mulai luntur seiring makin jauhnya saya dari jalanan dan konfrontasi di lapangan? Apakah secangkir coffee latte ini adalah racun yang meninabobokkan semangat juang itu? Apakah AC yang dingin, sofa yang empuk, view gedung-gedung tinggi modern telah membekukan lantangnya teriakan dan kerasnya kepalan tangan?

Saya terdiam dan menutup buku itu setelah membaca beberapa halaman. Saya malu. Saya pun menyelesaikan tegukan terakhir, mengelap mulut dengan tisue lalu beranjak pergi. Pandangan saya menatap ke bawah, ke kedua kaki saya yang bersendal jepit di tempat 'mewah' begini.

Saya tersenyum geli, saya tak benar-benar beranjak modern ternyata. Sendal jepit hitam itu sedikit menyelamatkan saya dari beban rasa bersalah.

Saya berkata pada diri saya sendiri: saya takkan mau dibeli oleh gaya, gengsi dan kesuksesan semu. Saya takkan mau di-rupiah-kan. Saya takkan mau di-dunia-kan.

Saya pun meninggalkan Grand Indonesia. Demonya juga barusan bubar, arahnya terpencar-pencar. Sebagian pulang ke kantor, sebagian jadi ojek lagi, sebagian jadi pedagang kaki lima lagi, sebagian kembali ke kehidupan awalnya dengan beberapa lembar puluhan ribu di tangan.

Sebuah taxi menghampiri dan saya tolak dengan halus. Seorang ojek menghampiri dan sayapun naik di boncengannya. Yang pantes ya begini, pake sendal jepit ya naiknya ojek denga helm lama yang putus talinya. Bukannya minum caffee latte di ruang ber-AC sambil mikir yang aneh-aneh.

Ah, hidup. Begitulah paradoksnya. Dengan buku Gie yang akan menemani saya beberapa hari ke depan, semoga diri saya yang asli akan hadir kembali. Proses itu mungkin tak mudah, bahkan menyakitkan. Tapi saya harus menempuhnya. Sekali lagi mentalitas sok sukses itu harus dihajar dan dibenturkan realitas idealisme yang kejam. Kemanjaan lantaran sudah mulai banyak fasilitas harus dihancurkan karena manja merapuhkan jiwa raga.

Sedangkan Gie dan Wahib mati muda dalam keaslian. Saya yang beranjak tua, harus terus bergulat melepaskan kepalsuan-kepalsuan yang makin canggih dan seolah tak terlawan.

Kata-kata Gie terngiang sekali lagi,"Yang terbaik adalah tidak pernah dilahirkan. Atau dilahirkan tapi mati muda. Yang paling sengsara adalah mati tua, sakit-sakitan, ditinggalkan. Berbahagialah mereka yang mati muda."

Berbahagialah engkau di sana, Gie. Doakan saya kuat meneruskan apimu itu, membawanya dalam perjalanan berdarah-darah di tengah kepalsuan hidup yang begini besar. Saya memang tidak berharap mati terlalu muda, saya sudah 34 tahun.

Jika saya suatu hari nanti saya mati tua, semoga saya bisa mati tua dalam keaslian. Semoga.

0 comments: