Footer 1

2012/04/16

FISIOTERAPI PADA PENDERITA LBP AKIBAT SPONDYLOSIS


Jumat, 17 Desember 2010

BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Daerah lumbal terdiri atas L1 sampai L5 dan L5 – S1 yang paling besar menerima beban atau berat tubuh sehingga daerah lumbal menerima gaya dan stress mekanikal paling besar sepanjang vertebra (Bellenir K, 2008). Menurut The Healthy Back Institute (2010), daerah lumbal merupakan daerah vertebra yang sangat peka terhadap terjadinya nyeri pinggang karena daerah lumbal paling besar menerima beban saat tubuh bergerak dan saat menumpuh berat badan. Disamping itu, gerakan membawa atau mengangkat objek yang sangat berat biasanya dapat menyebabkan terjadinya cidera pada lumbar spine.

Nyeri pinggang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi. Kondisi-kondisi yang umumnya menyebabkan nyeri pinggang adalah strain lumbar, iritasi saraf, radiculopathy lumbar, gangguan pada tulang (stenosis spinal, spondylolisthesis), kondisi-kondisi sendi dan tulang (spondylosis), dan kondisi-kondisi tulang kongenital (spina bifida dan skoliosis) (William C. Shiel Jr, 2009). Diantara kondisi tersebut, telah diobservasi bahwa sekitar 90% pasien nyeri pinggang mengalami spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009). Sedangkan menurut Kelly Redden (2009), nyeri pinggang dibagi atas 2 bagian yaitu mekanikal nyeri pinggang dan non-mekanikal nyeri pinggang. Mekanikal nyeri pinggang terdiri dari lumbar strain/sprain, spondylosis lumbal, piriformis syndrome, herniasi diskus, spinal stenosis, fraktur kompresi osteoporotik, spondylolisthesis, fraktur traumatik, dan penyakit kongenital (skoliosis). Diantara kondisi tersebut, spondylosis lumbal menduduki peringkat kedua dengan persentase 10% dari mekanikal nyeri pinggang sedangkan lumbar strain/sprain memiliki persentase terbanyak yaitu 70% dari mekanikal nyeri pinggang.
Spondylosis lumbal merupakan penyakit degeneratif pada corpus vertebra atau diskus intervertebralis. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita. Faktor utama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan spondylosis lumbal adalah usia, obesitas, duduk dalam waktu yang lama dan kebiasaan postur yang jelek. Pada faktor usia menunjukkan bahwa kondisi ini banyak dialami oleh orang yang berusia 40 tahun keatas. Faktor obesitas juga berperan dalam menyebabkan perkembangan spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009).
Spondylosis lumbal merupakan kelompok kondisi Osteoarthritis yang menyebabkan perubahan degeneratif pada intervertebral joint dan apophyseal joint (facet joint). Kondisi ini terjadi pada usia 30 – 45 tahun namun paling banyak terjadi pada usia 45 tahun dan lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki. Sedangkan faktor resiko terjadinya spondylosis lumbar adalah faktor kebiasaan postur yang jelek, stress mekanikal dalam aktivitas pekerjaan, dan tipe tubuh. Perubahan degeneratif pada lumbar dapat bersifat asimptomatik (tanpa gejala) dan simptomatik (muncul gejala/keluhan). Gejala yang sering muncul adalah nyeri pinggang, spasme otot, dan keterbatasan gerak kesegala arah (Ann Thomson, 1991).
Problem nyeri, spasme dan keterbatasan gerak dapat ditangani dengan intervensi fisioterapi. Berbagai modalitas dapat digunakan untuk mengatasi problem tersebut. Pemberian Short Wave Diathermy yang menghasilkan efek thermal dapat menurunkan nyeri dan spasme otot. Adanya efek panas yang sedatif dapat merangsang ujung saraf sensorik dan proprioseptor sehingga nyeri dan spasme otot lambat laun akan menurun (Hilary Wadsworth, 1988). Kemudian pemberian William Flexion Exercise dapat menghasilkan peningkatan stabilitas lumbal dan menambah luas gerak sendi pada lumbal melalui peningkatan fleksibilitas dan elastisitas otot (Paul Hooper, 1999). Kondisi ini juga banyak ditemukan disetiap Rumah Sakit Kota Makassar dan di RSUD. Syekh Yusuf Gowa. Berdasarkan pengamatan peneliti, beberapa pasien yang berusia 40 tahun keatas dan umumnya wanita mengalami kondisi spondylosis lumbal dengan problem nyeri pinggang serta gangguan gerak dan fungsi pada lumbal. Keadaan ini biasanya membatasi aktivitas kegiatan sehari-hari penderita dan setelah beberapa kali ditangani oleh fisioterapi kondisinya menjadi membaik. Hal ini yang mendorong peneliti tertarik mengambil topik penelitian ini.


A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini yaitu “Bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada kondisi spondylosis lumbal di RSUD. Syekh Yusuf Gowa ?”.

B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada gangguan fungsional lumbal akibat spondylosis lumbal di RSUD. Syekh Yusuf Gowa.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui perubahan nilai VAS (intensitas nyeri) setelah diberikan Short Wave Diathermy (SWD) dan William Flexion Exercise.
b. Untuk mengetahui perubahan fleksibilitas setelah diberikan Short Wave Diathermy (SWD) dan William Flexion Exercise.


C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Ilmiah
a. Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam penatalaksanaan kasus spondylosis lumbal dengan menggunakan SWD dan William Flexion Exercise.
b. Sebagai bahan bacaan dan masukan bagi para mahasiswa, staf pengajar dan lainnya yang ingin membuat tugas, makalah atau menyusun diktat.
c. Sebagai bahan referensi atau rujukan bagi mahasiswa dan staf pengajar dalam melakukan penelitian lanjut.
2. Manfaat Praktis
Sebagai bahan masukan bagi fisioterapis di Rumah Sakit atau Lahan Praktek dalam penanganan kasus spondylosis menggunakan SWD dan William Flexion Exercise.


BAB II


TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Spondylosis Lumbal
1. Pengertian
Spondylosis merupakan kondisi dimana terjadi perubahan degeneratif pada sendi intervertebralis antara corpus dan diskus. Spondylosis merupakan kelompok osteoarthritis yang juga dapat menghasilkan perubahan degeneratif pada sendi-sendi sinovial sehingga dapat terjadi pada sendi-sendi apophyseal tulang belakang. Secara klinis, kedua perubahan degeneratif tersebut seringkali terjadi secara bersamaan (Ann Thomson et al, 1991).
Spondylosis lumbal merupakan gangguan degeneratif yang terjadi pada corpus dan diskus intervertebralis, yang ditandai dengan pertumbuhan osteofit pada corpus vertebra tepatnya pada tepi inferior dan superior corpus. Osteofit pada lumbal dalam waktu yang lama dapat menyebabkan nyeri pinggang karena ukuran osteofit yang semakin tajam (Bruce M. Rothschild, 2009). Menurut Statement of Principles Concerning (2005), spondylosis lumbar didefinisikan sebagai perubahan degeneratif yang menyerang vertebra lumbar atau diskus intervertebralis, sehingga menyebabkan nyeri lokal dan kekakuan, atau dapat menimbulkan gejala-gejala spinal cord lumbar, cauda equina atau kompresi akar saraf lumbosacral.
Spondylosis lumbal seringkali merupakan hasil dari osteoarthritis atau spur tulang yang terbentuk karena adanya proses penuaan atau degenerasi. Proses degenerasi umumnya terjadi pada segmen L4 – L5 dan L5 – S1. Komponen-komponen vertebra yang seringkali mengalami spondylosis adalah diskus intervertebralis, facet joint, corpus vertebra dan ligamen (terutama ligamen flavum) (John J. Regan, 2010).
2. Etiologi
Spondylosis lumbal muncul karena adanya fenomena proses penuaan atau perubahan degeneratif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini tidak berkaitan dengan gaya hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol (Bruce M. Rothschild, 2009).
Spondylosis lumbal banyak pada usia 30 – 45 tahun dan paling banyak pada usia 45 tahun. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-laki. Faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan spondylosis lumbal adalah (Ann Thomson et al, 1991) :
a. Kebiasaan postur yang jelek
b. Stress mekanikal akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang melibatkan gerakan mengangkat, twisting dan membawa/memindahkan barang.
c. Tipe tubuh
Ada beberapa faktor yang memudahkan terjadinya progresi degenerasi pada vertebra lumbal yaitu (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009) :


a. Faktor usia
Beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan bahwa proses penuaan merupakan faktor resiko yang sangat kuat untuk degenerasi tulang khususnya pada tulang vertebra. Suatu penelitian otopsi menunjukkan bahwa spondylitis deformans atau spondylosis meningkat secara linear sekitar 0% - 72% antara usia 39 – 70 tahun. Begitu pula, degenerasi diskus terjadi sekitar 16% pada usia 20 tahun dan sekitar 98% pada usia 70 tahun.
b. Stress akibat aktivitas dan pekerjaan
Degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Penelitian retrospektif menunjukkan bahwa insiden trauma pada lumbar, indeks massa tubuh, beban pada lumbal setiap hari (twisting, mengangkat, membungkuk, postur jelek yang terus menerus), dan vibrasi seluruh tubuh (seperti berkendaraan), semuanya merupakan faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan spondylosis dan keparahan spondylosis.
c. Peran herediter
Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan degenerasi diskus. Penelitian Spector and MacGregor menjelaskan bahwa 50% variabilitas yang ditemukan pada osteoarthritis berkaitan dengan faktor herediter. Kedua penelitian tersebut telah mengevaluasi progresi dari perubahan degeneratif yang menunjukkan bahwa sekitar ½ (47 – 66%) spondylosis berkaitan dengan faktor genetik dan lingkungan, sedangkan hanya 2 – 10% berkaitan dengan beban fisik dan resistance training.
d. Adaptasi fungsional
Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan degeneratif pada diskus berkaitan dengan beban mekanikal dan kinematik vertebra. Osteofit mungkin terbentuk dalam proses degenerasi dan kerusakan cartilaginous mungkin terjadi tanpa pertumbuhan osteofit. Osteofit dapat terbentuk akibat adanya adaptasi fungsional terhadap instabilitas atau perubahan tuntutan pada vertebra lumbar.
3. Patologi Terapan
Salah satu aspek yang penting dari proses penuaan adalah hilangnya kekuatan tulang. Perubahan ini menyebabkan modifikasi kapasitas penerimaan beban (load-bearing) pada vertebra. Setelah usia 40 tahun, kapasitas penerimaan beban pada tulang cancellous/trabecular berubah secara dramatis. Sebelum usia 40 tahun, sekitar 55% kapasitas penerimaan beban terjadi pada tulang cancellous/ trabecular. Setelah usia 40 tahun penurunan terjadi sekitar 35%. Kekuatan tulang menurun dengan lebih cepat dibandingkan kuantitas tulang. Hal ini menurunkan kekuatan pada end-plates yang melebar jauh dari diskus, sehingga terjadi fraktur pada tepi corpus vertebra dan fraktur end-plate umumnya terjadi pada vertebra yang osteoporosis (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006).
Cartilaginous end-plate dari corpus vertebra merupakan titik lemah dari diskus sehingga adanya beban kompresi yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada cartilaginous end-plate. Pada usia 23 tahun sampai 40 tahun, terjadi demineralisasi secara bertahap pada cartilago end-plate. Pada usia 60 tahun, hanya lapisan tipis tulang yang memisahkan diskus dari channel vaskular, dan channel nutrisi lambat laun akan hilang dengan penebalan pada pembuluh arteriole dan venules. Perubahan yang terjadi akan memberikan peluang terjadinya patogenesis penyakit degenerasi pada diskus lumbar. Disamping itu, diskus intervertebralis orang dewasa tidak mendapatkan suplai darah dan harus mengandalkan difusi untuk nutrisi (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006).
Menurut Kirkaldy-Willis (dalam Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006), terdapat sistem yang berdasarkan pada pemahaman segment gerak yang mengalami degenerasi. Perubahan degeneratif pada segmen gerak dapat dibagi kedalam 3 fase kemunduran yaitu :
a. Fase disfungsi awal (level I) : proses patologik kecil yang menghasilkan fungsi abnormal pada komponen posterior dan diskus intervertebralis. Kerusakan yang terjadi pada segmen gerak masih bersifat sementara (reversible). Perubahan yang terjadi pada facet joint selama fase ini sama dengan yang terjadi pada sendi sinovial lainnya. Kronik sinovitis dan efusi sendi dapat menyebabkan stretch pada kapsul sendi. Membran synovial yang inflamasi dapat membentuk suatu lipatan didalam sendi sehingga menghasilkan penguncian didalam sendi antara permukaan cartilago dan kerusakan cartilago awal. Paling sering terjadi pada fase disfungsi awal selain melibatkan kapsul dan synovium juga melibatkan permukaan cartilago atau tulang penopang (corpus vertebra). Disfungsi diskus pada fase ini masih kurang jelas tetapi kemungkinan melibatkan beberapa kerobekan circumferential pada annulus fibrosus. Jika kerobekannya pada lapisan paling luar maka penyembuhannya mungkin terjadi karena adanya beberapa suplai darah. Pada lapisan paling dalam, mungkin kurang terjadi penyembuhan karena sudah tidak ada lagi suplai darah. Secara perlahan akan terjadi pelebaran yang progresif pada area circumferential yang robek dimana bergabung kedalam kerobekan radial. Nukleus mulai mengalami perubahan dengan hilangnya kandungan proteoglycan.
b. Fase instabilitas intermediate (level II) : fase ini menghasilkan laxitas (kelenturan yang berlebihan) pada kapsul sendi bagian posterior dan annulus fibrosus. Perubahan permanen dari instabilitas dapat berkembang karena kronisitas dan disfungsi yang terus menerus pada tahun-tahun awal. Re-stabilisasi segmen posterior dapat membentuk formasi tulang subperiosteal atau formasi tulang (ossifikasi) sepanjang ligamen dan serabut kapsul sendi, sehingga menghasilkan osteofit perifacetal dan traksi spur. Pada akhirnya, diskus membentuk jangkar oleh adanya osteofit perifer yang berjalan disekitar circumferentianya, sehingga menghasilkan segmen gerak yang stabil.
c. Fase stabilisasi akhir (level III) : fase ini menghasilkan fibrosis pada sendi bagian posterior dan kapsul sendi, hilangnya material diskus, dan formasi osteofit. Osteofit membentuk respon terhadap gerak abnormal untuk menstabilisasi segmen gerak yang terlibat. Formasi osteofit yang terbentuk disekitar three joint dapat meningkatkan permukaan penumpuan beban dan penurunan gerakan, sehingga menghasilkan suatu kekakuan segmen gerak dan menurunnya nyeri hebat pada segmen gerak.
Pada lumbar spine bagian atas, degenerasi mulai terlihat pada awal level I dengan fraktur end-plate dan herniasi diskus, kaitannya dengan beban vertikal yang esensial terhadap segmen tersebut. Penyakit facet mulai terjadi pada lumbar spine bagian atas. Pada lumbal spine bagian bawah, perubahan diskus mulai terjadi pada usia belasan tahun terakhir, dan perubahan facet terjadi pada middle usia 20-an. Secara khas, lesi pertama kali terjadi pada L5– S1 dan pada L4 – L5. Perubahan degenerasi pada synovial dan intervertebral joint dapat terjadi secara bersamaan, dan paling sering terjadi pada lumbosacral joint. Spondylosis dan perubahan arthrosis yang melibatkan seluruh segmen gerak sangat berkaitan dengan faktor usia dan terjadi sekitar 60% pada orang-orang yang lebih tua dari usia 45 tahun (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006).
Schneck menjelaskan adanya progresi mekanikal yang lebih jauh akibat perubahan degeneratif pada diskus intervertebralis, untuk menjelaskan adanya perubahan degeneratif lainnya pada axial spine. Dia menjelaskan beberapa implikasi dari penyempitan space diskus. Pedicle didekatnya akan mengalami aproksimasi dengan penyempitan dimensi superior-inferior dari canalis intervertebralis. Laxitas akibat penipisan ligamen longitudinal posterior yang berlebihan dapat memungkinkan bulging (penonjolan) pada ligamen flavum dan potensial terjadinya instabilitas spine. Peningkatan gerakan spine dapat memberikan peluang terjadinya subluksasi dari processus articular superior sehingga menyebabkan penyempitan dimensi anteroposterior dari intervertebral joint dan canalis akar saraf bagian atas. Laxitas juga dapat menyebabkan perubahan mekanisme berat dan tekanan kaitannya dengan corpus vertebra dan space sendi yang mempengaruhi terbentuknya formasi osteofit dan hipertropi facet pada processus articular inferior – superior, dengan resiko terjadinya proyeksi kedalam canalis intervertebralis dan canalis sentral secara berurutan (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).
Keluhan nyeri pinggang pada kondisi spondylosis lumbal disebabkan oleh adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis. Adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis dapat menghasilkan iritasi pada radiks saraf sehingga menimbulkan nyeri pinggang yang menjalar. Disamping itu, osteofit pada facet joint dapat mengiritasi saraf spinal pada vertebra sehingga dapat menimbulkan nyeri pinggang (S.E. Smith, 2009).
4. Gambaran Klinis
Perubahan degeneratif dapat menghasilkan nyeri pada axial spine akibat iritasi nociceptive yang diidentifikasi terdapat didalam facet joint, diskus intervertebralis, sacroiliaca joint, akar saraf duramater, dan struktur myofascial didalam axial spine (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).
Perubahan degenerasi anatomis tersebut dapat mencapai puncaknya dalam gambaran klinis dari stenosis spinalis, atau penyempitan didalam canalis spinal melalui pertumbuhan osteofit yang progresif, hipertropi processus articular inferior, herniasi diskus, bulging (penonjolan) dari ligamen flavum, atau spondylolisthesis. Gambaran klinis yang muncul berupa neurogenik claudication, yang mencakup nyeri pinggang, nyeri tungkai, serta rasa kebas dan kelemahan motorik pada ekstremitas bawah yang dapat diperburuk saat berdiri dan berjalan, dan diperingan saat duduk dan tidur terlentang (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).
Karakteristik dari spondylosis lumbal adalah nyeri dan kekakuan gerak pada pagi hari. Biasanya segmen yang terlibat lebih dari satu segmen. Pada saat aktivitas, biasa timbul nyeri karena gerakan dapat merangsang serabut nyeri dilapisan luar annulus fibrosus dan facet joint. Duduk dalam waktu yang lama dapat menyebabkan nyeri dan gejala-gejala lain akibat tekanan pada vertebra lumbar. Gerakan yang berulang seperti mengangkat beban dan membungkuk (seperti pekerjaan manual dipabrik) dapat meningkatkan nyeri (John J. Regan, 2010).
5. Anatomi Biomekanik Lumbal
Vertebra lumbal merupakan columna vertebra paling bawah sebelum sacrum. Pada regio lumbal tidak mempunyai foramen transversum dan facet articular costalis. Corpus vertebra lumbal berbentuk besar dan sedikit lebih tebal seperti ginjal.
Seluruh struktur vertebra lumbal dihubungkan dengan arcus vertebra yang tumpul dan kuat. Processus tranversusnya datar dan seperti sayap pada 4 segmen lumbal bagian atas, tetapi pada L5 processus tranversusnya tebal dan bulat puntung. Diantara segmen gerak lumbal terdapat foramen intervertebralis yang terbentuk dari pedicle yang berhubungan dengan lamina bagian atas dan bawah.
Vertebra lumbal mempunyai processus articularis yang berhubungan dengan pedicles dan lamina, yang terdiri dari processus articularis superior yang terletak dalam bidang oblique kearah posterior dan lateral dimana facet articularisnya konkaf dan mengarah ke dorsomedial sehingga hampir saling berhadapan satu sama lain, serta processus articularis inferior yang muncul dari tepi inferior arcus vertebra yang dekat antara lamina dan processus spinosus, menghadap kearah inferior dan medial, dan permukaan sendinya mengarah ke ventrolateral. Dengan demikian antara facet articularis superior vertebra bagian bawah dan facet articularis inferior pada vertebra bagian atas dapat saling mengunci dalam bentuk mortise and tenon (kunci dan cerat). Jelaslah bahwa susunan ini akan membatasi gerakan rotasi dan lateral fleksi pada regio lumbal.
Karena susunan anatomis dan fungsi yang berbeda pada regio lumbal, maka dapat dipilah dalam segmentasi regional sebagai berikut :
a. Thoracolumbal junction
Merupakan daerah perbatasan fungsi antara lumbar dengan thorac spine dimana th12 arah superior facet pada bidang frontalis dg gerak terbatas, sedang arah inferior facet pada bidang sagital gerakan utamanya flexion-extension yg luas. Pada gerak lumbar spine ‘memaksa’ th12hingga Th10 mengikuti. Pada atlit senam pada daerah ini dapat mencapai ROM fleksi 550 dan ekstensi 250.
b. Lumbal spine
Vertebra lumbalis lebih besar dan tebal membentuk kurva lordosis dengan puncak L3 sebesar 2–4 cm, menerima beban sangat besar dalam bentuk kompresi maupun momen. Stabilitas dan gerakannya ditentukan oleh facet, diskus, ligament dan otot disamping corpus itu sendiri.
Berdasarkan arah permukaan facet joint maka facet joint cenderung dalam posisi bidang sagital sehingga pada regio lumbal menghasilkan dominan gerak yang luas yaitu fleksi - ekstensi lumbal.
c. Lumbosacral joint
L5-S1 merupakan daerah yg menerima beban sangat berat mengingat lumbal mempunyai gerak yang luas sementara sacrum rigid (kaku). Akibatnya lumbosacral joint menerima beban gerakan dan berat badan paling besar pada regio lumbal.
Segmen Junghans (Segmen Gerak) Pada Lumbal
Segmen gerak diperkenalkan oleh Tn. Junghans (1956). Segmen gerak terdapat pada setiap level vertebra dengan three joint yang berperan penting sebagai elemen fungsional tunggal. Three joint dibentuk oleh satu sendi bagian anterior (diskus intervertebralis yang membentuk symphisis joint), dan 2 sendi bagian posterior (apophyseal/facet joint). Sedangkan segmen transitional adalah segmen gerak yang terbentuk dari level regio vertebral lain. Pada regio lumbal terdapat 2 segmen transitional yaitu segmen gerak Th12-L1 (thoracolumbal junction) dan segmen gerak L5-S1 (lumbosacral joint). Dibawah ini akan dijelaskan tentang three joint kompleks.
a. Diskus Intervertebralis
Diantara dua corpus vertebra dihubungkan oleh diskus intervertebralis, merupakan fibrocartilago compleks yang membentukarticulasio antara corpus vertebra, dikenal sebagai symphisis joint. Diskus intervertebralis pada orang dewasa memberikan kontribusi sekitar ¼ dari tinggi spine. Diskus intervertebralis memberikan penyatuan yang sangat kuat, derajat fiksasi intervertebralis yang penting untuk aksi yang efektif dan proteksi alignmen dari canal neural. Diskus juga dapat memungkinkan gerak yang luas pada vertebra. Setiap diskus terdiri atas 2 komponen yaitu :
1) Nukleus pulposus ; merupakan substansia gelatinosa yang berbentuk jelly transparan, mengandung 90% air, dan sisanya adalah collagen dan proteoglycans yang merupakan unsur-unsur khusus yang bersifat mengikat atau menarik air. Nukleus pulposus merupakan hidrophilic yang sangat kuat & secara kimiawi di susun oleh matriks mucopolysaccharida yang mengandung ikatan protein, chondroitin sulfat, hyaluronic acid & keratin sulfat. Nukleus pulposus tidak mempunyai pembuluh darah dan saraf. Nukleus pulposus mempunyai kandungan cairan yang sangat tinggi maka dia dapat menahan beban kompresi serta berfungsi untuk mentransmisikan beberapa gaya ke annulus & sebagai shock absorber.
2) Annulus fibrosus ; tersusun oleh sekitar 90 serabut konsentrik jaringan collagen yang nampak menyilang satu sama lainnya secara oblique & menjadi lebih oblique kearah sentral. Karena serabutnya saling menyilang secara vertikal sekitar 30o satu sama lainnya maka struktur ini lebih sensitif pada strain rotasi daripada beban kompresi, tension, dan shear. Serabut-serabutnya sangat penting dalam fungsi mekanikal dari diskus intervertebralis, memperlihatkan suatu perubahan organisasi dan orientasi saat pembebanan pada diskus dan saat degenerasi diskus. Susunan serabutnya yang kuat melindungi nukleus di dalamnya & mencegah terjadinya prolapsus nukleus. Secara mekanis, annulus fibrosus berperan sebagai coiled spring (gulungan pegas) terhadap beban tension dengan mempertahankan corpus vertebra secara bersamaan melawan tahanan dari nukleus pulposus yang bekerja seperti bola.
Diskus intervetebralis akan mengalami pembebanan pada setiap perubahan postur tubuh. Tekanan yang timbul pada pembebanan diskus intervertebralis disebut tekanan intradiskal. Menurut Nachemson (1964), tekanan intradiskal berhubungan erat dengan perubahan postur tubuh. Nachemson meneliti tekanan intradiskal pada lumbal yaitu pada L3-L4 karena L3-L4 menerima beban intradiskal yang terbesar pada regio lumbal. Dari penelitian Nachemson menunjukan bahwa tekanan intradiskal saat berbaring antara 15 – 25 kp dan tidur miring menjadi 2 x lebih besar dari berbaring. Pada saat berdiri tekanan intradiskal sekitar 100 kp dan tekanan tersebut menjadi lebih besar saat duduk tegak yaitu 150 kp. Peningkatan tekanan terjadi saat berdiri membungkuk dari 100 kp menjadi 140 kp, begitu pula saat duduk membungkuk tekanan intradiskal meningkat menjadi 160 kp. Peningkatan tekanan dapat mencapai 200 kp lebih jika mengangkat barang dalam posisi berdiri membungkuk dan duduk membungkuk.
b. Facet Joint
Sendi facet dibentuk oleh processus articularis superior dari vertebra bawah dengan processus articularis inferior dari vertebra atas. Sendi facet termasuk dalam non-axial diarthrodial joint. Setiap sendi facet mempunyai cavitas articular dan terbungkus oleh sebuah kapsul. Gerakan yang terjadi pada sendi facet adalah gliding yang cukup kecil. Besarnya gerakan pada setiap vertebra sangat ditentukan oleh arah permukaan facet articular.
Pada regio lumbal kecuali lumbosacral joint, facet articularisnya terletak lebih dekat kedalam bidang sagital. Facet bagian atas menghadap kearah medial dan sedikit posterior, sedangkan facet bagian bawah menghadap kearah lateral dan sedikit anterior. Kemudian, facet bagian atas mempunyai permukaan sedikit konkaf dan facet bagian bawah adalah konveks. Karena bentuk facet ini, maka vertebra lumbal sebenarnya terkunci melawan gerakan rotasi sehingga rotasi lumbal sangat terbatas. Facet artikularis lumbosacral terletak sedikit lebih kearah bidang frontal daripada sebenarnya pada sendi-sendi lumbal lainnya.
Sendi facet dan diskus memberikan sekitar 80% kemampuan spine untuk menahan gaya rotasi torsion dan shear, dimana ½-nya diberikan oleh sendi facet. Sendi facet juga menopang sekitar 30% beban kompresi pada spine, terutama pada saat spine hiperekstensi. Gaya kontak yang paling besar terjadi pada sendi facet L5-S1.
Struktur pendukung lainnya dalam segmen gerak adalah ligament dan otot. Ligamen-ligamen yang memperkuat segmen gerak adalah :
a. Ligamen longitudinal anterior
Ligamen longitudinal anterior merupakan ikatan padat yang panjang dari basis occiput ke sacrum pada bagian anterior vertebra. Dalam perjalanannya ke sacrum, ligamen ini masuk ke dalam bagian anterior diskus intervertebralis dan melekat pada antero-superior corpus vertebra.Ligamen longitudinal anterior merupakan ligamen yang tebal dan kuat, dan berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan ektensi lumbal.
b. Ligamen longitudinal posterior
Ligamen longitudinal posterior memanjang dari basis occiput ke canal sacral pada bagian posterior vertebra, tetapi ligamen ini tidak melekat pada permukaan posterior vertebra. Pada regio lumbal, ligamen ini mulai menyempit dan semakin sempit pada lumbosacral, sehingga ligamen ini lebih lemah daripada ligamen longitudinal anterior. Dengan demikian diskus intervertebralis lumbal pada bagian posterolateral tidak terlindungi oleh ligamen longitudinal posterior. Ligamen ini sangat sensitif karena banyak mengandung serabut saraf afferent nyeri (A delta dan tipe C) dan memiliki sirkulasi darah yang banyak. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.
c. Ligamen flavum
Ligamen ini sangat elastis dan melekat pada arcus vertebra tepatnya pada setiap lamina vertebra. Ke arah anterior dan lateral, ligamen ini menutup capsular dan ligamen anteriomedial sendi facet. Ligamen ini mengandung lebih banyak serabut elastin daripada serabut kolagen dibandingkan dengan ligamen-ligamen lainnya pada vertebra. Ligamen ini mengontrol gerakan fleksi lumbal.
d. Ligamen interspinosus
Ligamen ini sangat kuat yang melekat pada setiap processus spinosus dan memanjang kearah posterior dengan ligamen supraspinosus. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.
e. Ligamen supraspinosus
Ligamen ini melekat pada setiap ujung processus spinosus. Pada regio lumbal, ligamen ini kurang jelas karena menyatu dengan serabut insersio otot lumbodorsal. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.






f. Ligamen intertransversalis
Ligamen ini melekat pada tuberculum asesori dari processus transversus dan berkembang baik pada regio lumbal. Ligamen ini mengontrol gerakan lateral fleksi kearah kontralateral.
Sedangkan otot-otot yang memperkuat segmen gerak lumbal adalah:
a. Erector Spine, merupakan group otot yang luas dan terletak dalam pada facia lumbodorsal, serta muncul dari suatu aponeurosis pada sacrum, crista illiaca dan procesus spinosus thoraco lumbal. Group otot ini terbagi atas beberapa otot yaitu:
1) M. Transverso spinalis
2) M. Longissimus
3) M. Iliocostalis
4) M. Spinalis
5) Paravertebral muscle (deep muscle) seperti m. intraspinalis dan m. intrasversaris
Group otot ini merupakan penggerak utama pada gerakan extensi lumbal dan sebagai stabilisator vertebra lumbal saat tubuh dalam keadaan tegak.
b. Abdominal, merupakan group otot extrinsik yang membentuk dan memperkuat dinding abdominal. Pada group otot ini ada 4 otot abdominal yang penting dalam fungsi spine, yaitu m. rectus abdominis, m. obliqus external, m. obliqus internal dan m. transversalis abdominis. Group otot ini merupakan fleksor trunk yang sangat kuat dan berperan dalam mendatarkan kurva lumbal. Di samping itu m.obliqus internal dan external berperan pada rotasi trunk. Didalam memperkuat dinding abdominal, m. abdominal bekerja sebagai direct brace, m. obliqus internal bekerja sebagai oblique brace kearah inferior dan posterior sedangkan m. obliqus external bekerja sebagai brace kearah anterior.
c. Deep lateral muscle, merupakan group otot intrinstik pada bagian lateral lumbal yang terdiri dari :
1) M. Quadratus Lumborum
2) M. Psoas
Group otot ini berperan pada gerakan lateral fleksi dan rotasi lumbal.
Segmen gerak sangat berperan pada setiap gerakan vertebra lumbal. Pada saat fleksi lumbal, nukleus pulposus akan bergerak kearah posterior sehingga mengulur serabut annulus fibrosus bagian posterior. Pada saat yang sama, processus articularis inferior dari vertebra bagian atas akan bergeser kearah superior dan cenderung bergerak menjauhi processus articularis superior dari vertebra bagian bawah sehingga kapsular-ligamenter sendi facet akan mengalami peregangan secara maksimal serta ligamen pada arcus vertebra (ligamen flavum), ligamen interspinosus, ligamen supraspinosus dan ligamen longitudinal posterior.
Pada saat ekstensi lumbal, nukleus pulposus akan mendorong serabut annulus fibrosus bagian anterior sehingga terjadi penguluran dan ligamen longitudinal anterior juga mengalami penguluran sementara ligamen longitudinal posterior relaks. Pada saat yang sama, processus articularis dari vertebra bagian bawah dan atas menjadi saling terkunci, dan processus spinosus dapat saling bersentuhan satu sama lain.
Pada saat lateral fleksi lumbal, corpus vertebra bagian atas akan bergerak kearah ipsilateral sementara diskus sisi kontralateral mengalami ketegangan karena nukleus bergeser kearah kontralateral. Ligamen intertransversal sisi kontralateral mengalami peregangan sementara sisi ipsilateral relaks. Pada saat yang sama, processus articular relatif bergeser satu sama lain sehingga processus articularis inferior sisi ipsilateral dari vertebra atas akan bergerak naik sementara sisi kontralateral akan bergerak turun.
Pada saat rotasi lumbal, vertebra bagian atas berotasi terhadapvertebra bagian bawah, tetapi gerakan rotasi ini hanya terjadi disekitar pusat rotasi antara processus spinosus dengan processus articularis. Diskus intervertebralis tidak berperan dalam gerakan axial rotasi, sehingga gerakan rotasi sangat dibatasi oleh orientasi sendi facet vertebra lumbal. Menurut Gregersen dan D.B. Lucas, axial rotasi pada vertebra lumbal mempunyai total ROM secara bilateral sekitar 10o dan ROM segmental sekitar 2o dan segmental unilateral sekitar 1o.


B. Tinjauan Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Spondylosis Lumbal
1. Problematik Fisioterapi
Spondylosis lumbal umumnya menimbulkan nyeri dan kekakuan gerak pada regio lumbal, khususnya muncul pada pagi hari. Nyeri dapat bersifat menjalar baik ke dorsal paha maupun ke daerah kaki. Rasa nyeri dan kekakuan dapat menyebabkan spasme pada otot erector spine sehingga membatasi gerakan pada lumbal. Dengan demikian, kondisi ini dapat menimbulkan problematik fisioterapi, antara lain : nyeri menjalar, spasme otot erector spine lumbal, keterbatasan gerak vertebra lumbal yang menyebabkan gangguan fleksibilitas lumbal.
2. Tindakan Fisioterapi
a. Short Wave Diathermy (SWD)
Diathermy merupakan aplikasi energi elektromagnetik dengan frekuensi tinggi yang terutama digunakan untuk membangkitkan panas dalam jaringan tubuh. Diathermy juga dapat digunakan untuk menghasilkan efek-efek nonthermal. Diathermy yang digunakan sebagai modalitas terapi terdiri atas short wave diathermy (yang akan dibahas) danmicrowave diathermy.
Short wave diathermy adalah modalitas terapi yang menghasilkan energi elektromagnetik dengan arus bolak balik frekuensi tinggi. Federal Communications Commision (FCC) telah menetapkan 3 frekuensi yang digunakan pada short wave diathermy, yaitu :
1) Frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter
2) Frekuensi 13,56 MHz dengan panjang gelombang 22 meter
3) Frekuensi 40,68 MHz (jarang digunakan) dengan panjang gelombang 7,5 meter
Frekuensi yang sering digunakan pada SWD untuk tujuan pengobatan adalah frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter.
Short wave diathermy yang digunakan dalam pengobatan mempunyai 2 arus yaitu arus Continuos SWD dan Pulsed SWD.
1) Sifat Pancaran energi elektromagnetik
Telah dijelaskan diatas bahwa arus SWD menghasilkan energi elektromagnetik, dimana energi tersebut memancarkan medan listrik dan medan magnet. Arus tersebut tidak menimbulkan aksi potensial pada serabut saraf motorik maupun sensorik, dengan kata lain tidak merangsang saraf motorik untuk berkontraksi, karena arus frekuensi tinggi mempunyai osilasi lebih dari 500.000 siklus/detik yang akan memberikan 1.000.000 impuls setiap detik, sehingga durasinya 0,001 ms tiap detik.
Kuatnya medan listrik dan medan magnet yang dihasilkan bergantung pada sumber medan elektromagnetik. Pada medan elektromagnetik yang terputus-putus (pulsed) akan terjadi pemutusan medan pada moment tertentu. Energi elektromagnetik yang dihasilkan tergantung pada metode yang digunakan.
a) Metode medan kondensor
Pada prinsipnya, medan listrik dari energi elektromagnetik dihasilkan oleh plat metal elektrode dan medan magnet dihasilkan oleh magnetode (kumparan kawat). Pada metode ini, medan listrik lebih kuat dihasilkan daripada medan magnet karena menggunakan plat metal elektrode.


b) Metode kumparan (kabel/spul/magnetode)
Pada metode kumparan, kumparan-kumparan kawat menghasilkan medan magnet yang lebih kuat didalam dan disekitar kumparan dibandingkan dengan diluar kumparan. Distribusi medan elektromagentik yang dihasilkan oleh kumparan paling besar terjadi di jaringan superfisial apabila pemasangannya dililitkan.
2) Metode Aplikasi
Metode aplikasi SWD terdiri atas :
a) Metode Induktive
(1) Menggunakan sebuah kumparan metal yang kecil datar, tertutup dalam suatu plastic drum (dengan suatu kapasitor yang paralel), kadang-kadang dinamakan dengan monode.
(2) Menggunakan pipa panjang dengan konduktor yang fleksibel, tertutup dalam karet yang tebal, dinamakan dengan kabel atau kumparan. Kabel atau kumparan ini terbungkus mengelilingi bagian yang diobati dalam pola spiral atau dalam bentuk flat spiral. Kabel tersebut membentuk suatu inductance dan terpisah dari kulit oleh adanya handuk sebagai perantara.
b) Metode Capacitive/Condensor
(1) Menggunakan metal plate yang kaku, tertutup dalam plastic, dinamakan dengan rigid atau plate electrode atau space platedan diposisikan oleh lengan penyanggah.
(2) Menggunakan elektrode yang fleksibel atau lunak, terbungkus dalam karet yang tebal dimana dapat diposisikan dibawah bagian yang diobati dengan perantara bahan yang sesuai (seperti handuk).
Pada metode capacitive ini mempunyai 3 macam posisi elektrode, yaitu aplikasi contraplanar/transversal, aplikasi coplanar dan aplikasi longitudinal (long methode). Dalam penelitian ini, kami menggunakan aplikasi coplanar sehingga kami hanya membahas aplikasi tersebut.
Aplikasi Coplanar
Pada aplikasi ini, lokasi kedua elektrode dalam bidang yang sama terhadap jaringan yang diterapi. Karena energi thermal yang tinggi terjadi pada jaringan lemak dan tidak terjadi aliran arus energi elektromagnetik secara transversal melewati seluruh lapisan jaringan sehingga absorbsi energi akan rendah pada jaringan yang lebih dalam. Dengan demikian, metode ini hanya bersifat superfisial. Jika metode ini menginginkan efek yang dalam, maka dianjurkan untuk menerapkan jarak elektrode – kulit yang cukup jauh dan jarak tersebut tetap dipertahankan pada jarak ½ kali dari diameter elektrode/condensator.
Hal-hal yang perlu dihindari dalam ketiga aplikasi ini adalah :
a) Penggunaan elektrode yang besar secara berlebihan dapat menyebabkan lokalisasi energi yang rendah dan efek terapi yang optimum tidak tercapai.
b) Jarak elektrode – kulit yang sangat rapat dengan area jaringan yang menonjol dapat menyebabkan konsentrasi energi elektromagnetik sehingga menghasilkan “point effek”.
3) Continous Short Wave Diathermy (CSWD)
Pada penerapan CSWD, energi thermal dominan terjadi dalam jaringan. Setiap jaringan yang menerima panas memiliki tahanan yang berbeda-beda. Jaringan lemak cepat menyerap panas daripada otot (1 : 10), sedangkan jaringan otot lebih cepat menyerap panas daripada kulit. Secara fisiologis, jaringan otot tidak memiliki “thermosensor” tetapi hanya pada jaringan kulit, sehingga dengan adanya rasa panas di kulit saat pemberian CSWD maka sebenarnya sudah terjadi “overthermal”pada jaringan otot dibawahnya karena jaringan otot lebih cepat menerima panas daripada kulit. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa jika panas yang diterima jaringan melebihi batas tertentu maka jaringan akan menjadi rusak; menurut Thomas H (1963) ukuran subyektif sebagai batas tertentu adalah jika penderita merasa hangat.
Menurut Hollander JS (1949) bahwa para peneliti menyatakan pemberian CSWD pada kondisi artrose adalah kontraindikasi, dan bahkan sebagian besar penelitian melarang pemberian CSWD pada arthritis. Hal ini disebabkan karena didalam sendi terdapat suatu asam“Hyaluronik” yang suhu optimalnya adalah 36,7o, dan sangat sensitif terhadap penambahan suhu. Dengan penambahan suhu 1o saja (terjadi pada pemberian CSWD) maka suhunya menjadi 37,4o, sementara pada suhu 37o saja akan mengaktifkan cairan/enzym hyaluronidase yang dapat merusak ujung-ujung tulang rawan sendi, dan kita ketahui bahwa kerusakan tulang rawan sendi tidak akan pernah mengalami regenerasi/reparasi.
Continous SWD utamanya menimbulkan efek thermal, sehingga menghasilkan efek fisiologis berupa peningkatan sirkulasi darah dan proses metabolisme.
4) Pulsed Short Wave Diathermy (PSWD)
Sekitar tahun 1940, mulai digalakkan penelitian terhadap PSWD sebagai salah satu efek terapi baru bagi SWD. Dalam penelitian tersebut dilakukan penerapan PSWD pada hapusan susu, dan ternyata pada hapusan susu tersebut terlihat suatu bentuk “untaian kalung”. Kemudian bentuk tersebut juga terjadi pada cairan darah, limpha dan eiwit. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa PSWD sangat bermanfaat dalam menghasilkan efek terapeutik, sedangkan efek fisiologisnya hanya timbul sedikit (pengaruh panas hanya minimal). Pada Pulsed SWD, mempunyai energi/power output yang maksimum sampai 1000 W. Meskipun demikian, energi/power output rata-rata adalah jauh lebih rendah yaitu antara 0,6 – 80 watt (tergantung pada pemilihan frekuensi pulse repetition) sehingga memungkinkan aplikasi pengobatan subthermal dengan peningkatan efek-efek biologis. Oleh karena itu, terapi Pulsed SWD sangat cocok untuk pengobatan terhadap gangguan-gangguan akut dimana terapi panas merupakan kontraindikasi.
Jika kita menerapkan Pulsed SWD (PSWD), maka akan menghasilkan pulsasi rectangular dengan durasi pulsasi 0,4 ms. Power maksimum dari pulsasi tersebut dapat diatur sampai 1000 W. Ketika menggunakan aplikasi kondensor maka energi power dapat diatur sampai nilai maksimum. Interval pulsasi yang dihasilkan bergantung pada pemilihan frekuensi pulsasi repetition (15 – 200 Hz), sedangkan ukuran produksi panas dalam Pulsed SWD adalah mean power (watt).Mean power yang dihasilkan sangat bergantung pada pemilihan intensitas arus dan frekuensi pulsasi repetition. Semakin rendah frekuensi pulsasi repetition yang dipilih maka semakin rendah mean powernya. Dengan demikian, penerapan Pulsed SWD dapat memungkinkan kita memilih intensitas arus yang tinggi (power pulsasi) dengan pemilihan frekuensi pulsasi repetition yang selektif dan sesuai dengan kondisi penyakit/gangguan.
Dengan demikian, indikasi Pulsed SWD adalah :
a) Kondisi-kondisi post traumatik dan post-operasi seperti arthropathy, kontusio, distorsio, hematoma.
b) Gangguan-gangguan lain seperti ankylopoietik spondylosis, bursitis, coccygodinia, myalgia, (akut) humeroscapular periarthritis, periostitis, neuralgia, (akut) sciatica, tendovaginitis, akut dan kronik furuncle sinusitis, cervical lymphadenitis non-spesifik, laryngitis dan peritonsilar abcess, adneksitis dan mamma abcess.
5) Efek Fisiologis
a) Perubahan panas/temperatur
(a) Reaksi lokal/jaringan
(1) Meningkatkan metabolisme sel-sel lokal sekitar + 13% setiap kenaikan temperatur 1o C.
(2) Meningkatkan vasomotion sphincter sehingga timbul homeostatik lokal dan akhirnya terjadi vasodilatasi lokal.
(b) Reaksi general
(1) Mengaktifkan sistem thermoregulator di hipothalamus yang mengakibatkan kenaikan temperatur darah untuk mempertahankan temperatur tubuh secara general.
(2) Penetrasi dan perubahan temperatur terjadi lebih dalam dan lebih luas.
b) Jaringan ikat
Meningkatkan elastisitas jaringan ikat lebih baik seperti jaringan collagen kulit, tendon, ligament dan kapsul sendi akibat menurunnya viskositas matriks jaringan; pemanasan ini tidak akan menambah panjang matriks jaringan ikat sehingga pemberian SWD akan lebih berhasil jika disertai dengan latihan peregangan.
c) Otot
(1) Meningkatkan elastisitas jaringan otot.
(2) Menurunkan tonus otot melalui normalisasi nocisensorik, kecuali hipertoni akibat emosional dan kerusakan SSP.
d) Saraf
(1) Meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf.
(2) Meningkatkan konduktivitas saraf dan meningkatkan ambang rangsang (threshold).
6) Indikasi
Indikasi SWD baik continuos SWD maupun pulsed SWD adalah kondisi-kondisi subakut dan kronik pada gangguan neuromuskuloskeletal (seperti sprain/strain, osteoarthritis, cervical syndrome, NPB dan lain-lain).
7) Kontraindikasi
Kontraindikasi dari continuos SWD adalah pemasangan besi pada tulang, tumor atau kanker, pacemaker pada jantung, tuberkulosis pada sendi, RA pada sendi, kondisi menstruasi dan kehamilan, regio mata (kontak lens) dan testis. Kontraindikasi dari pulsed SWD adalah tumor atau kanker, pacemaker pada jantung, regio mata dan testis, kondisi menstruasi dan kehamilan. Pada gangguan akut neuromuskuloskeletal merupakan kontraindikasi dari continuos SWD tetapi bagi pulsed SWD bisa diberikan dengan pulsasi yang rendah.




b. William Flexion Exercise
1) Pengertian
William flexion exercise diperkenalkan oleh Dr. Paul Williams pada tahun 1937. Pada tahun 1937, program latihan ini banyak ditujukan pada pasien-pasien kronik LBP dengan kondisi degenerasi corpus vertebra sampai pada degenerasi diskus. Program latihan ini telah berkembang dan banyak ditujukan pd laki2 dibawah usia 50-an & wanita dibawah usia 40-an yang mengalami lordosis lumbal yang berlebihan, penurunan space diskus antara segmen lumbal, & gejala-gejala kronik LBP.
William flexion exercise adalah program latihan yang terdiri atas 7 macam gerak yang menonjolkan pada penurunan lordosis lumbal (terjadi fleksi lumbal). William flexion exercise telah menjadi dasar dalam manajemen nyeri pinggang bawah selama beberapa tahun untuk mengobati beragam problem nyeri pinggang bawah berdasarkan temuan diagnosis. Dalam beberapa kasus, program latihan ini digunakan ketika penyebab gangguan berasal dari facet joint (kapsul-ligamen), otot, serta degenerasi corpus dan diskus. Tn. William menjelaskan bahwa posisi posterior pelvic tilting adalah penting untuk memperoleh hasil terbaik.
2) Tujuan
Adapun tujuan dari william flexion exercise adalah untuk mengurangi nyeri, memberikan stabilitas lower trunk melalui perkembangan secara aktif pada otot abdominal, gluteus maximus, dan hamstring, untuk menigkatkan fleksibilitas/elastisitas pada group otot fleksor hip dan lower back (sacrospinalis), serta untuk mengembalikan/menyempurnakan keseimbangan kerja antara group otot postural fleksor & ekstensor.
3) Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi dari William Flexion Exercise adalah spondylosis, spondyloarthrosis, dan disfungsi sendi facet yang menyebabkan nyeri pinggang bawah. Kontraindikasi dari William Flexion Exercise adalah gangguan pada diskus seperti disc. bulging, herniasi diskus, atau protrusi diskus.
4) Prosedur Pelaksanaan
Adapun prosedur pelaksanaan William Flexion Exercise (Paul Hooper, 1999) adalah sebagai berikut :
a) Latihan I (pelvic tilting)
Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua knee fleksi & kaki datar diatas bed/lantai. Datarkan punggung bawah melawan bed tanpa kedua tungkai mendorong ke bawah. Kemudian pertahankan 5 – 10 detik.

b) Latihan II (single knee to chest)
Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua knee fleksi & kaki datar di atas bed/lantai. Secara perlahan tarik knee kanan kearah shoulder & pertahankan 5 – 10 detik. Kemudian diulangi untuk knee kiri dan pertahankan 5 - 10 detik.


c) Latihan III (double knee to chest)
Mulai dengan latihan sebelumnya (latihan II) dengan posisi pasien yang sama. Tarik knee kanan ke dada kemudian knee kiri ke dada dan pertahankan kedua knee selama 5 – 10 detik. Dapat diikuti dengan fleksi kepala/leher (relatif) kemudian turunkan secara perlahan-lahan salah satu tungkai kemudian diikuti dengan tungkai lainnya.

d) Latihan IV (partial sit-up)
Lakukan pelvic tilting seperti pada latihan I. Sementara mempertahankan posisi ini angkat secara perlahan kepala dan shoulder dari bed/lantai, serta pertahankan selama 5 detik. Kemudian kembali secara perlahan ke posisi awal

e) Latihan V (hamstring stretch)
Mulai dengan posisi long sitting dan kedua knee ekstensi penuh. Secara perlahan fleksikan trunk ke depan dengan menjaga kedua knee tetap ekstensi. Kemudian kedua lengan menjangkau sejauh mungkin diatas kedua tungkai sampai mencapai jari-jari kaki.

f) Latihan VI (hip fleksor stretch)
Letakkan satu kaki didepan dengan fleksi knee dan satu kaki dibelakang dengan knee dipertahankan lurus. Fleksikan trunk ke depan sampai knee kontak dengan lipatan axilla (ketiak). Ulangi dengan kaki yang lain.

g) Latihan VII (squat)
Berdiri dengan posisi kedua kaki paralel dan kedua shoulder disamping badan. Usahakan pertahankan trunk tetap tegak dengan kedua mata fokus ke depan & kedua kaki datar diatas lantai. Kemudian secara perlahan turunkan badan sampai terjadi fleksi kedua knee.

C. Tinjauan Alat Ukur
1. Visual Analogue Scale (VAS)
Menurut International Association For The Study Of Pain (1979) dalam Nugroho DS (2001), disebutkan bahwa nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosi yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan baik secara aktual maupun potensial. Definisi tersebut berdasarkan dari sifat nyeri yang merupakan pengalaman subyektif dan bersifat individual. Dengan dasar ini dapat dipahami adanya kesamaan penyebab tidak secara otomatis menimbulkan perasaan nyeri yang sama. Nyeri adalah pengalaman umum dari manusia. Beberapa jenis penyakit, injury dan prosedur medis serta surgical berkaitan dengan nyeri. Beberapa pasien mungkin mempunyai pengalaman nyeri yang berbeda dengan jenis dan derajat patologis yang sama. Selain patologi fisik, kultur/budaya, ekonomi, sosial, demografi dan faktor lingkungan mempengaruhi persepsi nyeri seseorang. Keadaan psikologis seseorang, riwayat personal dan faktor situasional memberikan kontribusi terhadap kualitas dan kuantitas nyeri seseorang (Turk & Melzack, 1992).
Nyeri melibatkan 2 komponen utama yaitu : komponen sensorik dan komponen afektif. Komponen sensorik nyeri digambarkan sebagai rasa tidak enak yang seringkali dapat diidentifikasi dan dilokalisir pada bagian tubuh tertentu, dan dapat diidentifikasi derajat intensitasnya (Fields, 1988). Secara klinis, kami membatasi intensitas nyeri pada berapa besar rasa sakit yang dirasakan oleh pasien (Jensen & Karoly, 1992). Sedangkan komponen afektif nyeri adalah berbeda. Komponen ini melibatkan serangkaian tingkah laku pasien yang kompleks dimana pasien mungkin melakukan secara minimal, melepaskannya, atau mengakhiri stimulus noxious tersebut. Komponen afektif nyeri ini akan menggambarkan perbedaan yang khas tentang cara-cara individu/seseorang merasakan nyerinya dan variabilitasnya terhadap pengalaman nyeri hebat yang dirasakan.
Secara klinis, perbedaan yang paling penting antara aspek sensorik nyeri dan affektif nyeri adalah perbedaan antara deteksi nyeri dengan toleransi nyeri (Fields, 1988). Ambang rangsang untuk deteksi nyeri berkaitan dengan aspek sensorik nyeri dan dapat terjadi nyeri hebat secara berulang pada pasien yang berbeda serta dapat terjadi nyeri hebat secara berulang pada waktu yang berbeda dengan pasien yang sama. Sedangkan toleransi nyeri sangat variabel dan berkaitan dengan komponen afektif nyeri. Karena sifatnya multidimensional, maka toleransi nyeri pada setiap orang tidak akan sama caranya (Turk & Kerns, 1983). Oleh karena itu, untuk memeriksa nyeri secara efektif pada aplikasi klinis maka terapis harus teliti serta mempertimbangkan komponen sensorik dan afektif dari pengalaman nyeri pasien.
Visual Analogue Scale (VAS) adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap ujungnya ditandai dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda “no pain” dan ujung kanan diberi tanda “bad pain” (nyeri hebat). Pasien diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada tanda yang diberi oleh pasien (ukuran mm), dan itulah skorenya yang menunjukkan level intensitas nyeri. Kemudian skore tersebut dicatat untuk melihat kemajuan pengobatan/terapi selanjutnya. Secara potensial, VAS lebih sensitif terhadap intensitas nyeri daripada pengukuran lainnya seperti VRS skala 5-point karena responnya yang lebih terbatas. Begitu pula, VAS lebih sensitif terhadap perubahan pada nyeri kronik daripada nyeri akut (Carlson, 1983 ; McGuire, 1984). Ada beberapa keterbatasan dari VAS yaitu pada beberapa pasien khususnya orang tua akan mengalami kesulitan merespon grafik VAS daripada skala verbal nyeri (VRS) (Jensen et.al, 1986; Kremer et.al, 1981). Beberapa pasien mungkin sulit untuk menilai nyerinya pada VAS karena sangat sulit dipahami skala VAS sehingga supervisi yang teliti dari dokter/terapis dapat meminimalkan kesempatan error (Jensen et.al, 1986). Dengan demikian, jika memilih VAS sebagai alat ukur maka penjelasan yang akurat terhadap pasien dan perhatian yang serius terhadap skore VAS adalah hal yang vital (Jensen & Karoly, 1992).


VISUAL ANALOGUE SCALE (HORIZONTAL LINE)


Pasien diminta untuk menunjuk pada garis horisontal sesuai dengan intensitas nyerinya
Tidak ada nyeri sgt 
nyeri tak terthnkan

2. Fleksibilitas Lumbal
Fleksibilitas merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan range of motion (ROM) yang terjadi pada setiap bidang gerak pada sebuah sendi. Fleksibilitas adalah kemampuan jaringan disekitar sendi untuk terulur semaksimal mungkin tanpa ada pengaruh dari jaringan lawanannya dan relaks. Jaringan yang terulur tidak hanya beberapa ligamen, fascia, dan jaringan konektif lainnya yang terkait dengan sendi, tetapi otot-otot antagonis harus relaks (otot-otot yang melawan gerakan sehingga aksi sendi bisa terbatas).
Statik fleksibilitas menunjukkan suatu ROM yang ada ketika segmen tubuh secara pasif digerakkan (oleh fisioterapis atau dokter), sedangkan dinamik fleksibilitas menunjukkan pada ROM yang dapat dicapai oleh gerakan segmen tubuh secara aktif yang dihasilkan oleh kontraksi otot. Statik fleksibilitas merupakan indikator yang baik untuk relatif tightness atau laxitas sendi, dimana implikasi untuk potensial injury. Namun demikian, dinamik fleksibilitas harus cukup atau tidak membatasi ROM yang dibutuhkan untuk aktivitas kegiatan sehari (ADL), kerja, atau aktivitas olahraga. Penelitian menunjukkan bahwa kedua komponen fleksibilitas ini adalah independen satu sama lain.
Meskipun fleksibilitas secara umum seringkali dibandingkan, secara aktual fleksibilitas merupakan spesifik sendi. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah atau besarnya fleksibilitas yang luas pada salah satu sendi tidak menjamin terjadi derajat fleksibilitas yang sama pada seluruh sendi.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi fleksibilitas. Bentuk permukaan tulang pembentuk sendi dan keterlibatan otot atau jaringan lemak dapat mempengaruhi atau mengakhiri gerakan pada ROM yang luas.
Fleksibilitas utamanya merupakan fungsi relatif laxitas dan/atau extensibilitas jaringan kolagen dan otot yang melewati sendi untuk sebagian besar populasi. Ketegangan ligamen dan otot yang membatasi extensibilitas merupakan inhibitor yang paling besar untuk ROM sendi. Ketika jaringan tersebut tidak terulur (stretch) maka extensibilitasnya akan menurun. Kandungan air dari diskus cartilaginous yang ada pada beberapa sendi juga mempengaruhi mobilitas sendi-sendi tersebut.
Oleh karena itu, dalam fleksibilitas sangat dibutuhkan ekstensibilitas otot. Ekstensibilitas otot adalah kemampuan otot untuk terulur semaksimal mungkin atau kemampuan otot untuk memanjang semaksimal mungkin. Disamping itu, dibutuhkan ekstensibilitas kapsul-ligamen pada sendi atau laxitas dari sendi.
Untuk menghasilkan gerak fleksi lumbal yang luas sangat dibutuhkan ekstensibilitas otot erector spine atau kemampuan memanjangnya otot erector spine lumbal saat fleksi lumbal. Disamping itu, diperlukan laxitas dari intervertebral joint yang mencakup diskus intervertebralis dan facet joint untuk menghasilkan gerak fleksi lumbal yang luas.
Adanya problem keterbatasan gerak akibat kondisi diskus problem, disfungsi facet joint atau penyakit degenerasi dapat menyebabkan menurunnya laxitas intervertebral joint dan menurunnya ekstensibilitas otot erector spine sehingga mempengaruhi fleksibilitas lumbal.
Fleksibilitas lumbal dapat diukur dengan metode sit and reach test, Leighton flexometer, dan metode Schober test. Metode sit and reach test bertujuan untuk mengukur fleksibilitas trunk dan tungkai, sedangkan Leighton Flexometer dan metode Schober test bertujuan untuk mengukur fleksibilitas trunk khususnya regio lumbal.
Dalam penelitian ini, kami menggunakan metode Schober test untuk mengukur fleksibilitas lumbal. Adapun prosedur pelaksanaan teknik scober test sebagai berikut :
a. Posisi pasien yang di anjurkan adalah posisi berdiri dengan cervikal, thorakal, lumbal dalam posisi 0o tanpa adanya lateral fleksi dan rotasi. Stabilisasi regio pelvis untuk mencegah adanya anterior tilting.
b. Cara pengukuran :
1) Metode I ; menentukan luas gerak sendi pada fleksi thorakal lumbal adalah mengukur jarak antara procesus spinosus C7 dan S1 dengan alat ukur pita meteran. Pengukuran awal dibuat saaat pasien dalam posisi zero starting dan pengukuran selanjutnya dibuat dalam akhir ROM saat fleksi lumbal. Perbedaan antara pengukuran awal dan akhir menunjukkan besarnya jarak gerak fleksi thoracal dan lumbal. Magee menjelaskan bahwa perbedaan 10 cm pada pita meteran adalah normal untuk pengukuran. AAOS menjelaskan bahwa 4 inchi merupakan suatu pengukuran rata-rata untuk pengukuran rata-rata orang dewasa yang sehat.
2) Metode II ; dalam metode ini yang digunakan oleh beberapa pemeriksa untuk mengukur fleksi thoracal dan lumbal adalah mengukur jarak antara ujung jari tengah dengan tanah lantai pada saat akhir ROM fleksi lumbal. Ukuran ujung jari tangan dengan lantai atau fleksi lumbal merupakan kombinasi untuk fleksi spine dn fleksi hip sehingga membuat sulit untuk mengisolasi dan mengukur fleksi spine, oleh karena itu test ini tidak dianjurkan untuk mengukur fleksi thorakal dan lumbal tetapi dapat digunakan untuk memeriksa fleksibillitas tubuh secara umum.


3) Metode III ; dalam metode ini digunakan 3 tanda yaitu :
a) Pada saat berdiri, beri tanda pada titik tengah antara level SIPS kanan-kiri.
b) Beri tanda kedua diatas tanda pertama dengan jarak 10 cm dan tarik garis lurus pertama (midline).
c) Kemudian beri tanda ketiga dibawah tanda pertama dengan jarak 5 cm dan tarik garis lurus kedua (midline).
d) Ukur jarak kedua garis tersebut (yaitu 15 cm).
e) Kemudian pasien diminta untuk fleksi trunk semaksimal mungkin, kemudian ukur jarak dari tanda ketiga ke tanda kedua melalui tanda pertama dengan garis lurus.
f) Normalnya : jarak yang dicapai adalah > 20 cm. Abnormalnya : jarak yang dicapai < 20 cm.


D. Kerangka Berpikir
Faktor usia
Kebiasaan postur yang jelak
Aktifitas fisik yg berat & berlebihan
Degenerasi diskus dan facet joint
Spondylosis lumbal
Nyeri dan gangguan fleksibilitas
SWD dan William Flexion Exercise
Penurunan nyeri dan penambahan fleksibilitas

Sumber: http://fisioterapishamdialfin.blogspot.com/


0 comments: