Tak ada yang lebih menggembirakan selain mengerjakan sesuatu yang kita sangat senangi dan mendapatkan respon positif dari apa yang kita kerjakan. Tanpa penghargaanpun, selama kita mencintai pekerjaan kita: itu adalah anugerah yang luar biasa.
Mungkin jarang sekali saya menulis hal yang membanggakan tentang ISI Yogyakarta, dalam 5 tahun terakhir rasanya saya selalu mengritik dan gregetan karena segala sesuatu tentangnya tak beranjak jadi lebih baik.
Nah, hari ini - seperti dejavu - keunggulan ISI yang saya tahu dan rasakan: mahasiswanya punya bakat/talenta seni yang luar biasa kuat, jika sedang dalam top form-nya jarang bisa ditandingi oleh kampus lain.
- Komik Terbaik : Tekyan (Penerbit Balai Pustaka), M. Arief Budiman & Yudi Sulistya (Diskomvis 1994 / Petakumpet)
- Gambar Terbaik : Panggil Aku Wartini Saja (DepBudPar), Ahmad Faisal Ismail (Disain Interior '92) dan Cahyo Baskoro (Diskomvis 1994)
- Komik Indie Terbaik : Old Skul (Indie), Athonk (Seni Grafis 1992)
- Komik Cyber Terbaik : http://www.gibug.com/, Wisnoe Lee (Diskomvis 1991)
- Komik Terapi Terbaik : Keberanian, Harapan dan Cita-cita (Kompilasi Jogja 5,9 SR), Mario Diaz (Diskomvis 2000)
- Cerita Terbaik : Tidur Panjang (Kompilasi Jogja 5,9 SR), Beng Rahadian (Diskomvis 1995)
Kosasih Award ini menumbuhkan rasa syukur yang terdalam, sebuah tribute buat Institut Seni yang – bagi kami alumnusnya – masih yang terbaik di Indonesia. Tapi apakah kita bisa menjadikan kemenangan ini sebagai proses untuk menciptakan kesuksesan yang terus berulang dan bukannya karena faktor luck semata?
Modal dan potensi, kita sudah punya bahkan berlebih. Pilihannya adalah: kita akan maksimalkan atau malah disia-siakan.
Terima kasih ISI, saya pribadi berhutang banyak untuk semua hal-hal luar biasa yang telah dilalui di kampus Gampingan dan Sewon. Tetaplah tegak dan berbenah diri.
ISI itu burung elang perkasa, bukan ayam petelur yang lembek tak punya daya. Saat kesadaran telah memenuhi rongga dada, silakan terbang mengangkasa.
ISI itu harimau raja rimba, bukan kucing rumahan yang bisanya mengeong kalo lapar. Sudah takdir kalo ISI bakal merajai dunia kreatif Indonesia, jika itu belum terlaksana mungkin karena kurang pas dalam mengelola.
Itulah kenapa saya memilih kuliah di ISI, bukan melanjutkan kuliah saya di UGM atau berangkat daftar ulang setelah diterima di ITB.
0 comments:
Posting Komentar