Sprain ankle adalah kondisi terjadinya penguluran dan kerobekan pada ligamentum lateral compleks. Hal ini disebabkan oleh adanya gaya inversi dan plantar fleksi yang tiba-tiba saat kaki tidak menumpu sempurna pada lantai/ tanah, dimana umumnya terjad pada permukaan lantai/ tanah yang tidak rata. Sprain ankle memiliki derajat sprain sesuai tingkat kerusakannya. Derajat I sprain ankle umumnya terjadi penguluran pada ligamentum talofibular anterior sehingga pasien mengalami nyeri yang ringan dan sedikit bengkak. Sedangkan derajat II dan III sprain ankle, kerobekan parsial dan komplet telah terjadi pada ligamentum lateral compleks ankle (ligamentum talofibular anterior, ligamentum calcaneofibular, ligamentum calcaneocuboideum, ligamentum talocalcaneus dan ligamentum talofibular posterior). Pada derajat II dan III, pasien mengalami nyeri hebat (aktualitas tinggi), bengkak dan penurunan fungsi ankle (gangguan berjalan), sehingga umumnya pasien langsung berobat ke dokter/ fisioterapi untuk mendapatkan terapi. Terapi PRICE sering digunakan pada tahap akut sprain ankle, yang kemudian diikuti dengan program exercise untuk memperkuat stabilitas sendi ankle.
Pada umumnya, penderita khususnya olahragawan yang mengalami sprain ankle derajat I tidak begitu memperhatikan kondisi yang dialaminya karena hanya merasa nyeri ringan dan sedikit bengkak sehingga tidak dibawa ke dokter/ fisioterapi. Karena kondisinya tidak diperhatikan, mereka tetap melakukan aktivitas olahraga sehingga dapat terjadi penguluran yang berulang pada ligamentum talofibular anterior. Penguluran yang berulang-ulang akan menimbulkan nyeri yang meningkat pada sisi lateral ankle, biasanya bersifat intermittent atau kadang-kadang konstan, dan cenderung meningkat jika melakukan aktivitas olahraga. Kondisi ini menjadi kronik sprain ankle.
Pada kronik sprain ankle, akan terjadi kerusakan struktur jaringan. Seperti pada ligamentum akan terjadi kerobekan, yang dapat merangsang serabut saraf afferen bermyelin tipis (serabut saraf A delta dan tipe C). Impuls tersebut dibawa ke ganglia akar saraf dorsalis dan merangsang produksi “P” substance yang memicu terjadinya reaksi radang. Kemudian impuls tersebut dibawa ke cornu dorsalis medula spinalis dan dikirim ke level SSP yang lebih tinggi melalui traktus spinothalamicus. Pada level SSP yang lebih tinggi (cortex sensorik, hipothalamus & limbik system) impuls tersebut mengalami proses interaksi yang kemungkinan menghasilkan suatu perasaan subyektif yang dikenal dengan persepsi nyeri. Otot juga ikut terulur lalu akan menjadi spasme, timbul abnormal crosslink yang dapat mengganggu system metabolisme dan menimbulkan nyeri. Pada pembuluh darah akan terjadi haemorhage dan dilatasi yang dapat meningkatkan perlepasan zat-zat iritan yang akan meningkatkan sensitivitas nocisensorik sehingga akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada ujung-ujung saraf pada jaringan yang mengalami kerusakan akan mengeluarkan zat-zat iritan berupa prostaglandin, bradikinin dan histamine yang akan merangsang saraf afferent A delta dan C yang dapat meningkatkan sensitivitas nocisensorik sehingga timbul nyeri. Penderita biasanya menghentikan aktivitas olahraganya karena nyeri yang meningkat. Dengan demikian, problematik utama pada kronik sprain ankle adalah peningkatan intensitas nyeri yang bisa menyebabkan gangguan gerak dan fungsi ankle.
Pemeriksaan yang mengarah riwayat penyakit sebelumnya dan tes-tes spesifik pada sprain ankle. Pemilihan intervensi yang tepat sesuai dengan aktualitas dan stadium penyakit, kedalaman jaringan, dan patologi jaringan sangat diperlukan.
Pemilihan Ultrasound sebagai modalitas utama pada kondisi kronik sprain ankle adalah tepat karena efek mekanik dan terapeutik yang dihasilkan oleh Ultrasound. Ultrasound merupakan modalitas fisioterapi yang menghasilkan gelombang suara dengan frekeunsi antara 1 – 3 MHz. Ultrasound dapat menghasilkan efek mekanik, termal dan microtissue damage. Adanya efek mekanik dan ultrasound menghasilkan panas dijaringan sehingga terjadi peningkatan metabolisme dan sirkulasi darah. Disamping itu, efek mekanik yang continue dapat menghasilkan microtissue damage didalam jaringan sehingga memicu terjadinya reaksi radang baru secara fisiologis yang akhirnya terjadi proses penyembuhan jaringan.
Elastic bandage merupakan salah satu stabilisasi pasif yang digunakan pada penderita dengan gangguan pada sendi ankle. Pemakaian Elastic bandage telah diketahui manfaatnya untuk mencegah terjadinya cidera dan juga untuk menjaga stabilitas sendi ankle, karena dengan pemakaian elastic bandage tersebut maka ankle tersangga dengan baik sehingga gerakan-gerakan yang diinginkan atau gerakan-gerakan ekstrim dapat dihindari. Keluhan nyeri yang terjadi pada kondisi sprain ankle dapat dikurangi denga pemakaian Elastic bandage, hal ini disebabkan karena Elastic bandage akan menjaga stabilitas sendi ankle sehingga iritasi yang berulang-ulang akan dapat dicegah pada saat melakukan gerakan pada sendi ankle. Elastic bandage juga berfungsi sebagai support dimana otot-otot terfiksir dengan merata sehingga memungkinkan pemblokiran gangguan metabolik pada saat peregangan jaringan.
Selain itu, Elastic Bandage juga berperan dalam modulasi nyeri pada level sentral yang melibatkan sistim limbic sebagai pusat emosional. Hal ini dapat terjadi karena dengan pemakaian elastic bandage pada penderita sprain ankle, secara psikologis dapat mempengaruhi emosional penderita, dimana penderita sudah merasa aman dengan menggunakan elastic bandage sehingga penderita dapat melakukan aktifitas kembali tanpa merasa takut, dan keadaan ini secara temporer dapat memblokade impuls nyeri dikornu posterior medulla spinalis. Dengan adanya fiksasi atau stabilisasi pasif memungkinkan untuk diberikan latihan stabilisasi ankle.
Latihan stabilisasi ankle dilakukan dengan kontraksi otot statik (isometrik). Karena ini akan meberikan suatu reaksi tidak terjadi perubahan panjang dari otot, tonus otot meningkat. Penerapan latihan stabilisasi dapat membantu melindungi serta memperbaiki problem yang muncul akibat instabilitas atau nyeri yang diakibatkan oleh kelemahan. Nyeri dan ketidakmampuan akan bertambah dengan munculnya kelemahan otot. Otot-otot ini merupakan komponen yang penting dalam membantu menstabilisir persendian, sedang kelemahan otot-otot dapat mengakibatkan semakin parahnya cidera. Dengan latihan stabilisasi akan terjadi penguatan otot-otot sehingga dapat membantu serta memperbaiki problem yang muncul akibat instabilitas atau nyeri yang diakibatkan oleh kelemahan. Akibat dari latihan stabilisasi, maka otot-otot stabilisator aktif pada ankle dapat memperbaiki kekuatan, ukuran serta mencegah peradangan. Pengaruh dari latihan stabilisasi juga akan meningkatkan peredaran darah pada persendian dan nutrisi tulang disamping karena memperbaiki kekuatan dan fungsi resiko terluka atau cidera kronik pada persendian. Latihan stabilisasi juga memperbaiki system peredaran darah oleh adanya pumping sehingga mengatasi terjadinya pembengkakan yang dapat mengganggu gerak dan fungsi sendi dan mampu mengurangi nyeri pada level sensorik. Dengan berkurangnya nyeri akan menimbulkan peningkatan kemampuan menyangga beban tubuh sehingga meningkatkan kemampuan fungsional.
Sumber: http://physio.esaunggul.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=119:sprain-ankle&catid=92:fisioterapi-muskuloskeletal&Itemid=80
0 comments:
Posting Komentar