Footer 1

2008/05/03

Parameter-parameter Farmakologi

a. Farmakokinetika

Farmakokinetika merupakan aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya

(ADME).

Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umunya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut dengan proses farmakokinetika dan berjalan serentak.

1) Absorpsi dan Bioavailabilitas

Kedua istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi

sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sestemik. Sebagaian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding ususpada pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal, atau memberikannya bersama makanan.

2) Distribusi

Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam otak, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh

ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein.

3) Biotransformasi / Metabolisme

Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat

(prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir.

Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non-mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma.

4) Ekskresi

Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari 3

proses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal.

Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau intercal pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.

Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada kedokteran forensik.

b. Farmakodinamika

Farmakodinamika mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.

1) Mekanisme Kerja Obat

Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional yang mencakup 2 konsep penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen, secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang. Setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai

reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor yang ligand endogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis di tempat ikatan agonis (agonist binding site) disebut antagonis.

2) Reseptor Obat

Struktur kimia suatu obat berhubunga dengan afinitasnya terhadap reseptor dan aktivitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sidat farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu. Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan protein seluler lain membentuk sistem reseptor-efektor sebelum menimbulkan respons.

3) Transmisi Sinyal Biologis

Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi ekstraseluler (extracellular chemical messenger) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik. Sistem hantaran ini dimulai dengan pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di dalam sitoplasmaoleh transmitor. Kebanyakan messenger ini bersifat polar. Contoh, transmitor untuk reseptor yang terdapat di membran sel ialah katekolamin, TRH, LH. Sedangkan untuk reseptor yang terdapat dalam sitoplasma ialah steroid (adrenal dan gonadal), tiroksin, vit. D.

4) Interaksi Obat-Reseptor

Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim, biasanya merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der Waals), dan jarang berupa ikatan kovalen.

5) Antagonisme Farmakodinamika

Secara farmakodinamika dapat dibedakan 2 jenis antagonisme, yaitu antagonisme fisiologik dan antagonisme pada reseptor. Selain itu, antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif. Antagonisme merupakan peristiwa pengurangan atau penghapusan efek suatu obat oleh obat lain. Peristiwa ini termasuk interaksi obat. Obat yang menyebabkan pengurangan efek disebut antagonis, sedang obat yang efeknya dikurangi atau ditiadakan disebut agonis. Secara umum obat yang efeknya dipengaruhi oleh obat lain disebut obat objek, sedangkan obat yang mempengaruhi efek obat lain disebut obat presipitan.

6) Kerja Obat yang tidak Diperantarai Reseptor

Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obat-obat ini mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion atau molekul kecil, atau masuk ke komponen sel.

7) Efek Obat

Efek obat yaitu perubahan fungsi struktur (organ)/proses/tingkah laku organisme hidup akibat kerja obat.

0 comments: