Footer 1

2010/02/25

Setia Hingga Terakhir di Dalam Keyakinan

Saya tak tahu apa-apa tentang Robert Wolter Monginsidi, kecuali sekelumit cerita perjuangannya di buku PSPB saat masih sekolah dulu. Cerita kepahlawanan yang dituliskan dengan datar, tak menginspirasi anak-anak sekolah seperti saya dan teman-teman. Seperti kita semua mafhum, cerita tentang perjuangan kemerdekaan versi sekolahan adalah cerita tentang tanggal kejadian, isi perjanjian, deskripsi peristiwa lalu hafalan atas itu semua. Dan saya pun telah lama lupa.

Dan pagi ini nama itu terlintas kembali. Sebuah cerita di akhir hidup Bote (panggilan akrab Wolter Monginsidi) di sebuah situs membuat saya terpana:

Sesaat sebelum menuju ke tempat eksekusi, Wolter menjabat tangan semua yang hadir tidak ketinggalan pula regu penembak. Ia berkata,“Laksanakan tugas saudara, saudara-saudara hanya melaksanakan tugas dan perintah atasan, saya maafkan saudara-saudara dan semoga Tuhan mengampuni dosa saudara-saudara.“

Dengan hati yang tegar, Wolter menghadapi moncong-moncong senjata yang dibidikkan kepadanya dan menolak ketika matanya akan ditutup, ia berucap,“Dengan hati dan mata terbuka, aku ingin melihat peluru penjajah menembus dadaku.“


Dengan pekikan,”Merdeka!!!” dari Wolter, 8 butir peluru dimuntahkan ke tubuhnya: 4 peluru di dada kiri, 1 di dada kanan, 1 di ketiak kiri menembus ketiak kanan, 1 dipelipis kiri dan 1 di pusar dan seketika ia terkulai.

Pagi itu 5 September 1949, Wolter gugur dalam usia 24 tahun.

Dikutip dari: http://pajokka.blogspot.com/2009/08/wawancara-dengan-robert-wolter.html

Detail adegan yang menggetarkan ini tak pernah saya baca saat saya sekolah dulu. Membayangkan seorang anak muda usia 24 tahun berjalan dengan tenang menyalami orang-orang yang akan menembaknya dan memaafkan mereka: apa yang telah dipelajari Bote di usia semuda itu sehingga ia bisa menjelma malaikat di hari kematiannya?

Apa yang dilihatnya di detik terakhir hidupnya ketika delapan butir peluru meluncur dari senapan yang berasap mengoyak tubuhnya yang tegar tapi tak berdaya? Sesakit apa yang ia rasakan saat timah panas itu menderu, melubangi delapan bagian tubuhnya, membuat rohnya pamit detik itu juga menghadap-Nya?

Begitu banyak buku tentang Che Guevara yang juga mati di depan juru tembak pasukan Bolivia sehingga buku-buku dan posternya ada dimana-mana. Tapi cerita luar biasa di detik-detik kematian Bote ini lolos dari perhatian kita semua: keberanian dan ketegarannya untuk tak tunduk pada apapun selain keyakinannya.

Di usia saya yang ke-24 apa yang saya lakukan? Saya merasa sungguh kecil dan tak berarti: seseorang yang hidupnya penuh mimpi baru saja lulus kuliah dan tak pernah merasa menghadang bahaya apapun yang menakutkan saat berbicara tentang keyakinan. Hidup saya waktu itu tak ada bandingannya dengan hidup Wolter, bahkan dia telah menjadi guru bahasa Jepang saat usianya masih 18 tahun.

Siapakah pahlawan bagi saya?

Orang-orang yang tidak sempurna, yang penuh kekurangan, yang kadang berbuat naif dan konyol tapi maju terus tanpa gentar memperjuangkan apa yang diyakininya, apa yang diimpikannya. Hidupnya babak belur, jumlah kawan dan lawannya hampir sama banyaknya, bahkan seringkali harus berjuang sendiri karena dijauhi teman-teman seperjuangannya. Sampai saat tiba waktunya mereka pulang menghadap Tuhan, ribuan bahkan jutaan orang mengelu-elukan, mendoakan, menangisi, menyesali kepergiannya. Jejak kepahlawanannya tinggal di bumi saat jasadnya menyatu dengan tanah.

Dan kita ini seringkali terlambat mengenali orang-orang yang berpotensi jadi pahlawan. Kita baru sadar saat mereka pergi selama-lamanya dan tergopoh-gopoh memperingatinya ketika yang bersangkutan tinggal nama.

Dalam sebuah diskusi dengan Ibu Marie Pangestu (Menteri Perdagangan) bersama para finalis IYCEY beberapa tahun lalu saya berkata,”Bu, pemerintah lebih baik memperhatikan dan mendukung pemikiran dan kreativitas anak-anak muda sekarang, saat potensi, spirit dan energi mereka sedang dalam puncaknya. Jangan sampai kita terlambat lagi. Anak muda hebat seperti Soe Hok Gie tidak lahir dua kali, tapi hidupnya disia-siakan. Pemerintah tak peduli atau tak paham. Saat dia telah pergi barulah kita sadar betapa berharganya kesempatan ketika dia masih hidup. Tapi sudah terlambat. Kita kalah dengan ank-anak muda macam Jerry Yang, David Filo (pendiri Yahoo) atau Sergey Brin & Larry Page (pendiri Google) karena pemerintah dan orang-orang tua sukses berduit banyak itu terlalu sibuk untuk memperhatikan potensi dahsyat anak-anak muda kita.”

Saat menyampaikan masukan itu saya bersemangat sekali apalagi langsung didengarkan oleh Menteri. Saya merasa gagah sekali karena mampu menyampaikan apa yang saya yakini dan apalagi melihat Bu Menteri tersenyum dan mengangguk penuh arti.

Tapi ternyata saya memang anak muda culun, tak cukup jam terbang dan katrok dalam pengalaman. Senyum dan anggukan Bu Menteri itulah memang yang selalu dilakukannya karena dia tidak hanya bertemu saya tapi ribuan bahkan ratusan ribu lagi orang-orang yang mungkin pertanyaan dan masukannya lebih bermutu. Apa yang saya sampaikan menguap begitu acara salam-salaman selesai, keyakinan saya yang menggebu-gebu bagai monolog Togog yang didengar tapi tak dikehendaki, sumbang dan mengganggu.

Lalu datanglah hari itu – dua hari yang lalu - saat saya duduk di depan TV menyaksikan pandangan akhir Fraksi di DPR tentang Centurygate. Sejujurnya, saya tak tahu siapa yang benar dan salah dalam Centurygate ini, atau siapa yang hanya salah dan siapa yang memang jahat. Pandangan para fraksi tak menjawab dengan jelas, mereka berbicara dengan sangat meyakinkan untuk sebuah fakta yang masih abu-abu.

Ingatan atas apa yang saya sampaikan beberapa tahun lalu melintas lagi: mayoritas kita seringkali luput memotret potensi pahlawan ketika yang bersangkutan masih hidup. Tapi sesuatu di hati saya terusik saat seseorang seperti Boediono dengan track record yang – setahu saya - begitu bersih dan kapabilitas yang dihormati dunia internasional dihakimi beramai-ramai oleh anggota-anggota DPR seolah-olah ia penjahat besar yang merugikan negara dan sebaiknya disingkirkan jauh-jauh dari pemerintahan.

Logika saya mungkin telah mati saat mencoba memahami sengkarut Century ini, tapi keyakinan saya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak benar sedang terjadi.

Jangan sampai dugaan-dugaan dan fakta setengah matang yang muncul membuat kita salah menilai. Jangan sampai Boediono, Sri Mulyani atau siapapun yang lain mengalami nasib seperti Syahrir yang meninggal dalam penjara negerinya sendiri atau Tan Malaka yang dibunuh bangsa sendiri. Atau bahkan Gus Dur yang terlanjur di-makzul-kan meskipun tuduhan skandal korupsinya tak pernah terbukti sampai beliau meninggalkan kita semua dan ditangisi oleh bangsa Indonesia.

Saya pun akan tunduk jika proses politik di DPR dan nanti proses hukumnya di KPK, Kejaksaan atau Kepolisian akhirnya mengarah pada si A, si B atau si C yang dianggap bertanggung jawab. Saya pun yakin Pak Boed, Bu Sri atau bahkan SBY akan bertanggung jawab penuh apapun hasil dari pencarian kebenaran ini.

Saya hanya tidak ingin bangsa ini nyahok berkali-kali di lubang yang sama, melakukan kesalahan berkali-kali hanya karena tak mau belajar dari sejarah. Dan terlambat insyaf.

Para anggota Pansus mungkin juga sedang merasakan bahwa yang mereka lakukan saat ini adalah sebuah tindakan kepahlawanan untuk menyelamatkan bangsa ini, saya hanya mengingatkan bahwa tak ada pahlawan yang tahu dan merasa bahwa dia pahlawan. Kita tidak bisa menjadi pahlawan dengan cara memakzulkan pahlawan lainnya. Yang memberinya kehormatan untuk menjadi pahlawan adalah orang lain, bukan diri kita sendiri.

Semoga apa yang telah diperlihatkan Wolter Monginsidi 61 tahun yang lalu bisa menyegarkan ingatan kita tentang beratnya ujian sebelum seseorang pantas disebut pahlawan.

Kesempatan ini terbuka buat kita semua: Boediono, Sri Mulyani, SBY, anggota Pansus, anda yang sedang membaca blog ini, kita semua. Termasuk Anda yang tak setuju dengan tulisan ini karena terasa condong ke Boediono, saya terima resiko ini. Saya tak diupah siapapun untuk menulis, saya hanya mengikuti jalan hati saya. Dan tentu ada kemungkinan salahnya. Wallahu a'lam.

Semoga Allah menuntun bangsa ini menuju cahaya, menuju kesucian.

Saat bangsa ini mengalami berbagai cobaannya yang tak ringan, itulah sesungguhnya saat pencucian-Nya. Kita bingung, kecewa, marah, sedih, takut, kuatir: perasaan-perasaan itulah yang sedang dibersihkan-Nya. Agar kita semua ingat, sadari dan yakini, tanpa ijin-Nya bangsa ini sudah bubar oleh pemberontakan dari dulu. Tanpa ijin-Nya, kita tak mungkin berada di posisi ini saat ini. 

Negeri ini adalah negeri yang besar, negeri para pahlawan. Negeri yang orang-orangnya berjiwa besar, berfikiran tajam jauh ke depan, negeri yang akan kita bela sepenuh hati sampai nanti Tuhan memanggil kita kembali.

Setia hingga terakhir di dalam keyakinan, sebuah tulisan tangan Wolter terselip di dalam Alkitab yang digenggamnya saat eksekusi mati di subuh hari itu terjadi. Tubuhnya rubuh dan tulisan itu tertinggal di bumi ini, mengingatkan kita semua tentang pentingnya menjaga sebuah keyakinan, sebuah prinsip, yang jauh lebih berharga daripada kehidupan.

Saat hari itu tiba, beranikah kita menatap kematian dengan mata terbuka sambil tersenyum? Sejujurnya saya malu pada Wolter Monginsidi…

Image pinjem dari: www.bode-talumewo.blogspot.com

0 comments: