Footer 1

2011/03/30

Menggali Potensi Kreatif di Luar Radar

Kita sungguh beruntung bisa hidup di satu masa dimana kreativitas telah diapresiasi dengan tingkat yang luar biasa positif dibanding masa-masa sebelumnya.

Saya masih ingat dengan jelas sekitar sepuluh tahun lalu saat memulai sebuah kantor desain grafis kecil, seorang calon klien protes dengan keras,”Mas, dimana-mana nggak ada yang yang namanya biaya desain. Itu kan gratis jika saya mencetak di tempat situ to? Yang bener aja, desain grafis kok harus dibayar!”

Juga seorang pemilik percetakan yang dengan ‘cerdas’nya berkata,”Biro desain grafis itu hanya broker percetakan. Lebih baik langsung ke percetakan saja, pasti lebih murah. Nanti desainnya kita bikinkan gratis!”

Waktu pun berlalu, dan hari ini biaya selembar desain brosur A4 dua muka bisa mencapai jutaan rupiah. Desain logo bahkan puluhan milyar rupiah. Apresiasi, penghargaan dan kepercayaan masyarakat atas profesi dan industri desain grafis terus meningkat bersamaan dengan gencarnya upaya mengedukasi khalayak tentang ide, kreativitas, desain, hal-hal yang secara bawaan sering disebut intangible.

Pada awalnya, pusat desain grafis adalah Jakarta, tidak perlu dipungkiri. Karena sebagai ibukota, infrastrukturnya paling siap untuk ditumbuhi benih ide dan bisnis desain grafis. Sistem komunikasi (telepon, internet) yang maju, lokasi yang menyatu dengan pusat bisnis dan pemerintahan, klien yang sudah punya budget rutin untuk mengorder, SDM kreatif yang mengumpul bagai laron menerkam cahaya. Semuanya  tersedia, tinggal dimainkan.

Tapi hari ini, situasi seperti di atas segera akan berubah dengan drastis bahkan dramatis. Bagaimana tidak? Dengan kemajuan teknologi internet yang menjangkau ujung dunia (baca: ke pelosok-pelosok desa), orang-orang kreatif kini tak perlu bersusah payah memindahkan dirinya ke Jakarta untuk berkarya dan/atau membangun bisnis desain grafis.

Apalagi dalam bisnis desain grafis dan bisnis ide lainnya tak memerlukan biaya angkut yang mahal (seperti bisnis berbasis produk), desain yang dikerjakan dengan komputer begitu selesai tinggal di-sent via email: beres dah. Diterima real time oleh klien di manapun berada. Proses pembayaran pun serupa. Hari ini tidak aneh jika ada cerita hubungan bisnis yang sukses antara klien dan biro desain grafis selama lima tahun lebih tapi tak pernah ketemu muka, tak pernah kopi darat. Semua transaksi dan pengerjaan selesai di depan komputer.

Potensi Kreatif di Luar Radar

Saya seringkali merasa tidak  enak hati  saat dianggap sebagai orang ‘daerah’ ketika menghadiri sebuah pertemuan di Jakarta. Saya merasa Jogja (tempat saya berdomisili) sama dan egaliter dengan Jakarta, bahkan dengan London, Washington, sama juga dengan Sleman, Brosot, Trenggalek, Sumenep.  Paham yang menunjukkan ini pusat itu daerah tidak mendidik kita semua untuk bersikap egaliter, yang merasa berasal dari ‘daerah’ akan cenderung minder dan menganggap yang dari pusat selalu lebih baik. Ini harus segera dibenahi.

Padahal dari wilayah-wilayah di luar radar inilah tersimpan potensi kreatif yang luar biasa dahsyatnya, persis seekor singa perkasa yang sedang tertidur. Sekali kita bisa membangunkannya, dunia desain grafis Indonesia akan mendapatkan manfaat terbesarnya.

Berikut saya akan bahas beberapa hal menyangkut peluang dan tantangan wilayah di luar Jakarta dalam pengembangan industri desain grafis.

Aspek terpenting adalah nilai budaya lokal sebagai potensi luar biasa untuk dikembangkan, dengan keunikan dan kekuatan filosofi-nya yang tak dimiliki oleh kota-kota metropolis yang cenderung meng-global, tak punya lagi pijakan budaya yang kuat selain mengikuti arus besar modernisme. Nilai lokal bisa menjadi oase di tengah kekeringan makna budaya modern, nilai lokal menjadi sumber inspirasi penciptaan karya desain grafis yang kuat maknanya dan tak sekedar keindahan visualnya semata.

Budaya yang bersahabat masih belum banyak tercemari oleh budaya egoisme dan mau menang sendiri menjadi pendukung kuat bagi tumbuhnya komunitas-komunitas kreatif yang terbentuk karena kebutuhan yang sama yang tidak semata-mata berwujud bisnis atau uang. Komunitas seperti ini subur menghiasi Bandung, Jogja, Surabaya juga Bali. Juga titik-titik pertemuan informal di warung, tempat ngopi, lapangan yang bisa didatangi siapapun dan kapanpun untuk berbagi, berdiskusi tersedia dalam jumlah yang cukup dan mudah diakses.

Biaya hidup dan biaya berkarya yang lebih murah membuka peluang untuk menghasilkan suatu sistem bisnis yang unggul creative output-nya dengan harga yang lebih kompetitif. Sekaligus ketersediaan SDM kreatif dari sekolah-sekolah desain grafis yang kini tumbuh makin banyak.

Apalgi perkembangan infrastruktur IT yang telah bergerak dari sekedar komputer rumahan terhubung internet, menjadi laptop nirkabel bahkan gadget seperti handphone, blackberry dan iphone membuat kita bisa berkantor dan mengkreasikan ide di mana saja.  Internet yang menghapus jarak juga membuka pintu-pintu peluang yang luar biasa banyaknya: kita bisa berjualan, bisa memajang karya (pameran), bisa belajar dari tokoh terbaik di dunia, tanpa harus kemana-mana. Apalagi dengan makin menjamurnya situs jejaring (baca: facebook) kita bisa terhubung langsung, sms-an, comment di wall dengan para pimpinan perusahaan, tokoh desain grafis bahkan presiden di ujung jari kita.

Tapi secanggih apapun internet, selengkap apapun informasi di dalamnya, internet takkan pernah bisa menentukan apa cita-cita hidup kita. Apa visi kita ke depan. Tanpa cita-cita yang jelas, sekarang yang terjadi memang akses internet makin meningkat tapi content yang dicari bukan yang membuat kita makin cerdas makin pintar makin bijak, sebagian besar semata-mata hiburan dan pengisi waktu luang semata tanpa nilai tambah yang berarti.

Mengapa Ide-ide Lokal Tidak Berkembang?

Kembali ke bahasan tentang pengembangan ide lokal, jika kita mau bercermin tampaklah bahwa hidup kita telah dikendalikan oleh gengsi, dalam segala bentuknya. Termasuk persetujuan implisit kita tentang kasta-kasta: ini agency Jakarta, itu agency daerah. Perusahaan multinasional, perusahaan nasional, perusahaan lokal. Mentalitas bangsa terjajah telah membuat kita sulit bersikap egaliter, pilihannya hanya arogan (buat yang merasa kelasnya lebih tinggi) atau minder (buat yang tidak percaya diri).

Celakanya, dalam hal pengolahan ide kreatifpun kasusnya gak jauh beda. Dikit-dikit menjurusnya ke stereotip: kalo ide yang global itu begini, yang lokal itu begitu. Kita sendiri yang menyimpan ketakutan dianggap melanggar adat jika tidak seperti kebanyakan orang. Kita terbiasa bersikap inferior, sadar atau tidak sadar.

Memahami kultur yang akan kita angkat menjadi sebuah tema dalam desain grafis adalah hal mutlak yang harus kita kuasai. Tanpa pemahaman yang mendalam, maka proses untuk meng-akulturasikannya dengan aspek global tidak saja bisa mengakibatkan salah persepsi tapi bahkan bisa menjadi bumerang akibat penerimaan negatif target audiens.

Tantangan terbesarnya adalah bagaimana membawa muatan lokal yang begitu unik, menarik agar bisa diterima oleh audiens yang bahkan tidak mengerti secara jelas kultur budaya yang diangkatnya dalam sebuah karya desain grafis.

Karena tidak semua kultur lokal bisa diangkat menjadi bahasa global, ada kemungkinan kultur di suatu daerah bisa bertentangan dengan daerah lain. Contoh kecil: ‘kates’ dalam bahasa Jawa berarti ‘pepaya’, tapi dalam bahasa Sunda berarti ‘pisang’.

Bahkan, yang dianggap baik di suatu komunitas, bisa dianggap sangat buruk di komunitas yang lain. Ketelanjangan di Papua dianggap biasa, tapi jangan coba diterapkan di Aceh, misalnya. Pemahaman atas dua hal ini akan banyak membantu tercapainya proses transformasi pesan yang benar-benar pas pada audiensnya, sehingga tercipta ‘desain grafis plus’, yang pengaruhnya melebar melewati batas-batas lokalitasnya sendiri.

Creativepreneur Sebagai Jalan Keluar

Memunculkan kemandirian saya pikir menjadi fokus penting untuk mulai memberdayakan akademi dan industri desain grafis. Tanpa kemandirian, takkan tumbuh bunga kreativitas yang bermekaran dari seluruh pelosok negeri. Kemajuan takkan pernah dicapai hanya dengan menunggu, berharap pihak lain (pemerintah, kampus, industri) akan datang memberi bantuan untuk menyelesaikan persoalan.

No way! Tidak ada makan siang gratis. Upaya memperkenalkan creativepreneur sebagai enterpreneur (kewirausahaan) yang berbasis kreatif perlu terus dilakukan. Sosialisasi, seminar, workshop, penerbitan buku Success Story, Creative Competition harus terus menerus dilakukan dengan kualitas dan kuantitas yang makin progresif.

Budaya mayoritas masyarakat kita yang memilih hidup aman dengan menjadi pegawai (negeri/swasta) memang akan mempengaruhi proses ini. Inilah tantangannya, segala sesuatu ya memang akan diuji dulu di awal. Berbekal kreativitas, sesungguhnya tak pernah ada yang tak mungkin selama kita yakin dengan jalan yang kita tempuh.

Sejak awal kuliah, bahkan awal sekolah, anak didik diupayakan untuk dibimbing ke arah kemandirian. Di-encourage untuk bikin bisnis sendiri di usia belasan, ditemani dengan kasih sayang saat mengalami kegagalan, dihajar mentalnya agar tidak mudah cengeng dan dibenturkan realitas bisnis yang keras agar kuat otot dan insting bisnisnya. Alumnus perguruan tinggi harus di-upgrade dari sekedar ready to work (menjadi pekerja profesional) menjadi ready to create (menjadi wirausaha).

Manfaatkan Keajaiban Creative Giving

Satu hal lagi yang saya ingin usulkan untuk lebih mengembangkan dunia desain grafis adalah perlunya tokoh-tokoh, orang-orang pintar, praktisi industri kreatif, young entrepeneurs, para mahasiswa desain grafis atau bahkan siapapun untuk mulai berbagi dengan cara-cara kreatif.

Jika kita hanya menunggu pemerintah atau institusi bisnis menyiapkan infrastruktur untuk memajukan dan meningkatkan kecerdasan serta kreativitas anak didik dan para pekerja kreatif kita, waktunya akan terlalu lama dan belum tentu terlaksana. Terlalu banyak barrier, birokrasi dan tetek bengek aturan yang membuat upaya tersebut tidak bisa cepat terimplementasi.

Jadi memaksimalkan kekuatan ‘creative giving’ adalah cara paling praktis yang kita bisa lakukan. Tak usah dengan hal-hal yang besar, kita mulai dari hal-hal kecil dulu. Misalnya: jika kita punya pengetahuan tentang sesuatu hal, segeralah di-share kepada lebih banyak orang lewat blog, milis, facebook, website dan media-media komunikasi gratisan lainnya. Ada yang jago komunikasi, tulislah tentang pengetahuan dan pengalaman komunikasi Anda di dunia bisnis, gratiskan ilmu Anda pada yang membutuhkan, Anda akan jadi makin ahli karena bertambahnya ilmu bukannya makin berkurang.

Mental berkelimpahan, itulah yang kita perlukan. Bukan mental serba kekurangan sehingga saat punya ilmu tertentu kita takut mengajarkannya pada orang lain, takut suatu hari nanti jadi kompetitor, takut suatu hari  nanti ilmunya habis dan kompetitornya lebih pintar dari dia.

Apapun yang kita punya dan sekiranya bermanfaat buat yang lain, segeralah bagikan. Jangan ditunda. Semakin banyak yang bergabung dalam gerakan ini, maka kesenjangan antara mahasiswa di pelosok dan pusat kota akan segera terjembatani. Lanjutkan terus proses memberi, manfaat terbesarnya akan kembali pada yang melakukan bukan hanya pada yang menerima pemberian itu. Dan bayaran Tuhan atas kebaikan yang kita lakukan selalu akan lebih banyak berlipat-lipat dan seringkali dari arah yang tidak kita sangka-sangka.

Kita Mulai Saja dan Benahi Sambil Jalan

Apa yang saya sampaikan ini hanyalah upaya kecil saja. Hanya langkah awal untuk kita semua agar mau dan mampu melihat potensi luar biasa yang tersebar di seluruh muka bumi Indonesia ini, tidak saja dari alamnya yang kaya raya tapi justru dari kreativitas masyarakatnya yang luar biasa meskipun belum banyak tergali secara maksimal.

Meninggalkan kebiasaan lama memang tidak mudah. Selalu ada keraguan ketika memutuskan untuk berubah: keluar dari zona kenyamanan yang biasa kita nikmati setiap hari dan menuju wilayah baru yang asing dan tak terpetakan. Jika keraguan atau ketakutan mulai menyerang, maka tersenyumlah.

Masa depan dunia desain grafis kita akan ditentukan oleh sekelompok minoritas yang ide-ide besarnya semula dianggap asing, tidak wajar bahkan gila. Bukan oleh kerumunan banyak orang, bukan oleh sebuah tim yang lengkap dan solid. Di kisah sukses manapun, cerita ini berulang.
Jadi jangan menunggu untuk memulai. Seorang bijak pernah berkata, resiko terbesar dalam hidup adalah tidak pernah berani mengambil resiko. Dan keteguhan atas sebuah visi di masa depan – kata Goethe – menyimpan kekuatan, kejeniusan dan keajaibannya sendiri.

Saya percaya bahwa ide-ide lokal punya potensi kekuatan luar biasa, justru karena kelokalannya. Ide kreatif yang berangkat dari lokalitas itu jumlahnya jutaan, dan jika diolah maksimal akan menjelma jadi masterpiece berkelas internasional. Keyakinan saya mengatakan industri desain grafis dan industri yang berbasis kreativitas inilah yang akan menjadi kiblat industri yang lain, untuk membuat dunia yang kita tinggali ini menjadi sedikit lebih baik. Pintu untuk menuju ke sana telah terbuka lebar, kita hanya perlu percaya dan merapikan barisan.

Jarak ribuan kilometer akan bisa ditempuh hanya dengan satu langkah, yang terus berulang. Mari kita melangkah sekarang.

Sumber image:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhMgg4Du9-WTvxyfT8pPrj_a7_A_2cLCqsvyzch68RYLIN-KexA901tZFEsBaBVW4QrDk3TbU4cm4GiceuevhvOmOdw2XcYBCnzX61gbjeH1UewBCTlhnnWs5ONzG_zUuxfTaIKANw5MNU/s400/1337+-+photo.jpg
 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmBFNdP5QtFLHluXPV_dlT1kIgz0wj19LgjL6fZoRHs87h5MTDCNIugXXM5XydaHeBxkk7HLdUeYjPuZnBsPm979u7N3YairPTMqQleKw47fBj8bmOwiY41kvnYy8D3JrGfAcHF8-HzRJe/s640/wedangan+002.jpg
Karya Ayip Budiman http://grafisosial.files.wordpress.com/2008/08/ina-ri-mendung-gagah.jpg
http://dgi-indonesia.com/wp-content/uploads/2010/02/aji-6-1-10.jpg

Tulisan saya ini juga dimuat di sini

0 comments: