TUMOR HIDUNG YANG BERDARAH
Dr. Nurtrisno, Dr. Achadi IS, Dr. Nietje ML, Dr. Samsudin dan Dr. Soetomo
Laboratorium UPF THT Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro/Rumah Sakit Dr Kariadi, Semarang
Dr. Nurtrisno, Dr. Achadi IS, Dr. Nietje ML, Dr. Samsudin dan Dr. Soetomo
Laboratorium UPF THT Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro/Rumah Sakit Dr Kariadi, Semarang
A. PENDAHULUAN
Epistaksis adalah gejala perdarahan dari dalam rongga hidung, salah satu penyebabnya adalah tumor. Tumor hidung yang menyebabkan perdarahan banyak jenisnya, baik yang jinak maupun yang ganas. Maka untuk membedakan secara klinis tidaklah mudah dan sering menimbulkan masalah dalam menentukan diagnosis maupun penanganannya. Hidung mempunyai hubungan erat dengan struktur di sekitarnya, misalnya sinus paranasal dan nasofaring, sehingga tumor di rongga hidung sering meluas ke tempat tersebut atau sebaliknya, Penanganan tumor hidung sangat tergantung dari jenis, jinak ganasnya, letak, besar dan luas penyebarannya, sehingga cara operasi belum tentu memberikan hasil yang memuaskan atau dapat dilakukan, maka diperlukan terapi lainnya yaitu terapi kombinasi. Dalam tulisan ini dikemukakan cara menegakkan diagnosis dan penanganan dari tumor-tumor hidung yang menimbulkan perdarahan yang dirawat di RS Dr. Kariadi Semarang.
B. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Epistaksis dapat disebabkan oleh tumor hidung jinak maupun ganas, dan tidak semua tumor di rongga hidung, sinus paranasal dan nasofaring menyebabkan epistaksis. Tumor ini sangat heterogen dan sering menimbulkan masalah dalam menentukan diagnosis maupun penanganannya. Tumor hidung yang berdarah, dapat didahului dengan gejala utama hanya berupa epistaksis yang berulang.
Diagnosis tumor hidung yang berdarah ditegakkan, disamping menemukan kelainan klinis berupa masa tumor di rongga hidung, juga disertai pemeriksaan penunjang lainnya yaitu foto rontgen hidung, sinus paranasal dan nasofaring, juga pemeriksaan endoskopi dan patologi anatomi. Pada tumor Juvenile Angiofibroma Nasofaring, biopsi hendaklah dilakukan secara hati-hati karena ditakutkan terjadinya perdarahan hebat. Untuk mempertajam diagnosisharus dilakukan pemeriksaan angiografi
Jenis tumor hidung yang menyebabkan perdarahan yang sering dijumpai di RS Dr.Kariadi adalah:
I. Golongan Benigna.
1.Juvenile angiofibroma nasofaring (JNA).
2.Inverted papiloma.
3.Hemangioma.
II. Golongan Maligna
1.Karsinoma nasofaring
2.Karsinoma sinus maksila
C. TUMOR HIDUNG BENIGNA YANG BERDARAH
1. "Juvenile" angiofibroma nasofaring
Secara histopatologi, angiofibroma nasofaring termasuk jinak, tetapi klinis berbahaya karena dapat terjadi perdarahan hebat, dan menimbulkan kerusakan karena mendesak organorgan di sekitarnya.
Pada dasarnya dikenal dua macam, yaitu tipe vaskuler dan fibrotik. Tumor tipe vaskuler banyak mengandung pembuluh darah, dinding pembuluh darahnya non kontraktil karena tidak mempunyai tunika muskularis, sehingga kalau terjadi Iuka darah sukar berhenti. Biasanya penderita datang karena epistaksis yang hebat, pucat karena anemi, atau hidung terasa buntu. Penyebab epistaksis disebabkan lepasnya krusta pada permukaan tumor atau karena tumor sendiri mengalami ulserasi, dan jarang sekali karena erosi pembuluh darah besar. Pada stadium awal penyakit terjadi epitaksis yang tidak hebat dan dapat berhenti sendiri, tetapi karena vaskularisasi pada tumornya banyak, perdarahan dapat menghebat. Tumor ini mulai tumbuh di nasofaring, kemudian dapat meluas ke rongga hidung, sinus maksila, sinus etmoid, basis kranium. Pada pemeriksaan mungkin ditemukan benjolan pada pipi atau proptosis, ini disebabkan karena ekspansi masa tumor ke dalam spasium pterigomaksila dan orbita.Diagnosis ditegakkan berdasarkan keluhan dan pemeriksaan klinis, x-foto dan angiografi, sedang biopsi tumor harus waspada terhadap perdarahannya.
Pada x-foto kranium terlihat masa jaringan lunak di nasofaring, kadang-kadang dapat terlihat erosi ringan pada tulang. Jaringan tumor mendesak tulang di sekitarnya sehingga tipis dan rusak
Di RS Dr. Kariadi, dalam periode 1983--1985 ditemukan 25 orang penderita, semuanya pria dan terbanyak berusia 11--20 tahun sebanyak 21 orang, sedang yang diatas 20 tahun hanya 4 orang. Penanganan tumor juvenile angiofibroma tergantung dari luas dan besarnya tumor, bila masih terbatas dalam nasofaring dan rongga hidung cukup dilakukan eksterpasi tumor, tetapi bila JNA sudah sampai ke dalam kranium, radioterapi merupakan cara pengobatan pilihan
.
Di RS Dr. Kariadi,tumor yang terbatas di nasofaring dan rongga hidung diekstraksi melalui rongga mulut dan hidung. Caranya jari meng-eksplorasi ke dalam nasofaring untuk menilai besar dan basis tumor, kemudian tumor dijepit dengan tang Jurasz dan diluksir sambil diekstraksi ke luar melalui mulut. Sedang tumor di rongga hidung diekstraksi melalui hidung. Kalau perlu dilakukan tindakan dengan cara transpalatal.
2. "Inverted" papiloma
Inverted papiloma di hidung dan sinus paranasal dikenal sebagai tumor jinak, tetapi terdapat hiperplasi epitel yang tumbuh dan masuk ke dalam jaringan stroma di bawahnya untuk kemudian membentuk kripte, dengan membrana basalis yang tetap utuh. Ciri khas dari Inverted papiloma yaitu mempunyai kemampuan untuk merusak jaringan sekitarnya, cenderung kambuh lagi dan dapat menjadi ganas.
Etiologinya belum jelas benar, terdapat bermacam-macam teori, antara lain: infeksi kronis, virus, polip dan lain-lain, sehingga Vrabec menganjurkan menganggapnya sebagai true neo plasma. Lebih banyak penderita pria daripada wanita. Rata-rata umur penderita sekitar 40--50 tahun. Gejala inverted papiloma mirip dengan gejala tumor jinak hidung dan sinus paranasal, pada pemeriksaan klinis didapatkan masa tumor mirip dengan polip hidung, tetapi biasanya unilateral. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi2'6,8'9 . Biopsi tumor dapat diambil dari rongga hidung dan sinus maksila. Gejala dapat berupa epistaksis, anosmia, rasa penuh di
hidung, bersin-bersin, proptosis dan lakrimasi yang berlebihan.
Pemeriksaan X-foto hidung dan sinus paranasal dan sinuskopi sangat membantu dalam menangani inverted papiloma. Bila sinus maksila suram, pemeriksaan sinoskopi menentukan cara operasi yang akan diambil. Dalam mengobati inverted papiloma, para ahli menganjurkan untuk dilakukan ekstirpasi tumor sebersih mungkin dengan,lapangan pandangan operasi yang memadai, yaitu dengan rinotomi lateral yang dapat diteruskan dengan perluasan insisi sulkus gingivolabial atau perasat dari Weber Ferguson. Bila perlu eksenterasi orbita.
Selama tahun 1980--1985 terdapat 14 penderita inverted papiloma yang dirawat di bagian THT RS Dr Kariadi, rata-rata berumur 45--55 tahun, terdapat 9 pria dan 5 wanita. Operasi rinotomi lateral dilakukan pada 13 penderita, pada orang di antaranya dilanjutkan dengan insisi sulkus gingivo labial. Seorang penderita wanita muda, mengingat segi kosmetik, dilakukan perasat endonasal tetapi ternyata memberikan residif. Destruksi dinding lateral hidung pada 10 penderita. Perluasan ke sinus maksila 7 orang,seorang di antaranya juga meluas ke sinus etmoid dan frontal. Terdapat dua kasus yang menunjukkan gambaran papiloma transisional pada pemeriksaan patalogi anatomi. Sampai kini tidak ada penderita yang kambuh setelah operasi lateral.
3. Hemangioma hidung
Hemangioma adalah tumor pembuluh darah yang mudah berdarah dan sukar dibedakan dari teleangiektasi atau dilatasi pembuluh darah yang sebelumnya sudah ada.
Terdapat tiga jenis hemangioma :
a. Hemangioma kapiler.
b. Hemangioma kavernosum.
c. Hemangioma perisitoma.
Hemangioma dapat tumbuh di semua bagian tubuh kita, termasuk di rongga hidung, Yang terbanyak adalah jenis hemangioma kapiler, kemudian hemangioma kavernosum, dan yang tersedikit adalah hemangioma perisitoma.
Perbedaan pada pemeriksaan patologi anatomi yaitu:
a. Pada hemangioma kapiler terlihat sel endotel yang membengkak dan membesar dan tersusun berlapis-Iapis. Bila proliferasi endotel menghebat sampai menutup lumen, disebut hemangioma endotel.
b. Hemangioma kavernosum mempunyai struktur seperti jaringan erektil dan terdiri atas ruangan pembuluh darah yang lebar dilaposi oleh sel endotel.
c. Hemangioma perisitoma terdiri atas jaringan kapiler yang dikelilingi oleh sel berbentuk bundar atau fusiform yang tumbuh ke arah luar. Mungkin merupakan derivat perisit dari Zimmermann. Sel perisit ini merupakan modifikasi dari sel-sel otot polos pada dinding kapiler yang mempunyai sifat kontraktil dan mengatur diameter lumen, tetapi sel perisit ini tidak mempunyai miofibril
Untuk mendiagnosis hemangioma, biasanya penderita mengeluh hidung tersumbat, sering epistaksis, biasanya tidak nyeri kecuali disertai infeksi. Pada pemeriksaan te.riihat tumor polipoid yang bertangkai, warna agak kemerahan, kadang-kadang putih abu-abu. Tumor teraba kenyal, batas tegas dan tertutup kapsul sebagian, kalau disentuh mudah berdarah'. Pertumbuhan tumor lambat seakan-akan tidak bertambah berat' .
D. TERAPI
Hemangioma termasuk tumor yang radioresisten, maka pengobatan yang terbaik adalh eksisi radikal yang cukup luas sampai tidak terlihat sisanya untuk mencegah residif. Mengingat bahaya perdarahan yang hebat sewaktu operasi, preo-
peratif dapat dilakukan penyinaran. Selama tahun 1983--1985 hanya terdapat 2 penderita
hemangioma, yaitu seorang hemangioma kapiler (1983) dan seorang lagi hemangioma kavernosum (1984), keduanya pria dan telah dilakukan eksisi.
E. TUMOR GANAS HIDUNG YANG BERDARAH
Salah satu masalah dari tumor ganas rongga hidung dan sinus paranasal adalah terlambatnya diagnosis dibuat, sehingga datang sudah dalam stadium lanjut. Ini karena tidak terdapat keluhan atau gejala awal yang khas, sehingga penderita terlambat datang berobat ke dokter, atau keliru dan dianggap sebagai penyakit hidung yang lain, seperti sinusitis, polip, epistaksis biasa.
Keluhan dan gejala bervariasi tergantung letak, bentuk, perluasan tumor dan ada tidaknya destruksi tulang.
Terdapat lima keluhan yang menonjol yaitu:
1.Hidung tersumbat
2.Rinore
3.Rasa sakit lokal
4.Epistaksis atau perlukaan dengan perdarahan
5.Pembengkakan di pipi.
Keluhan lain yaitu edema periorbital, lakrimasi, gangguan penglihatan atau pendengaran, proptosis, parestesi dan trismus. Hidung tersumbat adalah keluhan yang tersering, terutama pada tumor yang berasal dari rongga hidung atau dinding medial sinus maksila. Rinore karena ulserasi dan infeksi dari masa tumor yang sering disertai perdarahan dari pembuluh darah tumor yang pecah. Rasa sakit lokal, terjadi sebagai akibat tekanan atau invasi ke arah maksila di bawah dinding posterosuperior sinus maksila dan dasar orbitaPengobatan tumor ganas rongga hidung dan sinus paranasal cukup sulit karena waktu diagnosis dibuat keadaannya sudah lanjut. Pada umumnya cara pengobatan adalah :
1.Radiasi
Radiasi biasanya diberikan pada:
a. Tumor yang radiosensitif
b. Penderita yang tidak dapat dioperasi karena pertimbangan umur atau problem medis lain.
c. Penderita yang menolak operasi.
2.Operasi
Operasi dikerjakan pada :
a. Tumor yang radioresisten
b. Tumor primer yang diperkirakan mudah untuk operasi
3.Kombinasi radiasi dan operasi
4.Kombinasi radiasi dan kemoterapi
Tumor Ganas Hidung Yang Berdarah :
Karsinoma nasofaring
Pada stadium dini gejala klinis sangat tidak khas, mirip dengan penyakit hidung lainnya seperti rinitis, epistaksis, polip atau sinusitis, Muljono Djojopranotomengingatkan adanya kemungkinan karsinoma nasofaring sebagai berikut:
a. Setiap ada benjolan di leher, terutama yang terletak di bawah prosesus mastoid dan belakang angulus mandibula, ingatlah selalu akan adanya karsinoma nasofaring.
b. Dugaan karsinoma nasofaring diperkuat bila gejala tumor di leher ditambah dengan gejala hidung atau gejala telinga atau gejala mata dan gejala kranial.
c. Dugaan karsinoma nasofaring hampir pasti, bila ada gejala lengkap
Pada stadium lanjut, di mana sudah ada penyebaran, terdapat lima gejala klinis yang dikemukakan oleh penderita karsinoma nasofaring, yaitu :
a. Gejala hidung, biasanya penderita mulai dengan keluhan seperti pilek-pilek, keluar ingus encer, atau kental dan ber-bau, epistaksis kadang-kadang terjadi sewaktu mengeluarkan ingus atau bisa spontan, dan bila tumor cukup besar dapat mengeluh hidung tersumbat.
b. Gejala telinga, biasanya berupa berkurangnya pendengaran, tinitus atau nyeri di daerah telinga. Gejala ini disebabkan tumor meluas ke sekitar muara tuba Eustachii, sehingga ter-jadi penyumbatan saluran tuba dan terjadi tuli konduktif.
c. Gejala pembesaran leher, berupa pembesaran kelenjar limfe ujung prosesus mastoid dan di belakang angulus mandibula, sebagai akibat penyebaran secara limfogen dari karsinoma nasofaring.
d. Gejala mata, berupa gangguan visus atau diplopia atau oftalmoplegia. Diplopia terjadi karena saraf otak ke VI yang letaknya tepat di atas foramen lacerum menjadi korban lebih dahulu. Bila proses makin melanjut akan terken juga n.III dan IV yang menyebabkan kelumpuhan mata atau oftalmoplegia.
e. Gejala kranial, di sini terdapat kelumpuhan saraf kranial, biasanya di dahului gejala subyektif berupa nyeri kepala dan minum keluar ke hidung. Diagnosis pasti ditegakkan dengan biopsi yang diambil dari nasofaring setelah timbul kecurigaan berdasarkan keluhan penderita dan gejala. Di Bagian THT RS Dr Kariadi Semarang, cara biopsi dilakukan dengan memakai alat nasofaringoskop yang memberikan hasil lebih baik daripada blind biopsy. Selama tahun 1983-1985 terdapat 290 penderita karsionoma nasofaring yang dirawat di RS Dr Kariadi. Pengobatan yang paling tepat pada karsinoma nasofaring ialah radioterapi, terutama yang radiosensitif. Tetapi terapi kombinasi dengan sitostatika sering dipergunakan, sedang tindakan operatif baik terhadap tumor primer maupun terhadap kelenjar leher yang membesar tidak dilakukan.
Karsinoma sinus maksila
Keluhan karsinoma sinus maksila hampir sama dengan keluhan tumor ganas'hidung lainnya, biasanya keluhan dan gejalanya tergantung dari lokasi dan perluasan dari tumor. Keluhan hidung tersumbat dan epistaksis biasanya terjadi pada tumor dari dinding medial antrum sedangkan pembengkakan pipi dan rasa sakit lokal yang menetap terjadi bila tumor terletak pada dinding lateral antrum. Keluhan pembengkakan pipi, merupakan tanda stadium penyakit sudah lanjut dan sebagai petunjuk adanya destruksi dinding antrum anterior dan. lateral. Sedangkan bila gigi sakit dan tanggal, menunjukkan adanya perluasan keganasan ke bawah. Bila perluasan ke posterior menjalar ke m. pterigoid menyebabkan trismus.
Pemeriksaan radiologik penderita karsinoma sinus maksila, menunjukkan perselubungan pada antrum, perubahan densitas tulang, destruksi tulang atau hilangnya kontinuitas tulang. Ohngren (1933) membagi keganasan antrum berdasarkan anatominya dengan menggunakan malignancy plane, yang penting dalam pengobatan dan prognosis keganasan. Yang disebut garis Ohngren ialah garis yang ditarik dari sudut mandibula ke arah kantus mata bagian medial. Gans ini membagi sinus maksila menjadi dua bagian anterior-inferior dan posterior-superior. Tumor yang letaknya anterior-inferior prognosisnya lebih baik daripada yang letaknya posterior-superior. Karena tumor yang letaknya posterior-superior akan cepat masuk meningen dan susunan saraf pusat
Lederman mengemukakan klasifikasi berdasarkan klasifikasi Sebileau yang lebih memenuhi persaratan sistim TNM. Dua garis sejajar horisontal ditarik melalui potongan frontal kepala.
Garis yang atas melalui dasar orbita dan yang bawah melalui dasar sinur maksila. Septum membagi sinus etmoid dan rongga hidung dalam bagian kanan dan kiri. Dengan demikian akan terbentuk daerah: supra, meso dan infra struktur. Pertumbuhan tumor ganas diinfrastruktur prognosis baik, sebaliknya uprastruktur prognosisnya buruk. Simson membagi menurut TNM sistim sebagai berikut:
T : Tumor.
T--1 :
a. Tumor pada dinding anterior antrum.
b. Tumor pada dinding nasoantral inferior.
c.Tumor pada palatum bagian anteromedial.
T--2
a. Invasi ke dinding lateral tanpa mengenai otot.
b. Invasi ke dinding superior tanpa mengenai orbita.
T--3 :
a. Invasi ke m. pterigoid.
b. Invasi ke orbita
c.Invasi ke selule etmoid anterior tanpa mengenai lamina kribrosa.
d.Invasi ke dinding anterior dan kulit diatasnya.
T--4 :
a. Invasi ke lamina kribrosa.
b.Invasi ke fosa pterigoid.
c.Invasi ke rongga hidung atau sinus maksila kontra lateral.
d.Invasi ke lamina pterigoid.
e.Invasi ke selule etmoid posterior.
f.Ekstensi ke resesus etmo-sfenoid.
N : Kelenjar getah bening regional.
N--1 : Klinis teraba kelenjar, dapat digerakkan.
N--2 : Tidak dapat digerakkan.
M : Metastasis.
M--1 : Stadium dini, tumor terbatas di sinus.
M--2 : Stadium lanjut, tumor meluas ke struktur yang berdekatan.
Terapi karsinoma maksila sampai sekarang belum ada yang memuaskan, oleh karena penderita biasanya datang sudah dalam stadium lanjut. Perawatan konservatifpun biasanya gagal. Tetapi dapat berupa radiasi, operasi, sitostatika atau kombinasi dari ketiganya. Menurut Harisson, Sisson dan Sakai, kombinasi antara radiasi dan operasi menaikkan five year survival rate dari 12,5% menjadi 44%. Selama tahun 1983-1985 terdapat hanya 7 penderita karsinoma sinus maksila yang dirawat di RS Dr. Kariadi.
F. KESIMPULAN
Telah dibicarakan tumor-tumor berdarah di hidung di bagian THT RS Dr Kariadi, cara diagnosis dan penanganannya. Epistaksis ternyata dapat berasal dari tumor jinak maupun ganas. Pada stadium awal gejala tumor hidung biasanya hampir mirip dengan penyakit hidung lainnya. Diagnosis pasti harus berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologis. Pada Juvenile angiofibroma nasofaring, untuk diagnosis perlu dilakukan juga angiografi. Penanganan tumor yang jinak pada umumnya dilakukan dengan pembedahan. Tumor yang ganas dirawat dan diobati dengan terapi kombinasi.
G. SARAN
Bila menghadapi epistaksis yang berulangkali, hendaknya diingat kemungkinan tumor dari dalam hidung dan sinus paranasal maupun dari daerah nasofaring. Sebaiknya dikonsulkan ke bagian THT, mengingat cara diagnosis dan penanganannya yang berbeda-beda dan khusus.
H. KEPUSTAKAAN
1. Budi Susanto S dan Hoedijono R. Tumor-tumor Hidung yang Berdarah di RS Dr Kariadi Semarang. Kumpulan Konas PERHATI III Yogyakarta 1973.
2. Harrison DFN. Tumors of the Nose and Sinuses. In: Scott-Brown Diseases of The Ear, Nose and Throat. 4th ed. London: Butterworths. 1979; 357-84.
3. Session RB. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Am J Dis Child. 1981; 13 : 5357.
4. Gosal ID. Beberapa Aspek Tumor Ganas Hidung dan Sinus Maksila di Bagian THT FK UNHAS Ujung Pandang. Kumpulan naskah Konas PERHATI VI Medan 1980; 405-12.
5. Muljono D. Beberapa Segi Tumor Ganas Nasopharynx di Jawa Timur. Tesis Universitas Airlangga, Surabaya: Gitakarya 1960.
6. Nikmah R, Nusirwan R. Tindakan Rhinotomi Lateralis pada Inverted Papilloma. Kumpulan Naskah Konas PERHATI V, Semarang 1977; 794-801.
7. Pandi PS. Aspek Klinis Tumor Ganas dalam Bidang THT. Sim- posium Diagnostik dan Terapi Tumor Kepala dan Leber, Jakarta 1983 : 63-79.
8. Vrabec DP. The Inverted Sdhneiderian Papilloma: A Clinical and Pathological Study. The Laryngoscope 1975; 186-220.
9. Budi Susanto- dan Hoedijono R. Papiloma Inversum di Hidung. MKI No. 7-8-9, 1978.
10. Birt D, Briant D. The Management of Malignant Tumors of The Maxillary Sinus. The Otolaryngol Clin of North Am Vol 9-1, 1976; 249-54. Bambang SS. Frekuensi Carcinoma Nasopharynx di Bagian THT RS Dr Kariadi Semarang, Oto Laryngologica Indonesiana
0 comments:
Posting Komentar