Footer 1

2008/10/22

Sebuah Cerita dari Pulau Timah

Bukan yang dipotret tapi siapa yang motret (Emangnya siapa? Ada deh.. Hallahh!!!)
Kebun sawit (sayang motretnya terlalu dekat)
Tambang timah di Pulau Bangka
Alam asri di Belinyu (sssttt... ada gadis manis terlihat dari belakang)
My favourite: lengkap banget menu makannya

Ya, ini pertama kali saya berkesempatan untuk menaruh hati dan menginjakkan kaki saya di Pulau Bangka. Pulau yang telah membesarkan calon istri saya sampai menjadi makhluk Tuhan yang begitu mengagumkan (buat saya tentunya). 

Setiap kali saya sampai di tempat yang saya belum pernah berkunjung sebelumnya, selalu ada rasa rasa ingin tahu dan berdebar-debar yang anehnya saya sangat nikmati, apa saja hal-hal baru yang akan saya alami di tempat ini. Bagaimana tanggapan keluarganya setelah melihat makhluk aneh kayak saya berkunjung ke rumah mereka. Mmmm... i feel so good to step in a new environments.

Di bandara Depati Amir, doi telah menunggu bersama saudara-saudaranya dengan senyum yang manis. Tidak. Jangan bayangkan ada spanduk Selamat Datang di Pulau Bangka, Mr. Blogger: tentu saja tak ada. Juga tak ada bacaan shalawat mengiringi saya turun dari pesawat. Atau kalungan bunga dan antrian tanda tangan. Tak ada kegempitaan itu: emangnya saya siapa? 

Hanya ada senyum yang manis dan genggaman tangan erat dari orang yang paling saya cintai. Itu sudah lebih dari cukup.

Lalu kami semobil meluncur ke Penagan, satu jam perjalanan dari Pangkal Pinang. Melewati kebun-kebun kelapa sawit, sahang (lada), karet dan beberapa tambang timah di kejauhan. Jika kita naik pesawat, tambang timah ini jelas terlihat dari udara. Di Penagan, saya menemui kenyataan yang menakjubkan. Belum ada listrik yang masuk ke desa itu. Ini serius, tapi jangan bayangkan bahwa ini jadi daerah yang gelap gulita. Kebutuhan listrik di-supply dari genset dan diesel yang masing-masing rumah punya. Dan hampir semua rumah terlihat cukup lengkap fasilitasnya: ada motor (banyak keluaran terbaru), mobil (beberapa keluaran terbaru) bahkan parabola nongkrong di setiap rumah. 

Mengapa daerah Penagan jadi nampak gemerlap? Karena timah. 

Sebagian besar penduduknya bekerja di bidang ini, dengan pendapatan yang lumayan besar untuk ukuran ekonomi masyarakat kebanyakan. Para penambang timah di Bangka biasanya dibagi 2 macam: yang beroperasi secara resmi dengan surat dari pemerintah tapi ada juga yang tanpa ijin alias kucing-kucingan. Tapi kabarnya, hukum sudah mulai ditegakkan dengan tegas menyangkut timah ini.

Pada suratnya untuk Lord Minto saat berada di pulau Bangka, Thomas Stanford Raffles berkata,"Saya telah menemukan Bangka, sebuah pulau yang akan menjadi penghasil timah terbesar di dunia." Saya tidak tahu apakah saat ini Bangka jadi penghasil timah terbesar atau tidak, tapi kata-kata Raffles beberapa abad yang lalu masih terbukti benar: timah telah menghidupkan ekonomi rakyat Bangka. 

Alhamdulillah saya disambut sangat hangat di rumah calon mertua. Tidak screw up kayak di film Meet The Parents. A nice family, sebuah keluarga yang sangat menarik. Yang begitu ramah meskipun saya hampir sama sekali tak paham bahasa daerahnya. Jika berbicara dalam bahasa Bangka, saya hanya tekun mendengarkan dengan hati. Tak paham artinya tapi saya coba serap ketulusannya dengan hati. Jika saya lihat yang lain tertawa, kegembiraan itu menular. Sayapun ikut terbahak tanpa tahu artinya. Saya hanya percaya bahwa perbincangan itu lucu. Kebetulan saya juga banyak main dengan Kholil, adiknya yang terkecil. Dia berbicara dengan bahasa Bangka dan saya pake bahasa Indoenesia. Saya tak paham artinya, diapun mungkin tak paham maksud saya. Tapi kita bisa ngobrol dan bermain sangat akrab seolah sudah lama kenal dan terus tertawa dalam kegembiraan yang utuh. Main mobil-mobilan, menggambar, mewarnai. Apa saja.

Ketika kita saling percaya, komunikasi akan mudah terjalin. Bukan dengan kata-kata, tapi dengan bahasa jiwa. Atau bahasa buana, kata Paulo Coelho di buku Alchemist.

Hari pertama saya lewatkan dengan menghadiri pernikahan adiknya di Simpang Katis dan sayapun dikenalkan dengan saudara dan handai taulan. Sekali lagi, senyum tulus saya cukup membantu untuk mencairkan komunikasi. Saya tak sempat belajar bahasa Bangka sebelum berangkat. Hari kedua barulah ada waktu yang cukup untuk jalan-jalan: ke Gramedia, beli oleh-oleh, ke Belinyu, perjalanan yang indah seharian. Dari jam 9 pagi sampai balik jam 8 malam.
Besok paginya, subuh-subuh saya dan Supie bersama adiknya harus segera pamit ke Jogja karena flight Lion Air jam 06.30 pagi. Tentulah masih belum cukup waktu untuk menikmati keindahan di Bangka: ini seperti undangan untuk berkunjung lagi lain waktu. 

Kami pun meninggalkan Bangka bersama pesawat yang mengangkasa, dengan hati penuh syukur. Di bawah, nampak hijau kebun sawit, hutan, rumah-rumah dan tambang timah menghampar mengantarkan kami semakin tinggi menuju 2700 kaki dari permukaan laut. Yang tertinggal adalah rasa damai dan kangen yang menyergap untuk menyapa lagi pulau timah ini lain waktu. Di seberang lautan sana telah menunggu Jogja - kampung halaman saya yang kedua - dengan senyum ramahnya mengiming-imingi kopi jos, sop cak nur, nasi kucing dan hijau sawah menghampar dengan bunyi kodok ngorek setiap malam selepas hujan.
Dimanapun - berbekal hati yang penuh syukur - hidup ini akan selalu sangat indah untuk dijalani. 

Saya mengajak Anda untuk bergabung dalam barisan orang-orang yang bersyukur dan menjalani hari-hari kita dengan penuh kedamaian. Semoga ada lagi cerita bercahaya yang saya bisa sajikan esok hari nanti.

0 comments: