Hari ini 17 Agustus 2008. Tapi perasaan saya berkecamuk dahsyat. Ada beberapa kejadian yang saya alami beberapa hari ini menjelang detik-detik proklamasi.
Sehari menjelang peringatan kemerdekaan, di jalan raya Klaten menuju Solo saya melihat seorang bapak tua berpakaian hijau tua ala pejuang kemerdekaan berseragam lengkap dengan atributnya serta topi kain berdiri tegak di tengah jalan menghormat setiap mobil yang melewatinya. Begitu terus menerus, dengan sikap tegap dan serius.
Dan hari ini menjelang maghrib, saya melihat seorang bapak lagi berpakaian prajurit kemerdekaan warna krem sedang duduk di pinggir trotoar Jl. Serangan, tatapannya kosong ke depan. Mukanya lusuh seperti bajunya. Saat saya melewatinya, matanya seolah berkata: apa yang telah kau lakukan pada negeri yang dulu telah kuperjuangkan untuk merdeka? Saya - anak muda setengah tua ini - merasa jadi tertuduh. Serba salah di depan mata kosong mantan pejuang itu.
Menjelang jam 12 tengah malam di tengah jalan Godean, seseorang membawa tongkat panjang. Di ujung atasnya terlilit bendera merah putih yang terbakar sebagian, hangus tinggal setengah. Orang itu rambutnya gondrong. Membawa bendera seolah memegang panji kehormatan, berjalan tegap seperti komandan pasukan membelah jalan di tengah malam. Mobil dan motor bersliweran di kanan kirinya.
Entahlah, makin tambah tahun saya merasa bangsa ini kok makin sakit. Mungkin memang tidak semua, tapi satu hal yang saya percaya: kita begitu abai pada para pahlawan itu. Kita tak lagi memperhatikan mereka. Kita merasa bahwa kemerdekaan ini sudah take it for granted: sejak lahir, generasi pasca 1945 memang rasanya langsung merdeka.
Padahal kakek nenek kita bertaruh nyawa. Yang gugur sebagian jadi pahlawan, tapi banyak yang lain tak pernah tercatat di sejarah, kubunyapun tak jelas dimana. Yang masih hidup ternyata lebih banyak tersia-sia. Sehingga para pemenang perang kemerdekaan itu harus kalah saat melawan nasib, saat melawan penindasan dan ketidakadilan saudara-saudaranya sebangsa setanah air. Sehingga mereka merindukan lagi keindahan masa revolusi fisik itu. Mereka berseragam lagi, mereka mencoba melawan gerak jaman. Tapi mereka tetap kalah, kita generasi sekarang menjauhi mereka yang begitu mencintai tanah ini dan dengan ringan menyebut mereka yang tindakannya aneh-aneh itu sebagai terganggu ingatan alias kurang waras.
Hari ini saya ingin menyingkir bersama orang-orang yang dipinggirkan laju pembangunan itu. Yang merasa bahwa Belanda akan datang lagi sehingga bersiaga membawa tongkat panjang laksana bambu runcing untuk melawan. Yang merasa bahwa Bung Karno akan datang memasuki kota bersama Jenderal Sudirman mengendarai mobil sehingga terus menghormat setiap mobil yang dilewatinya. Yang merasa setelah merdeka kok malah menderita.
Hari ini saya ingin meneriakkan merdeka sekeras-kerasnya, dengan tangan mengepal meninju langit. Tapi saya tidak mampu. Saya masih terbayang-bayang: para pahlawan yang kesepian di dunianya sendiri itu, apakah mereka mau memaafkan kita semua pada 17 Agustus 2008 ini? Apa yang kita bisa lakukan untuk membuat mereka - meskipun sejenak - berbahagia atas kemerdekaan yang telah mereka perjuangkan sepenuh jiwa itu?
Jika kemerdekaan yang kita rayakan justru menyingkirkan para pahlawan sesungguhnya, saya akan bertanya dalam sunyi: sudah merdekakah saya? Sudah merdekakah bangsa ini?
Sehari menjelang peringatan kemerdekaan, di jalan raya Klaten menuju Solo saya melihat seorang bapak tua berpakaian hijau tua ala pejuang kemerdekaan berseragam lengkap dengan atributnya serta topi kain berdiri tegak di tengah jalan menghormat setiap mobil yang melewatinya. Begitu terus menerus, dengan sikap tegap dan serius.
Dan hari ini menjelang maghrib, saya melihat seorang bapak lagi berpakaian prajurit kemerdekaan warna krem sedang duduk di pinggir trotoar Jl. Serangan, tatapannya kosong ke depan. Mukanya lusuh seperti bajunya. Saat saya melewatinya, matanya seolah berkata: apa yang telah kau lakukan pada negeri yang dulu telah kuperjuangkan untuk merdeka? Saya - anak muda setengah tua ini - merasa jadi tertuduh. Serba salah di depan mata kosong mantan pejuang itu.
Menjelang jam 12 tengah malam di tengah jalan Godean, seseorang membawa tongkat panjang. Di ujung atasnya terlilit bendera merah putih yang terbakar sebagian, hangus tinggal setengah. Orang itu rambutnya gondrong. Membawa bendera seolah memegang panji kehormatan, berjalan tegap seperti komandan pasukan membelah jalan di tengah malam. Mobil dan motor bersliweran di kanan kirinya.
Entahlah, makin tambah tahun saya merasa bangsa ini kok makin sakit. Mungkin memang tidak semua, tapi satu hal yang saya percaya: kita begitu abai pada para pahlawan itu. Kita tak lagi memperhatikan mereka. Kita merasa bahwa kemerdekaan ini sudah take it for granted: sejak lahir, generasi pasca 1945 memang rasanya langsung merdeka.
Padahal kakek nenek kita bertaruh nyawa. Yang gugur sebagian jadi pahlawan, tapi banyak yang lain tak pernah tercatat di sejarah, kubunyapun tak jelas dimana. Yang masih hidup ternyata lebih banyak tersia-sia. Sehingga para pemenang perang kemerdekaan itu harus kalah saat melawan nasib, saat melawan penindasan dan ketidakadilan saudara-saudaranya sebangsa setanah air. Sehingga mereka merindukan lagi keindahan masa revolusi fisik itu. Mereka berseragam lagi, mereka mencoba melawan gerak jaman. Tapi mereka tetap kalah, kita generasi sekarang menjauhi mereka yang begitu mencintai tanah ini dan dengan ringan menyebut mereka yang tindakannya aneh-aneh itu sebagai terganggu ingatan alias kurang waras.
Hari ini saya ingin menyingkir bersama orang-orang yang dipinggirkan laju pembangunan itu. Yang merasa bahwa Belanda akan datang lagi sehingga bersiaga membawa tongkat panjang laksana bambu runcing untuk melawan. Yang merasa bahwa Bung Karno akan datang memasuki kota bersama Jenderal Sudirman mengendarai mobil sehingga terus menghormat setiap mobil yang dilewatinya. Yang merasa setelah merdeka kok malah menderita.
Hari ini saya ingin meneriakkan merdeka sekeras-kerasnya, dengan tangan mengepal meninju langit. Tapi saya tidak mampu. Saya masih terbayang-bayang: para pahlawan yang kesepian di dunianya sendiri itu, apakah mereka mau memaafkan kita semua pada 17 Agustus 2008 ini? Apa yang kita bisa lakukan untuk membuat mereka - meskipun sejenak - berbahagia atas kemerdekaan yang telah mereka perjuangkan sepenuh jiwa itu?
Jika kemerdekaan yang kita rayakan justru menyingkirkan para pahlawan sesungguhnya, saya akan bertanya dalam sunyi: sudah merdekakah saya? Sudah merdekakah bangsa ini?
(Image pinjem dari http://im-mc.blogs.friendster.com/semmy_blog/images/pejuang.jpg)
0 comments:
Posting Komentar