Seni selalu masuk dalam wilayah pembicaraan yang menarik dalam Islam, posisinya yang unik seringkali membangun dialog antara yang pro dan kontra. Bagaimana seni menurut Islam atau bagaimana Islam menurut seni? Atau adakah seni yang Islami dan seni yang tidak Islami? Dalam tataran yang lebih elementer saat bicara tentang halal atau haramnya seni di mata Islam, pertanyaan itu menukik: seni seperti apa yang seharusnya diharamkan dan seni seperti apa yang sebaiknya dihalalkan, disupport dan dikembangkan?
Film Tanda Tanya karya Hanung Bramantyo yang menjadi Kontroversi
Dialog-dialog yang terbangun – dalam riuh kata-kata maupun dalam kesunyian hati masing-masing penikmatnya – hadir dengan segala macam konteks yang menyertainya. Menentukan karya seni mana yang layak atau tak layak sebagai representasi Islam, selain mengacu pada standar estetika, daya kreativitas, orisinalitas juga mempertimbangkan pentingnya menemukan ide-ide karya yang mampu berpijak pada konteks Islam yang lebih membumi.
Sebagai preparat penilaian itu, terlihat masih banyak yang harus kita gali dari kedalaman perspektif pemahaman Islam saat menuangkannya dalam sebuah karya seni.
Islam masih cenderung dipahami sebagai baju, sebagai packaging, sebagai sekedar ‘bahasa komunikasi’ dengan audiens. Sehingga banyak karya yang tampil di sekitar kita (lukisan, cerpen, film, sinetron, teater, puisi, lagu, dll.) terkesan ‘meminjam’ simbol-simbol yang sering dipersepsikan oleh khalayak sebagai representasi Islam: jilbab, peci, sajadah, Palestina, jihad, dan yang seperti itu.
Sehingga kita melihat seni Islam yang ditampilkan lebih cenderung berbau Islam, bertopeng Islam, belum menggali ke akar-akar terdalam nilai-nilai Islam yang hakiki. Dalam bahasa saya, belum sungguh-sungguh Islami.
Misalnya saat kita bicara tentang perjuangan Palestina, mengapa stereotype lama itu masih saja muncul? Pengungkapan secara verbal tentang kebencian pada kekejaman Yahudi (yang semua orang sudah tahu), jihad yang berarti perang sampai titik darah penghabisan (yang semua orang sudah tahu), bahasa visual yang berhias bentuk peluru, batu, darah, kafiyeh, nuansa dendam pada Yahudi (yang semua orang juga sudah tahu).
Tidak ada sesuatu yang baru kecuali pengulangan dan pengulangan tanpa inovasi kreativitas itu membosankan. Sejujurnya saya bertanya: dimana kecerdasan kita sebagai muslim untuk menggali sesuatu yang lebih fundamental dari itu semua? Bagaimana kita bisa menggunakan symbol-simbol Islam sebagai sebuah powerfull tools untuk bicara tentang - misalnya – memaknai konsep jihad secara benar menurut Islam.
Kita masih terjebak pada tataran dasar pemikiran ‘what to say’: apa yang akan saya ungkapkan dalam karya saya. Masih tergagap-gagap untuk memahami 'how to say'nya dengan cara yang sophisticated, efektif sekaligus inspiratif.
Seperti ketika misalnya saya menyukai seorang wanita, di detik itu juga saya langsung bilang ‘aku cinta kamu.’ Yang tentu saja akan mengagetkan sang wanita karena secara mental ia tak siap, karena kita tak menyiapkan penerimaannya dengan cukup baik. Kemungkinan kegagalan pernyataan cinta saya untuk diterima akan sangat besar. Tak ada daya tarik dan pemahaman insight yang cukup dari apa yang kita ungkapkan dengan mentah. Dan perasaan cinta kita akan terbanting sempurna karena ditolak atau ‘lebih parah lagi’ dicuekin.
Akan berbeda akhir ceritanya, jika kita tak langsung menembakkan ‘aku cinta kamu’ pada pertemuan pertama. Dengan melakukan proses pendekatan, mengerti karakter seperti apa wanita yang kita harapkan cintanya. Apa kebiasaannya, apa kesukaannya, idolanya siapa, sampai kita paham betul insight-nya. Sesuatu yang pada pertemuan pertama tersembunyi oleh penampilan luarnya. Insight inilah data paling berharga untuk amunisi kita dalam merancang sebuah moment yang luar biasa, saat waktunya tiba kita menyatakan cinta.
Opick dan lagu-lagu Islami-nya
Sebagai seniman muslim, kita harus mulai mendaki makna yang lebih tinggi lagi. Mulai lebih serius untuk memikirkan strategi ‘how to say’, mempelajari insight audiens sebagai target yang akan mengapresiasi karya kita, menggali lebih dalam lagi apa sesungguhnya nukleus Islam, nilai-nilai fundamental apa yang akan menjadi sumbangan Islam dalam membangun sebuah peradaban dunia yang lebih baik.
Saya berharap bahwa proses menuju karya yang lebih baik, lebih komprehensif, lebih menggetarkan dalam merepresentasikan nilai-nilai Islami yang sejati.
Apakah karya-karya yang saya hasilkan sudah Islami? Apakah tulisan-tulisan saya di blog ini sudah Islami? Apakah tingkah laku saya sudah Islami?
Jawaban yang pasti: belum. Tak mudah menemukan model ideal karya-karya Islami. Tapi kita bisa bercermin pada puisi-puisi Emha Ainun Nadjib, Taufik Ismail dan Gus Mus. Pada lantunan lagu-lagu Opick dan Kiai Kanjeng. Pada novel-novel Andrea Hirata. Pada beberapa film Hanung Bramantyo.
Kyai Kanjeng berpentas di Finlandia
Karya-karya yang saya sebutkan barusan pastinya juga masih akan mengundang perdebatan. Good! Perdebatan juga bagus, menunjukkan hidupnya dinamika, kita perlu bergesekan untuk maju, bukan saling setuju tapi tak bergerak kemana-mana.
Bukankah sebuah perjalanan panjang dimulai dari sebuah langkah awal?
Karya seni Islami itu adalah proses pencarian yang terus koma, takkan pernah mencapai titik. Titik tertinggi hanyalah batas imajinasi kita sebagai manusia, tapi dengan iman yang utuh pada-Nya, imajinasi itu akan mengembara menuju-Nya.
Emha Ainun Nadjib
Tapi di tengah segala kekurangan yang menjadi pekerjaan rumah kita semua, saya harus katakan salut untuk para seniman, sastrawan, desainer yang telah berkarya dengan intens sementara masih banyak di luar sana yang tak sempat lagi menggeluti nilai-nilai Islam karena terpenjara kehidupan profesionalisme, karier dan prestasi dunia.
Mari kita mulai dari diri kita sendiri, berkarya semampu kita. Seribu kritik dan saran yang saya tuliskan di sini, tak secuilpun layak disandingkan dengan karya nyata yang telah teman-teman sekalian kerjakan untuk merengkuh Ridlo-Nya.
Semoga ini menjadi ikhtiar kita semua untuk berjuang di jalan-Nya. Untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, mewujudkan cahaya Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin.
Sumber Image:
Film Tanda Tanya https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgSWYcpStUv5l8dCUXIo3VAPolYpoYK4QRxAuSGPUN5gN9rJMpZHwmQQkZdVLagUb2EmZQvkuvztfVoLVDgk4TW2d8dy2tZJlcNWTFsXbMjubro8djqlHeOL3j-IYj4I-lcD6_FuYBq8q7/s1600/review+film+tanda+tanya.jpg
Album Opick https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhx91pK4gs-1O52YA9cKfmT8PZAIg3zSQxg6xxsQDycbNYJg6yRl53kg8PFNdOCWxcA2SKCLdwxZ7eLzgESrrz7GRqirjV3awjTIWR9ELxtQ70CpQfFk7mgQ6no11AAZnB_Y03f2HVmJVs/s1600/opick-dibawahlangitmu.jpg
Kyai Kanjeng http://multiply.com/mu/masarifbachtiar/image/8/photos/7/500x500/3/Kiai-Kanjeng-bershalawat.JPG?et=sK9jY2YKJP4%2C6MAqwnQ3mg&nmid=102656412
Emha Ainun NAdjib http://www.andikafm.com/images/news/68566_emha_ainun_nadjib_300_225.jpg
0 comments:
Posting Komentar