Kita sungguh beruntung bisa hidup di satu masa dimana kreativitas  telah diapresiasi dengan tingkat yang luar biasa positif dibanding  masa-masa sebelumnya.
Saya masih ingat dengan jelas sekitar sepuluh tahun lalu saat memulai  sebuah kantor desain grafis kecil, seorang calon klien protes dengan  keras,”Mas, dimana-mana nggak ada yang yang namanya biaya desain. Itu  kan gratis jika saya mencetak di tempat situ to? Yang bener aja, desain  grafis kok harus dibayar!”
Juga seorang pemilik percetakan yang dengan ‘cerdas’nya berkata,”Biro  desain grafis itu hanya broker percetakan. Lebih baik langsung ke  percetakan saja, pasti lebih murah. Nanti desainnya kita bikinkan  gratis!”
Waktu pun berlalu, dan hari ini biaya selembar desain brosur A4 dua  muka bisa mencapai jutaan rupiah. Desain logo bahkan puluhan milyar  rupiah. Apresiasi, penghargaan dan kepercayaan masyarakat atas profesi  dan industri desain grafis terus meningkat bersamaan dengan gencarnya  upaya mengedukasi khalayak tentang ide, kreativitas, desain, hal-hal  yang secara bawaan sering disebut intangible.
Pada awalnya, pusat desain grafis adalah Jakarta, tidak perlu  dipungkiri. Karena sebagai ibukota, infrastrukturnya paling siap untuk  ditumbuhi benih ide dan bisnis desain grafis. Sistem komunikasi  (telepon, internet) yang maju, lokasi yang menyatu dengan pusat bisnis  dan pemerintahan, klien yang sudah punya budget rutin untuk mengorder, SDM kreatif yang mengumpul bagai laron menerkam cahaya. Semuanya  tersedia, tinggal dimainkan.
Tapi hari ini, situasi seperti di atas segera akan berubah dengan  drastis bahkan dramatis. Bagaimana tidak? Dengan kemajuan teknologi  internet yang menjangkau ujung dunia (baca: ke pelosok-pelosok desa),  orang-orang kreatif kini tak perlu bersusah payah memindahkan dirinya ke  Jakarta untuk berkarya dan/atau membangun bisnis desain grafis.
Apalagi dalam bisnis desain grafis dan bisnis ide lainnya tak  memerlukan biaya angkut yang mahal (seperti bisnis berbasis produk),  desain yang dikerjakan dengan komputer begitu selesai tinggal di-sent via email: beres dah. Diterima real time  oleh klien di manapun berada. Proses pembayaran pun serupa. Hari ini  tidak aneh jika ada cerita hubungan bisnis yang sukses antara klien dan  biro desain grafis selama lima tahun lebih tapi tak pernah ketemu muka,  tak pernah kopi darat. Semua transaksi dan pengerjaan selesai di depan  komputer.
Potensi Kreatif di Luar Radar
Saya seringkali merasa tidak  enak hati  saat dianggap sebagai orang  ‘daerah’ ketika menghadiri sebuah pertemuan di Jakarta. Saya merasa  Jogja (tempat saya berdomisili) sama dan egaliter dengan Jakarta, bahkan  dengan London, Washington, sama juga dengan Sleman, Brosot, Trenggalek,  Sumenep.  Paham yang menunjukkan ini pusat itu daerah tidak mendidik  kita semua untuk bersikap egaliter, yang merasa berasal dari ‘daerah’  akan cenderung minder dan menganggap yang dari pusat selalu lebih baik.  Ini harus segera dibenahi.
Padahal dari wilayah-wilayah di luar radar inilah tersimpan potensi  kreatif yang luar biasa dahsyatnya, persis seekor singa perkasa yang  sedang tertidur. Sekali kita bisa membangunkannya, dunia desain grafis  Indonesia akan mendapatkan manfaat terbesarnya.
Berikut saya akan bahas beberapa hal menyangkut peluang dan tantangan  wilayah di luar Jakarta dalam pengembangan industri desain grafis.
Aspek terpenting adalah nilai budaya lokal sebagai potensi luar biasa  untuk dikembangkan, dengan keunikan dan kekuatan filosofi-nya yang tak  dimiliki oleh kota-kota metropolis yang cenderung meng-global,  tak punya lagi pijakan budaya yang kuat selain mengikuti arus besar  modernisme. Nilai lokal bisa menjadi oase di tengah kekeringan makna  budaya modern, nilai lokal menjadi sumber inspirasi penciptaan karya  desain grafis yang kuat maknanya dan tak sekedar keindahan visualnya  semata.
Budaya yang bersahabat masih belum banyak tercemari oleh budaya  egoisme dan mau menang sendiri menjadi pendukung kuat bagi tumbuhnya  komunitas-komunitas kreatif yang terbentuk karena kebutuhan yang sama  yang tidak semata-mata berwujud bisnis atau uang. Komunitas seperti ini  subur menghiasi Bandung, Jogja, Surabaya juga Bali. Juga titik-titik  pertemuan informal di warung, tempat ngopi, lapangan yang bisa didatangi  siapapun dan kapanpun untuk berbagi, berdiskusi tersedia dalam jumlah  yang cukup dan mudah diakses.
Biaya hidup dan biaya berkarya yang lebih murah membuka peluang untuk menghasilkan suatu sistem bisnis yang unggul creative output-nya  dengan harga yang lebih kompetitif. Sekaligus ketersediaan SDM kreatif  dari sekolah-sekolah desain grafis yang kini tumbuh makin banyak.
Apalgi perkembangan infrastruktur IT yang telah bergerak dari sekedar  komputer rumahan terhubung internet, menjadi laptop nirkabel bahkan  gadget seperti handphone, blackberry dan iphone  membuat kita bisa berkantor dan mengkreasikan ide di mana saja.   Internet yang menghapus jarak juga membuka pintu-pintu peluang yang luar  biasa banyaknya: kita bisa berjualan, bisa memajang karya (pameran),  bisa belajar dari tokoh terbaik di dunia, tanpa harus kemana-mana.  Apalagi dengan makin menjamurnya situs jejaring (baca: facebook) kita bisa terhubung langsung, sms-an, comment di wall dengan para pimpinan perusahaan, tokoh desain grafis bahkan presiden di ujung jari kita.
Tapi secanggih apapun internet, selengkap apapun informasi di  dalamnya, internet takkan pernah bisa menentukan apa cita-cita hidup  kita. Apa visi kita ke depan. Tanpa cita-cita yang jelas, sekarang yang  terjadi memang akses internet makin meningkat tapi content yang  dicari bukan yang membuat kita makin cerdas makin pintar makin bijak,  sebagian besar semata-mata hiburan dan pengisi waktu luang semata tanpa  nilai tambah yang berarti.
Mengapa Ide-ide Lokal Tidak Berkembang?
Kembali ke bahasan tentang pengembangan ide lokal, jika kita mau  bercermin tampaklah bahwa hidup kita telah dikendalikan oleh gengsi,  dalam segala bentuknya. Termasuk persetujuan implisit kita tentang  kasta-kasta: ini agency Jakarta, itu agency daerah.  Perusahaan multinasional, perusahaan nasional, perusahaan lokal.  Mentalitas bangsa terjajah telah membuat kita sulit bersikap egaliter,  pilihannya hanya arogan (buat yang merasa kelasnya lebih tinggi) atau  minder (buat yang tidak percaya diri).
Celakanya, dalam hal pengolahan ide kreatifpun kasusnya gak jauh  beda. Dikit-dikit menjurusnya ke stereotip: kalo ide yang global itu  begini, yang lokal itu begitu. Kita sendiri yang menyimpan ketakutan  dianggap melanggar adat jika tidak seperti kebanyakan orang. Kita  terbiasa bersikap inferior, sadar atau tidak sadar.
Memahami kultur yang akan kita angkat menjadi sebuah tema dalam  desain grafis adalah hal mutlak yang harus kita kuasai. Tanpa pemahaman  yang mendalam, maka proses untuk meng-akulturasikannya dengan aspek  global tidak saja bisa mengakibatkan salah persepsi tapi bahkan bisa  menjadi bumerang akibat penerimaan negatif target audiens.
Tantangan terbesarnya adalah bagaimana membawa muatan lokal yang  begitu unik, menarik agar bisa diterima oleh audiens yang bahkan tidak  mengerti secara jelas kultur budaya yang diangkatnya dalam sebuah karya  desain grafis.
Karena tidak semua kultur lokal bisa diangkat menjadi bahasa global,  ada kemungkinan kultur di suatu daerah bisa bertentangan dengan daerah  lain. Contoh kecil: ‘kates’ dalam bahasa Jawa berarti ‘pepaya’, tapi  dalam bahasa Sunda berarti ‘pisang’.
Bahkan, yang dianggap baik di suatu komunitas, bisa dianggap sangat  buruk di komunitas yang lain. Ketelanjangan di Papua dianggap biasa,  tapi jangan coba diterapkan di Aceh, misalnya. Pemahaman atas dua hal  ini akan banyak membantu tercapainya proses transformasi pesan yang  benar-benar pas pada audiensnya, sehingga tercipta ‘desain grafis plus’,  yang pengaruhnya melebar melewati batas-batas lokalitasnya sendiri.
Creativepreneur Sebagai Jalan Keluar
Memunculkan kemandirian saya pikir menjadi fokus penting untuk mulai  memberdayakan akademi dan industri desain grafis. Tanpa kemandirian,  takkan tumbuh bunga kreativitas yang bermekaran dari seluruh pelosok  negeri. Kemajuan takkan pernah dicapai hanya dengan menunggu, berharap  pihak lain (pemerintah, kampus, industri) akan datang memberi bantuan  untuk menyelesaikan persoalan.
No way! Tidak ada makan siang gratis. Upaya memperkenalkan  creativepreneur sebagai enterpreneur (kewirausahaan) yang berbasis  kreatif perlu terus dilakukan. Sosialisasi, seminar, workshop,  penerbitan buku Success Story, Creative Competition harus terus menerus  dilakukan dengan kualitas dan kuantitas yang makin progresif.
Budaya mayoritas masyarakat kita yang memilih hidup aman dengan  menjadi pegawai (negeri/swasta) memang akan mempengaruhi proses ini.  Inilah tantangannya, segala sesuatu ya memang akan diuji dulu di awal.  Berbekal kreativitas, sesungguhnya tak pernah ada yang tak mungkin  selama kita yakin dengan jalan yang kita tempuh.
Sejak awal kuliah, bahkan awal sekolah, anak didik diupayakan untuk dibimbing ke arah kemandirian. Di-encourage  untuk bikin bisnis sendiri di usia belasan, ditemani dengan kasih  sayang saat mengalami kegagalan, dihajar mentalnya agar tidak mudah  cengeng dan dibenturkan realitas bisnis yang keras agar kuat otot dan  insting bisnisnya. Alumnus perguruan tinggi harus di-upgrade dari  sekedar ready to work (menjadi pekerja profesional) menjadi ready to create (menjadi wirausaha).
Manfaatkan Keajaiban Creative Giving
Satu hal lagi yang saya ingin usulkan untuk lebih mengembangkan dunia  desain grafis adalah perlunya tokoh-tokoh, orang-orang pintar, praktisi  industri kreatif, young entrepeneurs, para mahasiswa desain grafis atau bahkan siapapun untuk mulai berbagi dengan cara-cara kreatif.
Jika kita hanya menunggu pemerintah atau institusi bisnis menyiapkan  infrastruktur untuk memajukan dan meningkatkan kecerdasan serta  kreativitas anak didik dan para pekerja kreatif kita, waktunya akan  terlalu lama dan belum tentu terlaksana. Terlalu banyak barrier, birokrasi dan tetek bengek aturan yang membuat upaya tersebut tidak bisa cepat terimplementasi.
Jadi memaksimalkan kekuatan ‘creative giving’ adalah cara  paling praktis yang kita bisa lakukan. Tak usah dengan hal-hal yang  besar, kita mulai dari hal-hal kecil dulu. Misalnya: jika kita punya  pengetahuan tentang sesuatu hal, segeralah di-share kepada  lebih banyak orang lewat blog, milis, facebook, website dan media-media  komunikasi gratisan lainnya. Ada yang jago komunikasi, tulislah tentang  pengetahuan dan pengalaman komunikasi Anda di dunia bisnis, gratiskan  ilmu Anda pada yang membutuhkan, Anda akan jadi makin ahli karena  bertambahnya ilmu bukannya makin berkurang.
Mental berkelimpahan, itulah yang kita perlukan. Bukan mental serba  kekurangan sehingga saat punya ilmu tertentu kita takut mengajarkannya  pada orang lain, takut suatu hari nanti jadi kompetitor, takut suatu  hari  nanti ilmunya habis dan kompetitornya lebih pintar dari dia.
Apapun yang kita punya dan sekiranya bermanfaat buat yang lain,  segeralah bagikan. Jangan ditunda. Semakin banyak yang bergabung dalam  gerakan ini, maka kesenjangan antara mahasiswa di pelosok dan pusat kota  akan segera terjembatani. Lanjutkan terus proses memberi, manfaat  terbesarnya akan kembali pada yang melakukan bukan hanya pada yang  menerima pemberian itu. Dan bayaran Tuhan atas kebaikan yang kita  lakukan selalu akan lebih banyak berlipat-lipat dan seringkali dari arah  yang tidak kita sangka-sangka.
Kita Mulai Saja dan Benahi Sambil Jalan
Apa yang saya sampaikan ini hanyalah upaya kecil saja. Hanya langkah  awal untuk kita semua agar mau dan mampu melihat potensi luar biasa yang  tersebar di seluruh muka bumi Indonesia ini, tidak saja dari alamnya  yang kaya raya tapi justru dari kreativitas masyarakatnya yang luar  biasa meskipun belum banyak tergali secara maksimal.
Meninggalkan kebiasaan lama memang tidak mudah. Selalu ada keraguan  ketika memutuskan untuk berubah: keluar dari zona kenyamanan yang biasa  kita nikmati setiap hari dan menuju wilayah baru yang asing dan tak  terpetakan. Jika keraguan atau ketakutan mulai menyerang, maka  tersenyumlah.
Masa depan dunia desain grafis kita akan ditentukan oleh sekelompok  minoritas yang ide-ide besarnya semula dianggap asing, tidak wajar  bahkan gila. Bukan oleh kerumunan banyak orang, bukan oleh sebuah tim  yang lengkap dan solid. Di kisah sukses manapun, cerita ini berulang.
Jadi jangan menunggu untuk memulai. Seorang bijak pernah berkata,  resiko terbesar dalam hidup adalah tidak pernah berani mengambil resiko.  Dan keteguhan atas sebuah visi di masa depan – kata Goethe – menyimpan  kekuatan, kejeniusan dan keajaibannya sendiri.
Saya percaya bahwa ide-ide lokal punya potensi kekuatan luar biasa,  justru karena kelokalannya. Ide kreatif yang berangkat dari lokalitas  itu jumlahnya jutaan, dan jika diolah maksimal akan menjelma jadi masterpiece  berkelas internasional. Keyakinan saya mengatakan industri desain  grafis dan industri yang berbasis kreativitas inilah yang akan menjadi  kiblat industri yang lain, untuk membuat dunia yang kita tinggali ini  menjadi sedikit lebih baik. Pintu untuk menuju ke sana telah terbuka  lebar, kita hanya perlu percaya dan merapikan barisan.
Jarak ribuan kilometer akan bisa ditempuh hanya dengan satu langkah, yang terus berulang. Mari kita melangkah sekarang.
Sumber image:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhMgg4Du9-WTvxyfT8pPrj_a7_A_2cLCqsvyzch68RYLIN-KexA901tZFEsBaBVW4QrDk3TbU4cm4GiceuevhvOmOdw2XcYBCnzX61gbjeH1UewBCTlhnnWs5ONzG_zUuxfTaIKANw5MNU/s400/1337+-+photo.jpg
 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmBFNdP5QtFLHluXPV_dlT1kIgz0wj19LgjL6fZoRHs87h5MTDCNIugXXM5XydaHeBxkk7HLdUeYjPuZnBsPm979u7N3YairPTMqQleKw47fBj8bmOwiY41kvnYy8D3JrGfAcHF8-HzRJe/s640/wedangan+002.jpg
Karya Ayip Budiman http://grafisosial.files.wordpress.com/2008/08/ina-ri-mendung-gagah.jpg
http://dgi-indonesia.com/wp-content/uploads/2010/02/aji-6-1-10.jpg
Tulisan saya ini juga dimuat di sini 










0 comments:
Posting Komentar