Footer 1

2007/06/08

Kita Tidak Perlu Berkorban

Untuk sukses dan bahagia, atau dalam level yang lebih rendah misalnya kaya raya - menurut saya - kita tidak perlu mengorbankan apapun. Tidak perlu berkorban uang, waktu apalagi perasaan. Tidak perlu ngoyo alias membanting tulang. Tidak perlu menderita, tidak perlu susah hati, tidak perlu kecapekan setengah mati.

Ini serius. Dan mudah sekali penerapannya. Kita tidak perlu berkorban atau memposisikan diri sebagai korban. Karena rasanya pasti berat sekali di hati, atau lebih repot lagi kita jadi merasa sok pahlawan. Kata beberapa buku self help, konsep untuk mengawali sukses adalah berpura-pura sukses. Saya tidak mengatakan salah, tapi - sekali lagi menurut saya - kurang pas. Karena kita tidak perlu berpura-pura sukses. Berpura-pura bahagia. Berpura-pura apapun agar terlihat sempurna hidupnya.

Ini yang saya yakini: kita ini diciptakan Allah sudah sukses dari sejak lahir. Tak peduli anak milyarder atau anak gelandangan, seorang bayi bisa tertawa bahagia. Ketika kita memberikan sebagian harta titipan kita pada saudara kita yang lebih membutuhkan: itu bukan berkorban. Itu kewajaran. Tidak perlu dimaknai berlebihan. Ada konsep berbagi yang sangat indah: saat kesulitan datang dan kita memerlukan pertolongan Allah, kita harus menolong saudara kita yang lebih sulit hidupnya. Mendahulukan kepentingan orang lain saat kita juga perlu: itu bukan berkorban. Itu hal biasa saja, memang hukum alamnya begitu. Kita nikmati saja.

Kita sudah bahagia kemarin. Kita bahagia hari ini. Besokpun kita tetap bahagia. Karena kebahagiaan tidak tergantung pada sedih atau senang. Kebahagiaan tidak tergantung pada hal-hal apapun di luar diri kita. Kebahagiaan ada di dalam hati dan 100% akan mengikuti keinginan kita. Dalam situasi bencana terdahsyatpun, seseorang bisa bahagia saat diberikan kesempatan hidup meskipun luka-luka.

Saudaraku yang sekarang berada di rumah sakit menunggu kesembuhan datang, bersyukurlah sekarang jangan menunggu nanti saat pulang ke rumah. Saudaraku yang dijauhi harta benda sampai susah makan, bersyukurlah sekarang jangan menunggu kenyang. Saudaraku yang dikejar-kejar penagih hutang sampai susah tidur, bersyukurlah sekarang jangan menunggu pelunasan. Saudaraku yang berada di balik terali besi karena difitnah, bersyukurlah sekarang jangan menunggu saat dibebaskan. Jangan boroskan sedetikpun hidup kita untuk tidak bersyukur.

Syukur adalah pintu bahagia. Bahagia tak butuh syarat-syarat. Tak butuh apapun. Hidup kita ini punya Allah, kita tak akan rugi apa-apa. Berikan seluruh hidup kita pada Allah, kita tak rugi apa-apa. Matipun tak ada yang kita bawa. Jasad kita akan jadi tanah untuk akhirnya sirna. Buat apa merasa kehilangan karena hakikatnya kita memang tidak pernah memiliki apapun. Apa saja yang sedang dipercayakan Allah pada kita: kita syukuri sepenuhnya. Kita nikmati kebahagiaannya.

Yang mengajari saya nilai-nilai ini adalah seorang anak berumur sekitar 10 tahun namanya Puguh. Kisahnya pernah ditayangkan di Trans TV di acara Kejamnya Dunia, siang hari 7 Juni kemarin. Sayangnya saya cari infonya di internet belum ketemu. Di situs Trans TVpun gak ada.

Dia menjalani hidupnya dengan senyum, saat diwawancara mukanya yang tampan bercahaya, seringkali tertawa memperlihatkan gigi putihnya yang berderet rapi. Hidup di desa dalam keluarga yang kekurangan, Puguh kecil langsung belajar jalan. Dia tidak pernah melewati fase merangkak. Sekarang dia menggembala sapi dan menjemur beras sendiri. Pake baju sendiri. Makan sendiri. Karena di rumahnya belum ada pancuran air, saat ini dia belum bisa mandi sendiri. Karena dia masih harus belajar memegang gayung.

Sedangkan Allah menakdirkannya hidup tanpa dua tangan sejak lahir.

Tapi Puguh bahagia, bukan pura-pura bahagia. Sayapun menangis. Sungguh-sungguh menangis.

0 comments: