Tahukah Anda bahwa di negeri ini: orang miskin memberi harta pada orang kaya, orang bodoh memberi nafkah pada orang pinter dan perusahaan kecil memperkaya perusahaan raksasa? Dan segeralah terkejut: sistem seperti ini telah berlangsung begitu lama dan hampir setiap orang melihatnya sebagai kewajaran, sebagai sesuatu yang baik-baik saja.
Satu contoh, berapa jam waktu yang dihabiskan masyarakat kita untuk nonton sinetron sampah dengan sukarela? Rata-ratanya sekitar 1 - 2 jam sehari, atau malah lebih. Berapa banyak iklan yang tayang pada durasi 1-2 jam tersebut? Mungkin lebih 30 iklan. Berapa tarif iklan 30 detiknya? Sekitar 5 - 15 juta rupiah tergantung rating acaranya. Siapa yang paling untung? Para pembuat sinetron sampah. Para pengiklan. Siapa yang dalam rantai makanan paling dirugikan? Ya mayoritas masyarakat kita. Dan sialnya, kita nggak nyadar. Atau sadar, tapi tetap nontoooon terus...
Contoh kedua, lihat anak-anak kita yang sekarang sekolah dari mulai SD sampai SMU. Lihat buku pelajarannya. Siapa yang bikin? Orang-orang 'pinter'. Berapa banyak buku yang dibikin? Puluhan bahkan ratusan juta eksemplar. Siapa yang paling diuntungkan? Penerbit, Distributor, Pengarang. Siapa yang harus membayar mereka? Orang tua murid atau muridnya sendiri. Apakah mereka menjadi pinter setelah belajar buku paket? Tidak juga, lihatlah jumlah penganggur di negeri ini. Lalu pertanyannya, kok bisa proses pembodohan ini diterus-teruskan? Karena kita menganggapnya wajar, anak sekolah ya perlu belajar. Belajar perlu buku paket. Padahal segala yang baunya paket bikin tidak kreatif. Kalo tidak kreatif berarti gak siap memecahkan persoalan. Nah!
Satu contoh lagi, banyak perusahaan kecil (seperti Petakumpet) yang melayani beberapa perusahaan besar. Benar-benar besar, beberapa malah multinasional. Ordernya tak selalu besar, kadang kecil-kecil. Gak pernah ngasih uang muka dan maunya bayar mundur di belakang kadang sampai 3 bulan bahkan 6 bulan. Semua biaya ditanggung pelaksana order padahal untungnya sering gak signifikan. Akibatnya cashflow gak lancar, sementara perusahaan besar punya keuntungan mainin cashflow 3 bulan. Udah modalnya jauh lebih besar masih tega memaksa perusahaan kecil memodali pekerjaan promosi mereka. Waktu saya pernah protes, mereka bilang: ini aturan main disini, kalau nggak setuju ya nggak usah kerjasama. Gobloknya, karena kerjaan emang gak mudah didapat order mustahil itu diterima juga. Perusahaan besar makin besar dengan menginjak perusahaan kecil, yang kecil tetep aja kecil jika masih kuat diinjak. Yang gak tahan diinjak akhirnya mati.
So, yang seperti ini menurut saya namanya dholim. Saya belum tahu bagaimana mengubahnya. Jelas betul bahwa semakin kuat dan semakin besar perusahaan maka kekuatan menindasnya juga makin besar meskipun caranya juga makin halus, makin tak kentara, malah seringkali sesuai hukum dan peraturan perundang-undangan.
Tapi jika negeri ini mau maju, sistem bisnis dholim ini mesti diluruskan. Aturan mainnya disesuaikan dengan nilai keadilan dan win win solution. Jika aturannya belum bisa ditegakkan, paling tidak kita mulai dari diri kita sendiri: perusahaan kecil kita jangan ikut-ikutan dholim. Jika kelak tumbuh dan berkembang jadi raksasa, juga gak boleh ikut arus jadi dholim. Semakin besar kekuatan, harusnya semakin besar tanggung jawab, harusnya semakin mengayomi yang kecil-kecil.
Tapi syukurlah bahwa Tuhan hanya menilai dari amal ibadah kita, bukan dari besarnya kekuasaan dan kekayaan bisnis kita di negeri fana ini..
2007/11/09
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar