Footer 1

2010/10/24

Menikmati Godaan Tuhan

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 24 Oktober 2010
Resensi Buku Tuhan Sang Penggoda
Penulis: M. Arief Budiman
Penerbit Galang Press
Cetakan Pertama 2010, 298 Halaman
Harga Rp 46.500,-
''TUHAN aku ingin berbicara dengan Engkau dalam suasana bebas. Aku percaya bahwa Engkau tidak hanya benci pada ucapan-ucapan munafik tapi juga benci pada pikiran-pikiran munafik, yaitu pikiran-pikiran yang  tidak berani memikirkan pikiran yang timbul dalam pikirannya atau pikiran-pikiran yang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri.''

Itulah setangkup kegelisahan Ahmad Wahib dalam Catatan Harian Pergolakan Pemikiran Islam tertanggal, 9 Juni 1969 yang bertudung Tuhan, Maklumilah Aku. Dalam larik-larik kalimat itu jelas membekas gurat-gurat kegalauan seorang pemuda kelahiran Madura terhadap nalar ketuhanan. Wahib tenggelam dalam sebuah renungan kelam yang tidak sembarang orang berani menyelam ke sana.

Ritme kegalauan tersebut serasa dilantangkan kembali oleh Arief Budiman dalam Tuhan Sang Penggoda. Memang, sejak membuka halaman pertama buku itu, kesan Wahibian sama sekali tak bisa dielakkan. Roh kemerdekaan berpikir yang diletupkan Wahib pada era 1970-an benar-benar merasuki logika berpikir Budiman.

Hanya jika dibandingkan dengan catatan harian Ahmad Wahib, konstruksi logika berpikir Budiman dalam buku tersebut masih kurang sistematik. Setidaknya itu bisa diurai dari latar keilmuan dan faktor lingkungan. Logika berpikir Budiman diasah di lingkungan akademik lnstitut Seni Indonesia (ISI) sehingga dia bisa menjaring serangkum peristiwa dengan cara jenaka.

Tapi, justru di situlah kelebihan buku Budiman. Dia tidak terjebak pada formalisme doktrinal serta mampu mengesampingkan batas-batas ideologis dan akademis. Sehingga, catatannya - meski meruang-mewaktu - serasa bernyawa, segar, selalu hidup dan berdialektika dengan pembaca di ruang-waktuyang lain.

Apalagi Budiman kerap menggunakan pronomina saya. Dengan begitu, dia telah menerabas rentang psikologis pembaca buku. Walau semula saya merujuk kepada Budiman, saya akan merepresentasikan eksistensi masing-masing pembaca sehingga seolah-olah pembaca terlibat dalam setiap peristiwa yang berkelebat dan mengalami langsung perjalanan rohani tempat kesadaran nurani yang paling hakiki menemukan kesejatian makna. Setiap pembaca adalah saya yang senantiasa bergerilya dalam rimba belantara kehidupan. Dengan begini, ketika membaca Tuhan Sang Penggoda, penting berintrospeksi dan mengevaluasi diri pun amat lempang.

Buku itu merupakan cermin pergulatan hidup Budiman yang terserak dalam rentang waktu 11 tahun, 1998-2009. Waktu yang terasa tidak terlampau panjang sebenarnya untuk menggambarkan secara utuh pola konstruktif kedirian. Namun, dengan kejelian ekstrem, dia sanggup merekam puzzle-puzzle pemikiran atas sengkarut nomena dan fenomena yang dialami saban hari.

Hanya, puzzle pemikiran itu tak disusun secara kronologis, tetapi tematis dengan empat klusterisasi besar: Mencari Jalan Pulang, Menuju Batas Langit, Mencari Rumah Tuhan dan Mengais Remah Kehidupan.

Masing-masing kluster berbicara tentang satu bahasan khusus sehingga satu sama lain dihubungkan seutas benang merah yang membentuk gambaran besar mengenai upaya serius untuk mewujudkan impian dalam kehidupan. Budiman merentangkan impian itu sepanjang jangkauan. Namun, seperti lazimnya mimpi, tak semua mudah dinyata.

Budiman mengobarkan semangat alang-alang. Sebagian besar catatan pemikirannya dilandasi optimisme yang begitu teguh. Nyali yang kukuh. Simak selarik catatan tersebut: ''Tuhan, Engkau baik hati meskipun kadang kurang ajar. Saya tahu Engkau tidak akan menghadirkan keajaiban pada hamba-Mu yang lemah. Karena itu, saya tidak menyerah.'' (him 92).

Begitulah kegupdahan optimistis yang tanpa malu-malu diungkap secara telanjang. Budiman mengemas kegundahan yang bertalu-talu menjadi sebongkah rindu yang begitu menggebu-gebu kepada Tuhan. Persoalan ketuhanan selama ini yang diasumsikan rumit dan berbelit-belit di tangan ajaib Budiman berubah menjadi hal yang mudah seperti air yang mengalir dari dataran tinggi menuju dataran rendah.

Hal lain yang tak kalah dilantangkan Budiman terutama terkait dengan otokritik sosial. Budiman lihai membidik peristiwa anomali sosial secara kocak. Slengekan. Tapi, malah menyemai benih-benih edukatif secara substantial. Laiknya melakukan tembakan ribon, kesalahan seolah ditimpakan liyan, namun justru kembali tertuju kepada diri.

Lihat misalnya, kegelisahan Budiman terhadap budaya instant televisi yang telah meracuni karakter anak-anak: ''Bahwa lingkungan dan media televisi telah mengajari mereka secara otomatis tanpa disadari. Terkadang merasa sebagai Sun Goku, Ksatria Baja Hitam, Saras 008, atau yang lain. Dan, anak-anak hanyalah sekedar kaca jernih pemantul realitas.'' (him. 255)

Menyimak aliran catatan Budiman dalam buku ini kita serasa dituntun untuk mengeja kembali kenaifan, memakzulkan kealpaan, mengevaluasi diri seraya berbenah dan berubah. Masih terbuka kesempatan lempang untuk menginsyafi kekeliruan kembali mengangsur perubahan yang lebih baik. Dan, Budiman telah menggarisbawahi bahwa setiap peristiwayangterjadi, betapa pun buruknya, mesti disyukuri dan diterima dengan besar hati. Sebab, pada akhirnya akan ditemui sintesis betapa Tuhan sebenarnya hanya menggoda.

Rasa-rasanya saat membaca Tuhan Sang Penggoda, kita tersundut pada sebuah keniscayaan sebagai searing banksia yang terus berkelana, mengembara dalam alunan simfoni merdu alam raga demi mengulik misteri kehidupan.

Dan, kita patut angkat topi tinggi-tinggi alas kebersahajaan Budiman memandu kita melakukan ziarah spiritual menikmati godaan Tuhan yang sangat mengasyikkan. Sungguh! (*)

Peresensi:
Saiful Amin Ghofur
Redaktur Jurnal Millah MSI UII
Jogjakarta

0 comments: