Footer 1

2007/09/27

The Godfather


Selama 2 hari berturut-turut menjelang sahur, saya memenuhi impian lama: menikmati film Godfather Part I, II, III. Total 9 CD. Impian yang berawal dari pertanyaan sederhana: saat semua orang membicarakan film lama ini dan begitu banyak bintang besar plus sutradara sekelas Francis Ford Coppola ada di dalamnya, pastilah ini bukan film biasa. Dan heii, saya belum menontonnya. Yang kedua, saya sedang mencari satu model pembelajaran tentang kepemimpinan.

Setelah hampir berbulan-bulan pencarian tanpa hasil, malam itu di sebuah rental di saya menemukannya, lengkap 3 seri. Dan kuliahpun dimulai: start jam 12 malam sampai pagi tiba, 2 hari lamanya. Dan Thank God: film ini secara utuh mampu memberi deskripsi tentang warna-warni perjalanan hidup anak manusia dari lahir, tumbuh dewasa, sampai maut menjemput. Dengan karakter yang kuat dari para pemerannya serta skenario dan plot yang begitu natural: rasanya inilah film terbaik yang pernah saya tonton seumur hidup saya.

Ok deh, mungkin saya berlebih-lebihan, tapi saya belajar jauh lebih banyak dengan menghabiskan sekitar 9 jam menonton Godfather ketimbang seluruh waktu sekolah formal saya (17 tahun) belajar tentang Pendidikan Moral Pancasila. Dalam kekejaman mafia dan aroma darah muncrat, keindahan terbangun tanpa harus pusing memikirkan apakah ini baik atau jahat, benar atau salah.

Seperti penari yang begitu menghayati musik pengiringnya, Vito Corleone (Robert de Niro, Marlon Brando), Michael Corleone (Al Pacino) dan Vincent Corleone (Andy Garcia) menghipnotis saya: bergerak perlahan, menghardik, membidik (atau dibidik), mengorganisasikan pasukan (manajemen), merencanakan pembunuhan (planning), negosiasi, berlari dalam desing peluru, menghadapi konflik internal, pengkhianatan, kekejaman, jaringan (networking), menyumbang kemanusiaan, menolong yang papa, menjadi teman dekat Paus Johanes Paulus, berdialog dengan maut.

Inilah kitab manajemen terlengkap: semua sisi dikupas, ditelanjangi, dihancurleburkan. Apakah seorang Godfather mampu meraih kebahagiaan dalam hidupnya yang penuh ancaman (mengancam atau diancam), saat setiap detik maut mengintai di sela makan malam yang mahal diiring tawa dan canda ria anak-anak kecil di sekelilingnya. Tak mudah hidup dengan kuasa yang nyaris mutlak, setiap orang pasti berminat mencabut nyawa si empunya. Nikmat yang fana dan pengorbanan yang sia-sia.

Dan akhirnya, memang bukan kebahagiaan yang sedang dikejar. Tapi ambisi, demi keluarga, demi kehormatan dan ironisnya: juga demi Tuhan. Tuhan rasanya tak campur tangan dalam kehidupan indah berbalut kekejaman ala mafia: seperti Andrea Hirata saat mengatakan Tuhan tahu tapi menunggu.

Di akhir film Godfather III, di ujung VCD yang ke-9 Tuhanpun hadir: tampak longshot Michael Corleone duduk di kursi dalam umurnya yang sangat senja, mungkin lebih dari 80 tahun ditemani seekor anjing kecil yang mengais-ngais di antara kursinya. Ia senantiasa selamat dari beberapa rencana pembunuhan oleh musuh-musuhnya. Lalu kepalanya tertunduk, tubuhnya pelan-pelan merosot, kakinya tertekuk. Kursi yang tak imbangpun rubuh. Tanah menerima tubuhnya dengan sedikit gerakan debu, tak dahsyat seperti film silat Indonesia dengan debu dari bahan tepung. Tanpa suara. Anjing kecilnya sedikit terkejut lalu kembali mengais. Seolah tak terjadi apa-apa.

Sang pensiunan Godfatherpun mati sendirian, bukan oleh pelor lawan-lawannya. Tanpa kuasa, ia bukan apa-apa kecuali seonggok tubuh ringkih berdebu. Lalu dimana bahagia? Lalu dimana Tuhan? Lalu dimana keadilan buat korban-korbannya? Lalu dimana hukum baik buruk berlaku?

Pertanyaan ini memenuhi kepala saya saat kamera makin menjauh: mayat tokoh mafia terbesar di dunia mulai samar diselimuti debu, angin yang berhembus, anjing yang tak peduli, kursi rubuh dan bangunan berbatu yang sunyi: semua nampak sama, hanya kumpulan benda-benda.

Dari jendela ruangan saya, matahari pagi mulai mengintip: membawa hangat di dada. Sebuah akhir proses kuliah yang nyaris sempurna, yang celakanya juga tak terjawab semua... tanya itu masih menggantung. Sayapun beranjak, membuka pintu dan tersenyum. Yang terbaik hari ini, tentulah tak abadi. Atas kuasa Tuhan, akan selalu hadir yang lebih baik lagi esok hari.

Tuhan tahu apa saja yang akan kita capai di akhir hidup kita, tapi Dia menunggu. Dia membebaskan kita untuk mencari tahu seolah hidup yang kita jalani tak pernah usai. Dia menunggu saat akhir hidup kita, untuk memberikan pesan pada yang masih tinggal: bahwa proses belajar selalu berulang dan tak pernah usai...

0 comments: