Datang sebuah kabar kepada saya: Mas, pengumuman CPNS-nya udah keluar. Aku gak diterima. Teman-temanku yang diterima ada 6 orang padahal formasinya waktu awal diumumkan hanya 4 orang. Dan mereka memang memenuhi 'syarat-syarat'nya. Bayar Rp 70 - 100 juta/orang. Gimana ya Mas? Mengapa untuk jadi pegawai negeri syaratnya bukan lebih pinter, lebih capable tapi malah berdasar uang semata?
Datang lagi kabar yang lain dari sohib saya: Eh, Si A kemana aja ya Rief? Kok lama gak terdengar kabarnya. Facebooknya gak aktif.
Saya coba maen ke facebook-nya, temen saya itu jadi member 'gerakan tuntut klarifikasi pencairan dana ustad lihan'. Saya belum berhasil kontak, tapi sepertinya dia juga ikut menitipkan sejumlah uang ke Ustadz Lihan - entah berapa puluh atau ratus juta - untuk investasi dan belum jelas bagaimana memintanya kembali.
Dua kabar ini membuat saya merenung.
Yang pertama, sebulan sebelum CPNS, saya sudah menyarankan sobat saya ini untuk tidak membayar Rp 70 jt yang diminta oleh 'panitia' jika ingin masuk jadi PNS di kabupaten tersebut. Tempuhlah jalan yang halal dan jadikan upaya menggapai PNS sebagai riyadhah, ibadah untuk menggapai Ridho Allah. Sholat wajibnya benerin agar tepat waktu, sholat tahajud dan dhuha-nya ditambah, puasa sunat kerjakan dan sedekahlah dengan sedekah terbaik. Daripada bayar Rp 70 jt lebih baik cari anak-anak yang tidak mampu bayar SPP, bayarin. Cari guru-guru yang ekonominya susah, bantulah. Cari anak-anak yatim yang pengen sekolah, bayarin. Begitu. Diapun mengikuti saran saya.
Dan saat tiba pengumuman: dia tidak diterima.
Apakah saya terkejut mendengar dia sedikit protes udah ibadah kok masih gak dikabul doanya? Alhamdulillah tidak, saya pun kirim sms padanya: Dijalani saja ujiannya dengan sabar. Sholatnya ditambah, sedekahnya ditambah, doanya ditambah. Lebih baik pake jalan lurus tapi tidak diterima PNS daripada diterima jadi PNS tapi diawali dengan dosa. Jalan benar biasanya tidak mudah. Tapi Allah tidak tidur, Allah akan berikan ganti yang lebih baik jika kita khusnudzon & istiqomah di jalan-Nya...
Apakh sms saya ini hanya untuk menghibur hatinya yang gundah? Demi Allah, tidak! Sms ini adalah sms jujur yang saya tulis dari dalam hati saya dan Insya Allah benar. Saya yakin itu. Seyakin-yakinnya. Lha, tapi kan sms itu tidak membuatnya jadi PNS Mas? Jika nanti akhirnya nganggur, sms motivasi begitu mana ada manfaatnya?
Saya yakinnya begitu. Rejeki itu dari Allah, bukan dari pemerintah, makelar CPNS atau lainnya. Lebih baik dapet rejeki banyak tapi halal daripada pas-pasan tapi haram. Betul?
Coba bayangin. Jika kita masuk CPNS - dalam kasus ini lowongannya adalah guru - dan lewat jalan tidak halal karena menyuap, rejeki yang masuk tiap bulan sebagai gaji kita kan gak halal, gak bersih. Bibitnya aja sudah gak bersih (suap). Lalu keluarga akan diberi makan dari rejeki itu, anak-anak akan dipelihara dan dibesarkan dengan harta haram dan ketidakjujuran. Jika ia jadi guru, mana bisa dia bilang ke murid-muridnya untuk menjadi generasi masa depan yang mulia: dia jadi guru aja daftarnya dengan menyuap.
Keluarga yang rejekinya gak bersih tidak akan diberikan Allah ketentraman, ketenangan, kebahagiaan. Bener bahwa dia akan bisa kredit rumah, kredit mobil dan jadi kaya. Tapi jika ketentraman tak ada di rumah itu: buat apa? Kalo Allah mau, rumah semahal apapun takkan bisa dinikmati penghuninya. Dengan cara mengusirnya dari rumah sendiri: harus mondok di rumah sakit karena serangan jantung, dipenjara karena korupsi atau sembunyi di goa-goa jadi buronan polisi.
Yang kedua, karena penasaran saya pun gabung jadi member 'gerakan tuntut klarifikasi pencairan dana ustad lihan'. Hanya ingin tahu, apa yang sesungguhnya terjadi dengan temen saya Si A. Seperti santer diberitakan media massa, Ustadz Lihan sedang diuji Allah dengan banyaknya dana titipan investasi yang belum bisa dibayarkan kepada investornya. Marahlah orang-orang itu karena duitnya gak balik malah katanya nasib investasinya juga gak jelas. Sejujurnya saya tidak tahu persis masalahnya, saya hanya ingin tahu ada apa dengan Si A teman saya itu.
Saya jadi ingat korban Century yang telah mendeposito dan menabung di bank almarhum itu (sekarang jadi Mutiara Bank). Ada yang 7 milyar, 80 milyar, 900 juta dan sebagainya. Mereka semua marah merasa ditipu, dianiaya, uangnya raib tak bisa kembali. Lalu demo, nginep di banknya, menunjuk pengacara, perang kata-kata di media. Riuh sekali.
Jika saya menjadi salah satu nasabah itu atau salah satu investor itu, wajar rasanya untuk marah-marah atas ketidakadilan itu, atas kebohongan janji dan sebagainya. Ini uang saya kumpulkan puluhan tahun masa' amblas hanya karena saya percaya investasi dalam 3 bulan saja? Saya kerja keras membanting tulang nabung dikit-dikit kok tega bank merampok uang saya yang hanya 3 milyar?
Tapi apakah kita sempat bertanya: benarkah uang yang saya kumpulkan itu benar-benar uang kita, hak kita, rejeki kita sesungguhnya? Benarkah tidak bercampur selisih nota pembelian bensin dan alat-alat kantor, komisi karena membantu melobi pimpinan untuk mengegolkan proyek, proyek-proyek fiktif, biaya perjalanan kantor yang di-mark up dan hal-hal serupa itu? Benarkah untuk mengumpulkan duit itu kita tak berbuat dholim, merugikan hak orang lain, menyuap? Benarkah tidak tercampur hak anak-anak yatim dan fakir miskin yang tak pernah kita keluarkan zakat dan sedekahnya?
Dan jika itu terjadi puluhan tahun lalu Allah bersihkan harta kita dari yang bukan hak kita dengan cara-cara-Nya: benarkah itu yang sering kita sebut ketidakadilan? Bukankah itu justru malah keadilan yang sesungguhnya dan kebersihan itu malah menguntungkan hidup kita di akhirat kelak?
Tapi kita marah dan gelaplah akal pikiran. Tapi kita memekik-mekik protes dan menafikan Cahaya Tuhan yang sedang bersinar. Kita mengutuk dan melupakan introspeksi diri.
Bank Century, Ustadz Lihan atau siapapun yang dituduh mencuri uang kita, menipu, merampok hanyalah bahasa dunia yang dipilih Allah untuk membersihkan diri dan harta kita. Jika tak hangus harta kita di Century, maka akan ada kejadian lain yang hasilnya sama: bablaslah harta yang memang bukan rejeki kita. Entah lewat arisan berantai, kebakaran, biaya obat stroke, sengketa rumah dan sebagainya.
Apa sih masalah itu? Masalah adalah jika kita jauh dari Allah. Ustadz Yusuf Mansur sering bilang begitu, saya mengamininya. Masalah itu bukan kita tidak diterima CPNS, bukan kita kehilangan uang di tabungan, bukan ditipu orang, bukan. Demi Allah bukan. Jika kejadian-kejadian buruk itu membuat kita sadar, tobat dan makin mendekati Allah: itu bukan masalah tapi justru jalan terang.
Tapi jika kita diterima PNS setelah menyuap, uang yang di Century bisa balik setelah kita bayar polisi untuk mengurusnya, menang tender dengan menyuap: maka inilah sesungguhnya masalah, karena akan menjauhkan kita dari Allah, dari keberkahan rejeki yang kita dapatkan secara tidak halal.
Hidup kita akan selamat selama kita mengikuti jalan-Nya. Memang tak mudah, tapi pasti akan membawa kita ke tempat yang lebih baik, lebih tenang, lebih tentram. Hidup yang mengikuti hawa nafsu mungkin akan terlihat glamour, mentereng, bergaya, tapi pasti membuat kita kemrungsung, tegang, panik, tak ada sedikitpun waktu menikmati kesuksesan duniawi kita.
Semoga kita bisa bercermin dari dua cerita nyata di atas. Siapapun ingin kaya, sukses dan bahagia. Tempuhlah jalan Tuhan agar prosesnya nyaman dan bisa dinikmati dengan hati tenang. Jikapun harus mendaki, penuh onak, duri dan ujian. Jalan lurus layak ditempuh dengan pengorbanan apapun: karena di ujungnya ada Ridho Allah. Allah tempat asal dan kembali kita yang sejati.
Jangan malah nyasar kemana-mana karena silau oleh nafsu benda dan tipu daya duniawi yang membutakan akal sehat dan keimanan kita.
Tulisan ini ada lanjutannya, di sini.
Tulisan ini ada lanjutannya, di sini.
0 comments:
Posting Komentar